Manado – Evaluasi politik di Sulut tahun-tahun sebelumnya belum sepenuhnya berjalan secara demokratis. Sangat besar proses politik berjalan dengan cara-cara manipulasi baik dalam proses pemilukada maupun pada proses penetapan DCT Pemilu, tahun 2013 lalu.
Dikatakan akademisi Unsrat yang juga pakar politik, Ferry Liando, proses pemilukada lebih kental dengan intrik-intrik buruk daripada menjaga kesucian demokrasi. Calon yang diusung parpol bukanlah hasil seleksi alamiah, tetapi atas dasar setoran yang paling besar terhadap parpol.
“Pada saat kampanye, meski calon yg belum dikenal publik, tapi tiba-tiba mendadak terkenal karena memanfaatkan baliho dan tampil sebagai dermawan dadakan, baik kepada masyarakat miskin maupun terhadap lembaga-lembaga keagamaan,” ujar Liando.
Pada saat menjelang pencoblosan, tambah Liando, sifat transaksi lebih dominan daripada komunikasi politik. Pada proses penetapan DCT Pemilu, parpol sepertinya hanya berfungsi sebagai travel penjual tiket. Tiket caleg diperjualbelikan kepada pemilik modal
tertentu. Padahal pembeli tiket belum tentu mumpuni dalam hal kepemimpinan, etika, skill ataupun ilmu pengetahuan.
“Malahan ada parpol besar yang terang-terangan memasang spanduk menerima masyarakat siapa saja untuk menjadi caleg. Padahal pemilu itu harusnya diikuti oleh kader-kader potensial yang telah dibina dan dididik oleh parpol jauh sebelum pemilu. Agar caleg-caleg peserta pemilu telah dibekali dengan kepemimpinan, integritas dan keterampilan,” jelasnya.
Akhirnya Pemilu 2014 masih akan bakal dihiasi dengan anggota legislatif yang tidak produktif. Parpol juga tidak malu menawarkan kursi kepada kader yang dibesarkan partai lain dengan maksud mendongkrak popularitas parpol. Meski kecil, prosentasi pada proses politik di Sulut tetapi ada unsur demokrasinya.
“Seperti adanya KPU sebagai pelaksana, Bawaslu sebagai pengawas dan masyarakat bisa memilih secara langsung serta adanya kebebasan media massa,” pungkas Liando. (**/Jerry)