Oleh: Rayla Prajnariswari Belaudina Kusrorong (Wakil Ketua Partai Solidaritas Sulut)
ASEAN-Cina dan Konflik kepentingan Laut Cina Selatan
“Diperlukan adanya tindakan luar biasa dari ASEAN pasca pertemuan spesial ASEAN-Cina Pada 14-15 juni 2016, yang dapat berkontribusi dalam stabilitas perdamaian dan keamanan sebagai mitigasi konflik dikawasan LCS.”
Hubungan negara-negara ASEAN dengan Cina pernah memanas. Selama ini Cina mengklaim sebagian besar wilayah diperairan Laut Cina selatan (LCS) berdasarkan “Nine Dote Line” versi Cina. Klaim tersebut semakin tumpang tindih dengan sejumlah negara “Claiment State” yang melibatkan setidaknya dengan negara-negara ASEAN yaitu, Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam, serta Indonesia yang juga pernah terlibat dalam persinggungan pusaran konflik tersebut.
Konflik kepentingan Laut Cina Selatan
Keamanan LCS merupakan isu strategis yang dinamis dan tumbuh bersama dengan kemajuan kawasan Asia Pasifik. Kondisi yang sebenarnya saat ini menunjukkan bahwa kawasan LCS menjadi semakin penting. Kawasan LCS sebagai wilayah yang strategis juga menghadapi sejumlah tantangan maritim yaitu kemampuan keamanan maritim untuk hadir di LCS yang penuh konflik kepentingan. Ketika konflik di LCS masih berlangsung hal ini sangat berpengaruh terhadap negara-negara tetangga karena bisa terpengaruh secara politik, ekonomi, dan sosial sehingga masing-masing negara berupaya mencari jalan keluar dengan cara sendiri untuk mengatasi permasalahan tersebut. Filipina misalkan, baru-baru ini Filipina mengambil langkah dengan mengajukan gugatan arbitrase ke peradilan internasional di Den Haag dan menolak proposal negosiasi maritim dengan Cina sedangkan Cina memilih untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan jalur bilateral, yang mana tindakan tersebut menambah tendensi konflik kawasan.
Lebih lanjut, Cina telah menambah landasan udara ketiga di Mischief kepulauan spratly. Militerisasi oleh Cina di sebagian wilayah LCS seolah-olah memberi pesan bahwa kapabilitas dan kapasitas Cina secara material mampu mempertahankan klaim atas wilayah di LCS. Peningkatan kapabilitas ini berdampak pada kekhawatiran negara-negara di kawasan karena tindakan Cina yang mulai asertif. Fakta-fakta yang menunjukan bahwa gestur militerisasi oleh para “clayment State” terutama Cina di LCS mudah menyebabkan konfrontasi sehingga memiliki potensi cukup beralasan dan potensial meyebabkan ancaman bagi stabilitas perdamaian dan keamanan bagi dinamika kawasan, ditambah dengan adanya jaringan kekuatan eksternal yang bersimpati mendukung Cina.
Hal lainnya juga adanya pihak dari luar yang mencoba mencampuri masalah konflik diLCS yang dapat berpotensi menyebabkan tendensi mentalitas perang dingin mengganggu stabilitas keamanan. Menteri pertahanan Prancis Jean Yves Le Drian mengatakan bahwa Prancis pun tengah mengadakan proposal agar angkatan laut negara-negara Uni Eropa untuk meningkatkan perannya agar ikut hadir di menjaga LCS, Ia juga mendesak ASEAN dan Cina menyelesaikan kesepakatan Code of Conduct yang lama tertunda. Begitupun dengan pihak jepang, jendral Nakatani, mengatakan bahwa langkah-langkah militerisasi Cina mengancam stabilitas wilayah, Jepang menyatakan sikap untuk siap membantu negara-negara ASEAN untuk memperkuat militer yang berencana menggoyang status quo. Bagaimana dengan Aerika Serikat (AS)? Menteri luar negeri AS Jhon Kerr mengatakan bahwa AS akan turun tangan mempertimbangaan pembentukan zona pertahanan udara diLCS. Dengan tindakan tersebut pihak Cina melihat bahwa tindakan AS adalah tindakan provokatif dimana patroli AS didekat pulau-pulau yang diklaim Cina dan direspon kembali oleh AS bahwa tindakan tersebut untuk melindungi kebebasan navigasi.
Proses ini berpotensi berujung pada pecahnya perang jika ambisi masing-masing negara tidak diatur dalam sebuah mekanisme sistem yang dapat menekan tindakan-tindakan negara tersebut.
ASEAN-Cina dan Konflik kepentingan Laut Cina Selatan
“Diperlukan adanya tindakan luar biasa dari ASEAN pasca pertemuan spesial ASEAN-Cina Pada 14-15 juni 2016, yang dapat berkontribusi dalam stabilitas perdamaian dan keamanan sebagai mitigasi konflik dikawasan LCS.”
Hubungan negara-negara ASEAN dengan Cina pernah memanas. Selama ini Cina mengklaim sebagian besar wilayah diperairan Laut Cina selatan (LCS) berdasarkan “Nine Dote Line” versi Cina. Klaim tersebut semakin tumpang tindih dengan sejumlah negara “Claiment State” yang melibatkan setidaknya dengan negara-negara ASEAN yaitu, Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam, serta Indonesia yang juga pernah terlibat dalam persinggungan pusaran konflik tersebut.
Konflik kepentingan Laut Cina Selatan
Keamanan LCS merupakan isu strategis yang dinamis dan tumbuh bersama dengan kemajuan kawasan Asia Pasifik. Kondisi yang sebenarnya saat ini menunjukkan bahwa kawasan LCS menjadi semakin penting. Kawasan LCS sebagai wilayah yang strategis juga menghadapi sejumlah tantangan maritim yaitu kemampuan keamanan maritim untuk hadir di LCS yang penuh konflik kepentingan. Ketika konflik di LCS masih berlangsung hal ini sangat berpengaruh terhadap negara-negara tetangga karena bisa terpengaruh secara politik, ekonomi, dan sosial sehingga masing-masing negara berupaya mencari jalan keluar dengan cara sendiri untuk mengatasi permasalahan tersebut. Filipina misalkan, baru-baru ini Filipina mengambil langkah dengan mengajukan gugatan arbitrase ke peradilan internasional di Den Haag dan menolak proposal negosiasi maritim dengan Cina sedangkan Cina memilih untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan jalur bilateral, yang mana tindakan tersebut menambah tendensi konflik kawasan.
Lebih lanjut, Cina telah menambah landasan udara ketiga di Mischief kepulauan spratly. Militerisasi oleh Cina di sebagian wilayah LCS seolah-olah memberi pesan bahwa kapabilitas dan kapasitas Cina secara material mampu mempertahankan klaim atas wilayah di LCS. Peningkatan kapabilitas ini berdampak pada kekhawatiran negara-negara di kawasan karena tindakan Cina yang mulai asertif. Fakta-fakta yang menunjukan bahwa gestur militerisasi oleh para “clayment State” terutama Cina di LCS mudah menyebabkan konfrontasi sehingga memiliki potensi cukup beralasan dan potensial meyebabkan ancaman bagi stabilitas perdamaian dan keamanan bagi dinamika kawasan, ditambah dengan adanya jaringan kekuatan eksternal yang bersimpati mendukung Cina.
Hal lainnya juga adanya pihak dari luar yang mencoba mencampuri masalah konflik diLCS yang dapat berpotensi menyebabkan tendensi mentalitas perang dingin mengganggu stabilitas keamanan. Menteri pertahanan Prancis Jean Yves Le Drian mengatakan bahwa Prancis pun tengah mengadakan proposal agar angkatan laut negara-negara Uni Eropa untuk meningkatkan perannya agar ikut hadir di menjaga LCS, Ia juga mendesak ASEAN dan Cina menyelesaikan kesepakatan Code of Conduct yang lama tertunda. Begitupun dengan pihak jepang, jendral Nakatani, mengatakan bahwa langkah-langkah militerisasi Cina mengancam stabilitas wilayah, Jepang menyatakan sikap untuk siap membantu negara-negara ASEAN untuk memperkuat militer yang berencana menggoyang status quo. Bagaimana dengan Aerika Serikat (AS)? Menteri luar negeri AS Jhon Kerr mengatakan bahwa AS akan turun tangan mempertimbangaan pembentukan zona pertahanan udara diLCS. Dengan tindakan tersebut pihak Cina melihat bahwa tindakan AS adalah tindakan provokatif dimana patroli AS didekat pulau-pulau yang diklaim Cina dan direspon kembali oleh AS bahwa tindakan tersebut untuk melindungi kebebasan navigasi.
Proses ini berpotensi berujung pada pecahnya perang jika ambisi masing-masing negara tidak diatur dalam sebuah mekanisme sistem yang dapat menekan tindakan-tindakan negara tersebut. (bersambung)
Oleh: Rayla Prajnariswari Belaudina Kusrorong (Wakil Ketua Partai Solidaritas Sulut)
ASEAN-Cina dan Konflik kepentingan Laut Cina Selatan
“Diperlukan adanya tindakan luar biasa dari ASEAN pasca pertemuan spesial ASEAN-Cina Pada 14-15 juni 2016, yang dapat berkontribusi dalam stabilitas perdamaian dan keamanan sebagai mitigasi konflik dikawasan LCS.”
Hubungan negara-negara ASEAN dengan Cina pernah memanas. Selama ini Cina mengklaim sebagian besar wilayah diperairan Laut Cina selatan (LCS) berdasarkan “Nine Dote Line” versi Cina. Klaim tersebut semakin tumpang tindih dengan sejumlah negara “Claiment State” yang melibatkan setidaknya dengan negara-negara ASEAN yaitu, Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam, serta Indonesia yang juga pernah terlibat dalam persinggungan pusaran konflik tersebut.
Konflik kepentingan Laut Cina Selatan
Keamanan LCS merupakan isu strategis yang dinamis dan tumbuh bersama dengan kemajuan kawasan Asia Pasifik. Kondisi yang sebenarnya saat ini menunjukkan bahwa kawasan LCS menjadi semakin penting. Kawasan LCS sebagai wilayah yang strategis juga menghadapi sejumlah tantangan maritim yaitu kemampuan keamanan maritim untuk hadir di LCS yang penuh konflik kepentingan. Ketika konflik di LCS masih berlangsung hal ini sangat berpengaruh terhadap negara-negara tetangga karena bisa terpengaruh secara politik, ekonomi, dan sosial sehingga masing-masing negara berupaya mencari jalan keluar dengan cara sendiri untuk mengatasi permasalahan tersebut. Filipina misalkan, baru-baru ini Filipina mengambil langkah dengan mengajukan gugatan arbitrase ke peradilan internasional di Den Haag dan menolak proposal negosiasi maritim dengan Cina sedangkan Cina memilih untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan jalur bilateral, yang mana tindakan tersebut menambah tendensi konflik kawasan.
Lebih lanjut, Cina telah menambah landasan udara ketiga di Mischief kepulauan spratly. Militerisasi oleh Cina di sebagian wilayah LCS seolah-olah memberi pesan bahwa kapabilitas dan kapasitas Cina secara material mampu mempertahankan klaim atas wilayah di LCS. Peningkatan kapabilitas ini berdampak pada kekhawatiran negara-negara di kawasan karena tindakan Cina yang mulai asertif. Fakta-fakta yang menunjukan bahwa gestur militerisasi oleh para “clayment State” terutama Cina di LCS mudah menyebabkan konfrontasi sehingga memiliki potensi cukup beralasan dan potensial meyebabkan ancaman bagi stabilitas perdamaian dan keamanan bagi dinamika kawasan, ditambah dengan adanya jaringan kekuatan eksternal yang bersimpati mendukung Cina.
Hal lainnya juga adanya pihak dari luar yang mencoba mencampuri masalah konflik diLCS yang dapat berpotensi menyebabkan tendensi mentalitas perang dingin mengganggu stabilitas keamanan. Menteri pertahanan Prancis Jean Yves Le Drian mengatakan bahwa Prancis pun tengah mengadakan proposal agar angkatan laut negara-negara Uni Eropa untuk meningkatkan perannya agar ikut hadir di menjaga LCS, Ia juga mendesak ASEAN dan Cina menyelesaikan kesepakatan Code of Conduct yang lama tertunda. Begitupun dengan pihak jepang, jendral Nakatani, mengatakan bahwa langkah-langkah militerisasi Cina mengancam stabilitas wilayah, Jepang menyatakan sikap untuk siap membantu negara-negara ASEAN untuk memperkuat militer yang berencana menggoyang status quo. Bagaimana dengan Aerika Serikat (AS)? Menteri luar negeri AS Jhon Kerr mengatakan bahwa AS akan turun tangan mempertimbangaan pembentukan zona pertahanan udara diLCS. Dengan tindakan tersebut pihak Cina melihat bahwa tindakan AS adalah tindakan provokatif dimana patroli AS didekat pulau-pulau yang diklaim Cina dan direspon kembali oleh AS bahwa tindakan tersebut untuk melindungi kebebasan navigasi.
Proses ini berpotensi berujung pada pecahnya perang jika ambisi masing-masing negara tidak diatur dalam sebuah mekanisme sistem yang dapat menekan tindakan-tindakan negara tersebut.
ASEAN-Cina dan Konflik kepentingan Laut Cina Selatan
“Diperlukan adanya tindakan luar biasa dari ASEAN pasca pertemuan spesial ASEAN-Cina Pada 14-15 juni 2016, yang dapat berkontribusi dalam stabilitas perdamaian dan keamanan sebagai mitigasi konflik dikawasan LCS.”
Hubungan negara-negara ASEAN dengan Cina pernah memanas. Selama ini Cina mengklaim sebagian besar wilayah diperairan Laut Cina selatan (LCS) berdasarkan “Nine Dote Line” versi Cina. Klaim tersebut semakin tumpang tindih dengan sejumlah negara “Claiment State” yang melibatkan setidaknya dengan negara-negara ASEAN yaitu, Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam, serta Indonesia yang juga pernah terlibat dalam persinggungan pusaran konflik tersebut.
Konflik kepentingan Laut Cina Selatan
Keamanan LCS merupakan isu strategis yang dinamis dan tumbuh bersama dengan kemajuan kawasan Asia Pasifik. Kondisi yang sebenarnya saat ini menunjukkan bahwa kawasan LCS menjadi semakin penting. Kawasan LCS sebagai wilayah yang strategis juga menghadapi sejumlah tantangan maritim yaitu kemampuan keamanan maritim untuk hadir di LCS yang penuh konflik kepentingan. Ketika konflik di LCS masih berlangsung hal ini sangat berpengaruh terhadap negara-negara tetangga karena bisa terpengaruh secara politik, ekonomi, dan sosial sehingga masing-masing negara berupaya mencari jalan keluar dengan cara sendiri untuk mengatasi permasalahan tersebut. Filipina misalkan, baru-baru ini Filipina mengambil langkah dengan mengajukan gugatan arbitrase ke peradilan internasional di Den Haag dan menolak proposal negosiasi maritim dengan Cina sedangkan Cina memilih untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan jalur bilateral, yang mana tindakan tersebut menambah tendensi konflik kawasan.
Lebih lanjut, Cina telah menambah landasan udara ketiga di Mischief kepulauan spratly. Militerisasi oleh Cina di sebagian wilayah LCS seolah-olah memberi pesan bahwa kapabilitas dan kapasitas Cina secara material mampu mempertahankan klaim atas wilayah di LCS. Peningkatan kapabilitas ini berdampak pada kekhawatiran negara-negara di kawasan karena tindakan Cina yang mulai asertif. Fakta-fakta yang menunjukan bahwa gestur militerisasi oleh para “clayment State” terutama Cina di LCS mudah menyebabkan konfrontasi sehingga memiliki potensi cukup beralasan dan potensial meyebabkan ancaman bagi stabilitas perdamaian dan keamanan bagi dinamika kawasan, ditambah dengan adanya jaringan kekuatan eksternal yang bersimpati mendukung Cina.
Hal lainnya juga adanya pihak dari luar yang mencoba mencampuri masalah konflik diLCS yang dapat berpotensi menyebabkan tendensi mentalitas perang dingin mengganggu stabilitas keamanan. Menteri pertahanan Prancis Jean Yves Le Drian mengatakan bahwa Prancis pun tengah mengadakan proposal agar angkatan laut negara-negara Uni Eropa untuk meningkatkan perannya agar ikut hadir di menjaga LCS, Ia juga mendesak ASEAN dan Cina menyelesaikan kesepakatan Code of Conduct yang lama tertunda. Begitupun dengan pihak jepang, jendral Nakatani, mengatakan bahwa langkah-langkah militerisasi Cina mengancam stabilitas wilayah, Jepang menyatakan sikap untuk siap membantu negara-negara ASEAN untuk memperkuat militer yang berencana menggoyang status quo. Bagaimana dengan Aerika Serikat (AS)? Menteri luar negeri AS Jhon Kerr mengatakan bahwa AS akan turun tangan mempertimbangaan pembentukan zona pertahanan udara diLCS. Dengan tindakan tersebut pihak Cina melihat bahwa tindakan AS adalah tindakan provokatif dimana patroli AS didekat pulau-pulau yang diklaim Cina dan direspon kembali oleh AS bahwa tindakan tersebut untuk melindungi kebebasan navigasi.
Proses ini berpotensi berujung pada pecahnya perang jika ambisi masing-masing negara tidak diatur dalam sebuah mekanisme sistem yang dapat menekan tindakan-tindakan negara tersebut. (bersambung)