Manado, BeritaManado.com – Jusuf Kalla (JK) optimis peluang bakal Calon Presiden (Capres) Anies Baswedan untuk menang di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih terbuka lebar walau hasil survei tidak meyakinkan.
Anies sendiri dalam sejumlah survei terus berada di bawah dua bakal Capres lainnya, yakni Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Melansir Suara.com jaringan BeritaManado.com, Politikus senior Partai Golkar itu pun kemudian menyinggung soal Donald Trump.
Walau elektabilitas rendah, Donald Trump berhasil memenangkan Pilpres di Amerika Serikat 2016.
Bahkan, JK juga menyebut bahwa hal ini pun telah dialami Anies pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Kendati hasil survei elektabiltas dirinya terendah, tapi bisa menjadi pemenang,
Terkait hal ini, pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M Jamiluddin Ritonga menyebut bahwa apa yang dikatakan JK cukup beralasan.
“Optimisme JK beralasan karena hasil survei kerap sekali meleset. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain,” kata Jamiluddin, Selasa (1/8/2023).
Menurutnya, ada tiga hal yang mempengaruhi hingga survei bisa meleset.
Pertama, hasil survei hanya potret saat survei dilaksanakan dan tidak bisa digunakan untuk memprediksi hasil ke depan.
Sebab, kata dia pendapat umum itu sangat dinamis dan bisa berubah tergantung isu yang menerpa objek atau sosok yang dinilai.
Jamiluddin berujar, jika isunya positif maka elektabilitasnya akan berpeluang tinggi.
“Sebaliknya, kalau isu menerpa objek atau sosok banyak negatifnya, maka elektabilitas berpeluang akan turun. Jadi, elektabilitas capres saat ini tidak bisa diprediksi akan berlaku sama pada saat pencoblosan 14 Februari 2024. Hasil survei pastinya tidak memiliki kemampuan itu,” kata Jamiluddin.
Sebab kedua, karena adanya kesalahan dalam penetapan sampel atau contoh penelitian.
Kata dia, biasanya itu berkaitan dengan penetapan karakteristik dan jumlah sampel.
Sebab bisa jadi karakteristik sampel yang diambil tak menggambarkan karakteristik pemilih (populasi).
“Akibatnya, karakteristik sampel tidak merepresentasikan karakteristik pemilih (populasi),” katanya.
Selain itu, jumlah sampel akan menentukan presisinya.
Dengan pemilih 205 juta jiwa, kata dia, jumlah sampel 1.200 itu presisinya rendah.
“Kalau sampelnya tidak representatif dan presisinya rendah, tentu hasil survei itu tidak bisa diberlakukan (generalisasikan) ke populasi (pemilih). Hal ini kiranya salah satu sebab kerapnya hasil survei mengenai elektabilitas capres kerap meleset,” kata Jamiluddin.
Penyebab lainnya, kata Jamiluddin, lembaga survei kerap diduga tak melaporkan hasil sebagaimana adanya.
Adanya sponsor atau pihak yang membiayai survei membuat hasil rilis kerap telah diarahkan.
“Lembaga survei akhirnya memoles hasil survei sesuai kehendak sponsor,” kata Jamiluddin.
Bila hal ini terjadi, kata dia, lembaga survei bukan lagi peneliti, melainkan berubah menjadi tim sukses.
Sebab hasil survei dikemas demi kepentingan sponsor atau calon presiden tertentu.
“Jadi, kekhawatiran JK terhadap hasil survei sangat beralasan. Sebab, hasil survei berpeluang dibelokkan sesuai keinginan sponsor. Hal ini tentunya semakin membuat hasil survei jauh dari akurasi,” tuturnya.
“Kalau survei terus seperti itu, maka kredibilitas lembaga survei akan anjlok. Hal iti tentunya akan membahayakan eksistensi lembaga survei di tanah air,” imbuh Jamiluddin.
(jenlywenur)