Andaikata para pendiri bangsa ini masih hidup mereka hanya bisa menggelengkan kepala.
Amat menyedihkan sebuah negeri yang begitu besar dan kaya dipenuhi oleh begitu banyak problem dan pemahaman sempit. Pada saat seluruh simbol perekat indonesia runtuh, harapan kita hanya pada Pancasila sebagai fondasi dasar kebangsaan yang digali dari perut bumi Indonesia.
Sebelum saya teruskan, saya jadi ragu apakah para pembesar didaerah kita ini paham betul tentang idiologi Pancasila 1 Juni.
Disinilah bahayanya jika para pemimpin daerah tidak paham, akibatnya Pancasila hanya menggayut diawang-awang tanpa menyentuh realitas sosial. Ini bagian dari koreksi agar penataran dan indoktriner Pancasila bukan cuma melahirkan tabiat, tapi membangun idiologi kebagsaan yang permanen sehingga terhindar dari penginggkaran terhadap idiologi negara yang berdasarkan persatuan nasional.
Rakyat sekarang merasa lega karena lewat pemerintahan Joko Widodo sekarang ini idiologi tulen negara dikembalikan ke aslinya.
Untuk menelusuri kemurnian dan keaslian dari apa yang disepakati para pendiri bangsa, maka kita harus menempuh perjalanan sejarah hampir 1 abad lamanya setelah para pendiri bangsa ini berhasil merumuskan sesuatu yang menjadi nafas hidup bangsa indonesia.
Sebenarnya apa yang kita bicarakan ini menyangkut pada hukum tata negara yang akan menjadi dasar dan filsafat negara.
Oleh Prof Soepomo Pancasila banyak didasari oleh pemikiran Spinoza dan Hegel mencakup:
- Azas Persatuan.
- Kekeluargaan.
- Keseimbangan lahir dan bhatin.
- Musyawarah.
- Keadilan rakyat. (sejarah konstitusi Indonesia: Prof.Dr. Anhar Gonggong. guru besar ilmu sejarah UGM).
Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Sukarno menyampaikan pemikirannya dengan uraian latar bekakang pengatahuan sejarah yang luas, ia menyampaikan rumusan pemikirannya yang disebut dengan PANCASILA sebagai dasar filsafat negara ditawarkan di Dokuritsu Zyunbi Choo-sakai atau Badan Penjelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia, yakni:
- Kebangsaan.
- Internasionalisme.
- Mufakat Demokrasi.
- Kesejahteraan.
- Ketuhanan. (“Lahirnya pantja sila”. dibawah bendera revolusi)
Saat Sukarno berbicara di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ada dua kelompok yang berbeda pandangan dalam menentukan dasar negara, dua kelompok yang saling berbeda itu yaitu kelompok nasionalis dan kelompok islam, dua kekuatan besar dalam sejarah indonesia.
Dengan adanya dua kelompok yang berbeda, maka bersidanglah 38 anggota untuk mencari jalan keluar kemudian memilih sembilan orang yang disebut panitia kecil, ke sembilan orang itu adalah:
- Ir. Sukarno.
- Drs. Muhammad Hatta.
- Mr. A.A. Maramis.
- Abikusno Tjokrosuyoso.
- Abdul Kahar Muzakir.
- Hi. Agus Salim.
- Mr. Achmad Soebardjo.
- Wahid Hasjim.
- Mr. Muhammad Yamin.
Tugas utama dari panitia kecil itu adalah mencari formulasi pendapat jalan tengah diantara dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok nasionalis dan kelompok Islam.
Setelah bersidang, maka disepakatilah sebuah formulasi yang ditandatangani pada tanggal 22 juni 1945 dan selanjutnya formulasi ini disebut dengan Piagam Jakarta.
Mengingat adanya unsur penolakan yang datang dari wilayah timur indonesia dalam hal ini Latuharhari, Ratulangi, Latumeten dan Maramis Cs, maka dalam uraian pidato pancasila 1 juni 1945 Sukarno menjelaskan tentang kebangsaan, toleransi dan religius yang ada dalam falsah bangsa sebagai jalur alternatif persatuan kebangsaan Indonesia, yaitu:
- Believed in god.
- Humanity.
- Nationality.
- Democracy.
- Sosial Justice.
Inilah komitmen dasar kesepakatan kebangsaan yang diterimah seluruh rakyat Indonesia, ini telah final dan disepakati seluruh rakyat Indonesia.
Gambaran dalam sejarah konstitusi kita menunjukan bahwa para pendiri bangsa ini mampu beralternatif dengan kecerdasan yang tinggi.
Oleh: Annes Supit
Baca juga: