
PADA 6 Juni 1901, merupakan Hari Ulang Tahun Bung Karno, Presiden RI pertama dan pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI).
Saat 6 Juni 1966, PNI Sulawesi Utara (Sulut) lewat komando Nus Kandouw, melakukan perayaan HUT Bung Karno, dengan ribuan massa di sepanjang Jalan Sam Ratulangi Manado, kemudian bergerak ke Lapangan Tikala.
Mereka memakai atribut hitam dengan lambang kepala banteng segi tiga.
Di perayaan itu, saya masih sekolah di tingkat SLP dan sempat ikut arak-arakan barisan massa Bung Karno.
Walaupun masih duduk di SLP, saya masih ingat nama tokoh besar PNI Sulut seperti Eslly Saleke, Azer Maniku, Artis Mingkid, Sonny Lihaws, Robert Plagitan, Otto Jakobus dan banyak lagi.
Itu karena orang tua saya berada di lingkungan besar PNI barisan Bung Karno.
Di 5 Juni 1966, sangat teringat barisan banteng kataton dengan atribut hitam-hitam melintasi di Jalan Sam Ratulangi tepatnya di depan pasar 9.
Mereka tiba-tiba diserang oleh sekelompok orang dengan lemparan batu.
Saya lari dan berlindung di dalam pasar 9 ketika itu.
Inilah bagian pengalaman saat remaja, di mana jiwa marhaenisme sudah terpatri sejak usia muda, terutama nilai ideologis Bung Karno.
Saya juga sering membaca buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ dan buku tentang Sarinah.
Saya menyadari, dari lingkungan itulah kami dibesarkan.
Kekinian, banyak hal baru juga dipelajari dari ketokohan Gubernur Sulut Olly Dondokambey.
Seorang pemimpin dengan gaya nasionalis kerakyatan serta jiwa marhanisme yang diturunkan dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri serta jajarannya.
Tentunya, dasar nasionalis ini adalah pondasi kuat mewujudnyatakan Pancalila, Undang-undang Dasar 1945 dan keutuhan NKRI.
Manado, 6 Juni 2023
Penulis adalah Pengamat Sosial dan Politik, Mantan Anggota DPRD Sulut dan Staf Khusus Gubernur Sulut