Pilar Demokrasi (Kerjasama Beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Secara statistik jumlah perempuan yang masuk ruang publik terus meningkat, Indonesia pernah memiliki presiden perempuan, perempuan menjadi menteri dan seterusnya. Pada tingkat akar rumput kita melihat perempuan-perempuan tangguh, mereka yang berjualan di pasar sejak dini hari, pekerja tambang hingga pemecah batu. Bila melihat kenyataan itu, tampak tak ada masalah bagi perempuan Indonesia berada di ruang publik.
Namun di sisi lain, ancaman kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan juga selalu mengintai di ruang publik, mulai dari angkutan umum hingga toilet umum. Lalu muncul pula rencana membuat perda yang mengatur perempuan di ruang publik, seperti terjadi di Tasikmalaya. Apakah perempuan boleh tetap bekerja dan berhubungan dengan ruang publik, lalubagaimana wujud dari keterlibatan perempuan itu. Tema inilah yang menjadi topik bahasan program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, dengan narasumber Kurniawaty Yusuf (Departemen Kerjasama dan Fellowship Universitas Paramadina), dan Hendriana Werdhaningsih (Direktur Humas Universitas Paramadina)
Dalam pandangan Kurniawaty, sebenarnya banyak perempuan yang memiliki potensi tapi masih ragu-ragu untuk maju.Bila mereka tampil di ruang publik, acapkali mundur duluan ketika harus menduduki posisi-posisi penting. “Memang masih ada profesi, tapi saya pikir dari perempuannya juga harus berani menunjukkan bahwa dia punya potensi. Diskriminasi terjadi karena dari perempuan sendiri tidak punya keberanian sendiri untuk mengekspresikan dirinya,” tambah Kurniawaty.
Pendapat Hendriana kurang lebih sama, bahwa kebijakan bagi perempuan di ruang publik, terkesan masih parsial.Misalnya ada gerbong khusus perempuan dan kuota 30 persen keterlibatan di parlemen, tapi bagaimana keterlibatan perempuan sendiri dalam menentukan kebijakan tersebut. “Tentunya sudut pandangnya berbeda saat diberikan kebijakan dengan membangun sendiri kebijakannya,” tutur Hendriana.
Kurniawaty melanjutkan, sebetulnya kesempatan sudah banyak diberikan di Indonesia, tetapi apakah perempuannya ituada niat untuk memanfaatkan kesempatan itu. Sementara kalau di luar negeri, mereka lebih sadar, bahwa mereka memiliki potensi dan bisa mengaktualisasikan dirinya lebih maksimal. “Agama juga memberikan kesempatan bagi setiap perempuan untuk maju, tapi memang yang dilihat adalah bagaimana mereka menyadari juga tugas dan fungsinya. Tanpamelupakan tanggung jawab di rumah, kita mencoba melihat keseimbangan itu,” tegas Kurniawaty.
Hendriana memberi contoh pengalaman di Universitas Paramadina sendiri, kalau dari tujuh direktur di kelembagaan, lima diantaranya adalah perempuan. Itu artinya kesempatan diberikan sama, tinggal kira-kira siapa yang kompeten memegang tanggung jawab itu. “Semua perempuan berkiprah berjuang bersama laki-laki untuk mengabdidan diri pada bangsa dan negara, sebagaimana tanggung jawab terhadap anak-anak itu tanggung jawab ibu dan ayah,” imbuh Hendriana. (*)