Seminggu setelah seruan #DiRumahAja menggema di seantero nusantara, kita mulai menyaksikan hiruk-pikuk ‘kedermawanan’.
Lima kilo beras, minyak goreng, dan dilapisi ikan sarden kaleng, dibungkus rapi menuju target.
Klak, klik, klak, klik suara kamera HP Iphone-11 dan Samsung-S20 saling bersahutan, sebagai penanda bantuan sembako telah diserahkan.
Selanjutnya, dishare di media sosial.
Bantuannya sih tidak seberapa, tapi pemberitaannya menyebar luas tanpa mengenal batas, bahkan sampai di pelosok kampung yang listriknya hanya menyala di malam hari.
Di musim virus corona semua politisi entah yang menjabat atau baru berencana berjuang berebut panggung tuk mempertontonkan kedermawanan.
Tentu di situasi seperti ini yang paling diuntungkan adalah mereka yang sementara menjabat.
Sebab sembako yang dilapisi foto terganteng atau tercantik dari sang pemberi bantuan datang dari anggaran negara.
Terlebih Jokowi sudah berseru pada kepala daerah tuk memaksimalkan dana APBD guna membantu yang susah. Makin menggila pengunaan APBD untuk bantuan sosial
Beragam gaya kita saksikan di medsos: ada kepala daerah pakai topi baseball, berkaos merek polo, dan bermasker biru, berdiri di atas mobil pickup membagikan sembako.
Juga ada yang pakai baju batik, berkacamata hitam, sembari memegang megaphone berteriak memanggil warga sesuai data yang diberikan pengurus partai.
Di tempat lain, ada bupati yang memakai blus ala raisa, berjalan kaki membagikan uang, sembari diiringi teriakan histeris dari orang-orang yang mengerumuninya.
“Putri diberkati, putri diberkati telah datang..!!” teriak para pengemarnya yang sudah seharian cemas menunggu kedatangan sang putri.
Selanjutnya, nenek-nenek yang sudah sayu menahan panas, menjura sebagai rasa tanda bersyukur karena menerima selembar uang bergambar Soekarno-Hatta.
Itulah kita hari ini.
Bantuan sosial yang tidak berbasis data resmi. Data-penduduk miskin yang dari BPS tetap tersimpan rapi, dan yang kusut karena dipelototi hanya data dari tim sukses.
Semua niatannya hanya tuk show, supaya kelihatan seolah-olah. Maka yang terjadi penyerahan bansos yang tidak tepat sasaran.
Mereka yang tidak terlalu suka politik, dan tidak punya akses pada tim sukses atau pengurus partai menjadi kelompok yang paling menderita.
Hanya bisa melihat di media sosial, sembari berharap apa yang mereka lihat bukan kisah nyata tapi sekedar simulasi penyerahan bantuan.
Mereka iri? Itu sudah pasti, dan rasa keirian itu suatu saat bisa jadi akan menerkam orang-orang semborono itu. Sadarlah..!
Penulis: Anton M.