Alfian Ratu
Oleh: ALFIAN RATU
BEBERAPA hari terakhir ini, baik melalui telepon, whatsapp atau SMS (pesan singkat) banyak sekali pertanyaan dan tanggapan yang masuk kepada penulis terkait soal Talaud, pasca keluarnya Putusan Mahkamah Agung.
Penulis mendengar bahwa pada saat ini, Rabu 15 Januari 2020 dilaksanakan ekspose di Kemendagri yang dihadiri oleh pemerintah dan kubu pasangan Bupati/Wakil Bupati Talaud terpilih dengan membawa bersama masing-masing pakar hukum tata negara.
Sungguh menarik memang kajian mengenai Talaud ini, tapi sekali lagi penulis tekankan, masalah ini harus dilihat secara komprehensif.
Satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria).
Dengan demikian, dihubungkan dengan Pilkada di Kabupaten Kepulauan Talaud, maka prinsip hukum tidak satu pun pasangan calon Pilkada yang boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
Mengapa prinsip ini perlu? Karena penulis merasa bahwa sebaiknya kita segera move on dari kegelapan zaman hoaks dan post truth yang secara perlahan menancapkan narasi kebencian dalam sendi-sendi kehidupan sosial di daerah Sulawesi Utara pada umumnya dan khususnya Kabupaten Kepulauan Talaud.
Demo yang ricuh di Talaud beberapa waktu lalu, opini-opini yang dibangun baik lewat media massa, maupun media sosial dan sarana lainnya.
Intinya adalah uraian panjang adanya ajakan untuk mengabaikan Putusan Mahkamah Agung.
Seolah-olah Putusan Mahkamah Agung itu tidak ada dan tidak berpengaruh apa-apa.
Seluruh rangkaian analisa dan kutipan teori serta ahli yang disuguhkan ditujukan untuk membangun kesimpulan tersebut.
Tentu ini sebuah kesimpulan yang sangat berbahaya bagi prinsip negara hukum yang sudah disepakati oleh kita bersama dalam konstitusi.
Tantangan terbesar yang dihadapi adalah fenomena “Politik Pasca Kebenaran” atau “Post truth politics” yang menguat beberapa hari terakhir ini.
Ciri-ciri post truth adalah penggunaan strategi untuk membangun narasi politik tertentu untuk meraih emosi publik dengan memanfaatkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta yang membuat preferensi politik publik lebih didominasi oleh faktor emosional dibandingkan dengan faktor rasional.
Penyebaran berita bohong, hoax, fitnah, penggunaan sentimen suku, agama dan ras bahkan ancaman untuk tidak memilih kepada salah satu calon atau figure tertentu atau bahkan partai politik tertentu mewarnai proses tersebut dengan narasi TIDAK MAU LANTIK.
Ini tidak boleh terus-menerus berlanjut dan harus dijadikan pelajaran berharga untuk membangun kehidupan politik yang sehat dan berkeadaban di masa-masa yang akan datang.
Metode firehose of falsehood sebagai teknik propaganda politik adalah metode yang selayaknya tidak dipergunakan dalam praktik politik di Bumi Nyiur Melambai ini.
Untuk itulah, Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara, tetap harus kita jadikan landasan moral dan filosofis dalam membangun kehidupan politik yang demokratis.
Oleh karena itu, penulis memandang sangatlah penting untuk memilah dan mengkritisi bangunan narasi yang dijadikan opini publik agar upaya mendelegitimasi kepercayaan publik pada pemerintah daerah dan lembaga peradilan in casu Mahkamah Agung hendaknya tidak dijadikan dasar untuk membangun kehidupan politik yang pesimistik dan penuh curiga.
Setiap narasi yang berisi sebuah “tuduhan” hendaknya tidaklah berhenti sebatas tuduhan.
Setiap “tuduhan” haruslah dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah menurut hukum.
Tanpa itu, “tuduhan” hanyalah sekedar tuduhan belaka sebagai cara untuk melampiaskan emosi ketidakpuasan.
Namun hal itu tidaklah baik dalam upaya kita membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat dan demokratis.
Menyusun konstruksi hukum haruslah didasarkan pada argumentasi hukum yang jelas dan logis.
Hal terpenting dalam argumentasi hukum adalah penguasaan terhadap hukum itu sendiri.
Penguasaan hukum di sini tidak semata penguasaan terhadap peraturan hukum konkret, namun lebih dari itu diharuskan menguasai teori-teori hukum termasuk asas-asas dan berbagai metode penemuan hukum.
Pemahaman terhadap teori-teori dan asas-asas hukum yang dangkal, mengakibatkan argumentasi hukum yang dikonstruksikan menjadi rapuh sehingga mudah untuk dibantah.
Putusan Mahkamah Agung secara expressive verbis menyatakan bahwa membatalkan Keputusan Mendagri Tahun 2017 dan mencabut Keputusan Mendagri Tahun 2017 tersebut.
Membaca suatu putusan berlaku postulat yang sangat mendasar yaitu primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis, yang berarti perkataan adalah hal yang pertama diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum.
In casu a quo dalam kaitannya dengan putusan Mahkamah Agung tersebut adalah membatalkan dan mencabut.
Selanjutnya interpretasi gramatikal sistematis pada putusan Mahkamah Agung tahun 2019 tersebut sangat jelas dan nyata, terlepas ada atau tidaknya pertentangan antara asas contrareus actus.
Faktanya putusan Mahkamah Agung adalah ius constitutum (Hukum yang berlaku saat ini) yang dimana telah membatalkan dan mencabut Keputusan Mendagri tahun 2017 yang isi keputusan tersebut adalah belum dua periode.
Dalam konteks ini kiranya perlu dipahami suatu asas yang cukup mendasar yang berbunyi nit agit exemplum litem quo lite resolvit, artinya menyelesaikan suatu perkara dengan mengambil contoh perkara lain sama halnya dengan tidak menyelesaikan perkara tersebut.
Postulat ini merupakan pedoman di negara-negara yang mewarisi tradisi sistem Eropa kontinental, termasuk Indonesia bahwa dalam mengadili setiap perkara hakim sangat bersifat otonom dan tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya.
Masing-masing perkara mempunyai sifat dan karakteristik tersendiri yang sudah tentu didasarkan pada fakta yang berbeda pula.
Judicandum est legibus non exemplis, artinya putusan harus dibuat berdasarkan hukum bukan berdasarkan contoh.
Kita jangan sampai terjebak dalam dalil yang menyesatkan dengan mengingat postulat yang berbunyi ubi eadem ratio ibi idem lex, et de similibus idem et judicium, artinya jika terdapat alasan hukum yang sama maka berlakulah hukum yang sama.
Dengan demikian jika alasan hukum berbeda, maka tidak ada alasan untuk menggunakan hukum yang sama.
Apapun alasan, opini, argument, tentang ada atau tidak pelantikan bupati terpilih Kabupaten Kepulauan Talaud harus mengacu pada Ius Constitutum saat ini yaitu Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan dan mencabut keputusan Mendagri tahun 2017.
Artinya, yang berlaku adalah putusan Mendagri tahun 2014 dimana bupati terpilih sudah dua periode.
Dengan dibatalkan dan dicabut putusan aquo, maka telah terjadi pelanggaran syarat–syarat calon bupati sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 UU Pilkada.
Memang ada juga ahli yang berpendapat bahwa misalnya syarat–syarat jadi calon bupati itu tidak terpenuhi dan sekarang baru dipersoalkan itu sudah lewat waktunya karena semua persyaratan administrasi sudah selesai dan Pemilunya sendiri sudah selesai dan sekarang tinggal pengesahan karena sudah dinyatakan menang oleh KPU dalam Pilkada, adalah pendapat yang subjektif dan mengabaikan putusan Mahkamah Agung sebagai ius constitutum saat ini dan prinsip hukum nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria (tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain).
(***/Penulis berprofesi sebagai pengacara)
Baca Juga: