Jakarta – Cerita tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu terangkat setiap bulan September. Pasalnya, Gerakan 30 September tahun 1965 (G30S) selalu dikaitkan dengan PKI.
Banyak pihak beranggapan bahwa ideologi komunis di Indonesia sewaktu-waktu bisa bangkit kembali meskipun sejarah dunia mencatat bahwa partai komunis di sejumlah negara sudah kehilangan kekuatan bahkan dibubarkan. PKI sendiri telah dibubarkan oleh Soeharto mengatasnamakan Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden nomor 1/3/1966, diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966.
Tokoh nasional, Buya Syafii Maarif, pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, Selasa (19/9/2017) malam, yang dipandu Karni Ilyas mengaku sudah bosan cerita PKI masih diangkat-angkat. Padahal menurut Buya, bangsa Indonesia masih berhadapan dengan banyak permasalahan yang butuh penyelesaian.
“Saya bosan dengan cerita PKI ini, saya aktivis HMI yang tahun 65 berhadapan dengan PKI. Kita banyak ancaman lain, kemiskinan, radikalisme, korupsi, narkoba, lebih penting dari itu. Setiap tahun diulang-ulang. Saya kenal baik dengan salah seorang anaknya Nyoto, pernah ke rumah saya, dia itu berkawan baik dengan anak D.I Panjaitan, mereka damai, mengapa kita bongkar-bongkar terus, ulang-ulang, bosan saya,” jelas Buya Syafii Maarif.
Buya menyesalkan pembubaran seminar di kantor LBH Jakarta oleh sekelompok masyarakat. Di negara demokrasi seperti Indonesia setiap warga negara memiliki hak untuk berkumpul.
“Seminar itu sah-sah saja, kenapa digagalkan? Bebas ajalah, konstitusi kita memberi kesempatan, hak yang sama, asal untuk kebaikan semua, untuk kebenaran. Jadi kalau dikatakan PKI bangkit, saya tidak percaya itu! Mau apa lagi, partai komunis di Sovyet sudah bubar tahun 90, data saya terima komunis di Sovyet tersisa 13 persen, itu tidak berdaya. China walaupun masih ada partai komunis namun kapitalisme lebih dominan, memang tahun 60-an, tahun 70-an ada bosnya,” tegas Buya pada diskusi ILC yang dihadiri sejumlah tokoh seperti Sukmawati Soekarno Putri, Kivlan Zein, dan sejumlah tokoh nasional lainnya.
“Marilah kita dengan kepala dingin selesaikan persoalan bangsa. Janganlah dibongkar-bongkar lagi, saya takut ini menjadi pragmatisme politik dalam pilkada, dalam pilpres, itu tidak mendidik sama sekali,” tambah Buya.
Karni Ilyas mengutip pernyataan Karl Marx bahwa demokrasi adalah tempat yang subur untuk komunis karena melalui demokrasi kapitalisme bangkit, dan kapitalisme itu adalah jalan satu-satunya ke komunis karena kapitalis menimbulkan kesenjangan antara miskin dan kaya.
Jawab Buya, kalau tidak ada keadilan pasti menimbulkan keresahan, perlawanan terhadap sistem yang mencekik, bisa komunisme muncul dalam bentuk apapun, tapi komunisme sudah kehilangan pegangan, tidak ada induk semai.
“Saya berbicara dengan presiden Jokowi tanggal 17 Juli 2017 lalu, dia juga resah dengan liberalisme ini, penguasaan tanah oleh konglemerat, itu berbicara keadilan, sila ke-lima harus turun ke bumi jangan hanya melayang di udara. Kita hanya berwacana dengan keadilan, kita selalu berlaku tidak adil meskipun pertumbuhan ekonomi itu ada, pertumbuhan itu untuk siapa? Sementara untuk lorang miskin bagaimana? Ini persoalan yang belum selesai,” pungkas Buya. (***/JerryPalohoon)