Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam proses pemidanaan Letkol Robert Simanjuntak atas kasus penganiayaan jurnalis di Pekanbaru yang tidak menggunakan ketentuan pidana Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Meski demikian, AJI Indonesia mengapresiasi upaya TNI untuk menjalankan proses hukum terhadap pelaku.
Pada 16–17 September 2013, Pengadilan Tinggi Militer Medan menggelar sidang di Pekanbaru, mengadili kasus penganiayaan jurnalis foto Riau Pos, Didik Herwanto. Didik ditendang dan dibanding oleh terdakwa Letkol Robert Simanjuntak saat memotret puing pesawat Hawk 200 yang jatuh di Jalan Amal Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Kampar, Oktober 2012 lalu.
Pada Selasa (17/9), majelis hakim yang diketuai Kolonel CHK Dr Djodi Suranto SH MH menyatakan Letkol Robert Simanjuntak terbukti bersalah melakukan penganiayaan terhadap Didik Herwanto. Simanjuntak dihukum penjara tiga bulan dikurangi masa tahanan, dan diwajibkan membayar biayai perkara Rp25 ribu.
Putusan itu terjadi setelah kasus penganiayaan terhadap Didik terkatung-katung selama 11 bulan. Dibandingkan kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan, Daerah Istimewa Yogyakarta yang terjadi pada 23 Maret 2013 lalu, proses hukum atas Simanjuntak berjalan lambat. Patut pula dicatat bahwa proses hukum atas Simanjuntak baru dijalankan setelah pada 29 Agustus 2013 AJI Indonesia mengumumkan TNI sebagai musuh kebebasan pers, karena lambat mengadili kasus penganiayaan Didik.
“Kita melihat bagaimana TNI kemudian dengan cepat menggelar sidang yang menempatkan Simanjuntak sebagai terdakwa kasus penganiayaan, sebagaimana ketentuan Pasal 351 KUHP. AJI Indonesia menilai konstruksi hukum dalam pemidanaan Simanjuntak telah mengabaikan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Itu menunjukkan para penegak hukum dalam kasus itu tidak memahami kekhususan kasus Simanjuntak,” kata Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi.
Eko menyatakan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bekerja tidak dapat disamakan dengan kasus kekerasan yang dialami oleh warga.
“Harus dipahami bahwa Didik bekerja bukan semata-mata kepentingan dirinya. Didik memotret lokasi jatuhnya pesawat Hawk 200 untuk mewakili hak konstitusional setiap warga negara atas informasi. Simanjuntak bukan semata-mata menganiaya Didik, namun menganiaya hak konstitusional warga negara untuk mengetahui informasi terkait pesawat tempur yang jatuh di Pasir Putih itu.”
Eko membandingkan Putusan Pengadilan Militer Tinggi Medan dengan putusan Pengadilan Militer Padang dalam kasus penganiayan sejumlah jurnalis oleh oknum marinir yang diputus April lalu.
“Kita bisa melihat, ada kemunduran penerapan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun AJI Indonesia tetap mengapresasi langkah TNI untuk menjalankan proses hukum terhadap setiap prajuritnya yang terlibat kasus hukum. Putusan hukum dalam kasus Simanjuntak harus menjadi pembelajaran bersama bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi oleh hukum,” kata Eko.
Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia, Iman D Nugroho, menyatakan penanganan kasus Simanjuntak menunjukkan bahwa publik bersama komunitas jurnalis harus terus melakukan tekanan untuk memastikan para pelaku kekerasan terhadap jurnalis diadili. Iman menyatakan lemahnya penegakan hukum Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah membuat terus berulangnya kasus kekerasan terhadap jurnalis yang menjalan profesinya.
“Jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak juga berkurang. Pada periode 1 Mei 2012 – 30 April 2013, telah terjadi 56 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Data itu menunjukkan latar belakang pelaku yang kian beragam, mulai dari politisi partai, kepala dinas, warga, mahasiswa, bahkan akademisi. Itu terjadi karena terlalu banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dipeti-eskan, sehingga semakin banyak kelompok masyarakat yang abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi oleh hukum,” kata Iman dalam rilis AJI yang dikirim ke BeritaManado.com. (*/Agust Hari)