
Oleh Ambrosius M Loho M Fil,
(Dosen Filsafat Unika De La Salle Manado, Penulis dan Seniman Tradisional)
NEGERI RURUKAN adalah salah satu negeri atau bilanglah desa di wilayah Tomohon yang masih kental dengan adat dan budaya.
Kekentalan itu tampak lewat pelaksanaan Lomba Mazani (seni bernyanyi/berbunyi) antar lingkungan di wilayah negeri Rurukan.
Kendati Desa Rurukan telah dibagi menjadi 2 Desa, yakni Rurukan dan Rurukan 1, namun Lomba Mazani secara rutin digelar setiap tahun.
Seperti Lomba Mazani dalam rangka memperingati hari ulang tahun Negeri Rurukan ke-175.
Kegiatan ini pun menjadi sebuah upaya untuk mengangkat nilai budaya, termasuk terus memperkenalkan adat dan budaya ini secara berkelanjutan, khususnya kepada generasi muda dan kepada khalayak umum.
Kendati begitu, terdapat salah kaprah dalam memahami Budaya Mazani ini.
Sekurang-kurangnya beberapa poin ini perlu diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Mazani bukan terutama mengedepankan suara penyanyi, layaknya penyanyi menyanyikan koor atau paduan suara yang memiliki minimal empat suara.
Kedua, koreografi yang digarap oleh setiap penampil, tidak kemudian menjadi hal utama yang diangkat atau dinilai oleh para juri (jika itu diperlombakan).
Ketiga, jika itu Mazani ini diperlombakan, tim pembanding (juri) harus secara jelas memahami bahasa Tombulu/sastra Tombulu sebagai bahasa utama yang digunakan oleh para penampil.
Dari beberapa catatan kritis ini, apa sebetulnya ciri utama dari lomba mazani ini?
Jawaban atas pertanyaan ini, paling tidak diuraikan seperti berikut ini:
Dilansir dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id, dipaparkan bahwa:
Pertama, dalam Mazani memiliki khazanah nilai persatuan, pertemanan dan etos kerja yang berfungsi untuk memotivasi masyarakat masa kini, untuk selalu memiliki semangat kerja dan selalu mengutamakan persatuan tanpa memandang latar belakang.
Kedua, nilai etos kerja, di mana sejak zaman dahulu terdapat tradisi yang kental dengan nilai disiplin yang dapat berperan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai penuntun dan orientasi bagi kehidupan orang Tombulu masa kini.
Ketiga, dalam mah’zani terdapat pula nilai religius yang tergambar melalui syairnya yang berkata “Mengale-ngaley Uman Karia, Pakatuan Pakalawizen” artinya “Berdoa saja hai Teman, Semoga Panjang Umur”.
Bagian syair ini menunjukkan bahwa orang Tombulu selalu pasrah kepada Tuhan dan tentu saja hanya Dia-lah yang menentukan umur manusia di dunia ini.
Hal ini pun dapat berfungsi untuk mendidik masyarakat agar selalu takwa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan senantiasa berdoa memohon pada-Nya. (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulut/mahzani-sastra-lisan-orang-minahasa/).
Jadi, dari beberapa catatan sebagaimana tersebut di atas, maka lomba Mazani ini, sejatinya mengedepankan nilai filosofi sastra yang sangat kental dengan bahasa Tombulu.
Maka jika tidak memahami bahasa/sastranya, tentu saja proses penilaian akan bias dan tidak fokus pada nilai filosofi yang utama.
Demikian juga, misi penting dalam Mazani ini adalah upaya pemertahanan nilai-nilai budaya melalui perlombaan yang rutin, dan tentu saja melibatkan semua kalangan, baik orang tua, pemuda, bahkan anak-anak.
Selamat merayakan Ulang Tahun Negeri Rurukan yang ke-175 tahun.
(***)