Manado, BeritaManado.com – Indria Woki Ngantung mengadukan kerugian yang dialami dirinya kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Persoalannya, Indria Woki Ngantung merupakan pemilik tanah yang kini telah dikuasai oleh PT Meares Soputan Mining (PT MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) untuk operasional perusahaan.
Namun, informasi yang diterima media ini, kedua anak perusahaan dari PT Archi Indonesia Tbk ini diduga belum melakukan ganti rugi atau pembebasan lahan kepada pemilik tanah yakni Indria.
Pegacara dari Indria Ngantung, Nicolas Besi, menjelaskan kliennya memiliki hak milik enam bidang tanah dengan luas 305.950 meter persegi di Kelurahan Pinasungkulan, Kecamatan Ranowulu, Kota Bitung, dan kini semuanya telah berada di dalam wilayah kontrak karya PT MSM dan PT TTN.
Menurut Nicolas Besi, masalah bermula pada 27 April 2018, di mana saat itu sang pemilik tanah Indria Ngantung memberikan kuasa kepada Rafiuddin Djamir, untuk proses jual belil tanah.
Pemberian kuasa itu dilakukan dihadapan notaris di Bitung, Yance Adolf Victor.
Rafiuddin Djamir yang menerima kuasa kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Manado Karya Anugerah.
Kemudian, lanjut Nicolas, pada 3 Mei 2018, Rafiuddin Djamir menjual enam bidang tanah tersebut kepada PT Karya Kreasi Mulia (KKM) berdasarkan enam akta jual beli senilai Rp6.010.000.000 di hadapan PPATS Kecamatan Ranowulu.
Sebagai informasi, PT KKM juga merupakan perusahan penunjang dari PT Archi Indonesia Tbk.
“Proses jual beli memang sudah terjadi dan klien kami memberikan kuasa kepada Rafiuddin Djamir untuk melakukan itu,” kata Nicolas kepada BeritaManado.com, Jumat (21/7/2023).
Tetapi, lanjut Nicolas, uang hasil penjualan tanah itu tidak diberikan Rafiuddin Djamir kepada Indria Ngantung yang notabene adalah pemilik tanah, sejak adanya AJB per 3 Mei 2018.
Makanya, lanjut Nicolas, pihaknya melakukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Bitung.
Singkatnya, mengingat jalur di pengadilan tidak menyentuh pokok materi perkara, maka Nicolas melakukan pengaduan dan permohonan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mempunyai kewenangan memberikan izin dalam usaha pertambangan.
Hal yang mengganjal lainnya, ujar Nicolas, bahwa pada pembuatan AJB 3 Mei 2018, dinilainya hanya akta formalitas belaka.
Sebab, sebagaimana lazimnya sebelum ditandatangani AJB tersebut, dokumen yang wajib menjadi pegangan PPATS yaitu pembayaran pajak (PPH dan BPHTB) serta bukti (PT KKM) sebagai pembeli kepada penjual Indria Ngantung (pemberi kuasa) yang diwakili oleh Rafiuddin Djamir (penerima kuasa).
Namun pada kenyataannya, hal tersebut tidak ada.
“Hal ini barangkali baru pertama kali terjadi di Indonesia pada PPATS Kecamatan Ranowulu, Kota Bitung,” tegasnya.
Nicolas menegaskan, karena pembayaran ganti rugi tanah tidak pernah dilakukan, maka sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya pasal 137 A angka 1, pihaknya menyerahkan kepada pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan melakukan penyelesaian.
Apalagi dengan ketidakpatuhan kedua kontrak karya dalam mengelolah usaha pertambangan di Minahasa Utara dan Kota Bitung.
“Atas berbagai permasalahan ini, kami memohon kepada bapak Presiden RI Joko Widodo kiranya dapat meninjau kembali atau mencabut persetujuan kontrak karya PT MSM dan PT TTN di wilayah Sulut,” tandasnya.
(Alfrits Semen)