Oleh: Albert WS Kusen (Dosen Fisip Unsrat)
SARTANA bisa disebut nama gang Tou-Minahasa (TM) yang pernah ada di Jakarta pada era tahun 1960-70-an. Pada umumnya TM ini berasar dari subetnik-Toulour (Tondano), sebagai kaum urban yang bermigrasi ke ibukota Republik Indonesia Jakarta. Dilihat dari perspektif migrasi pada umumnya anak-anak Tondano (AAT) ke Jakarta bukan sekedar didorong oleh kondisis sosial ekonomi di daerah asal untuk mencari lapangan kerja di Jakarta (push-factors), tetapi juga karena daya tarik kota Jakarta sebagai kota metropolitan (pull factors).
Daya tarik ini dipengaruhi oleh saudara atau temannya yang sudah lebih dahulu ke Jakarta sehingga diambil keputusan untuk jadi urban di kota metropolitan tersebut. Info mutakhir, pihak-pihak yang cukup signifikan mempengaruhi keputusan ‘tumingkas’ (lari atau pergi) ke Jakarta adalah mantan-mantan permesta yang sudah sejak pasca pergolakan permesta berada di Jawa (catatan: kebanyakan dari ex-permesta yang direkrut menjadi pasukan raiders 600/ yang ikut membela tanah air ganyang Malaysia).
Secara kebetulan ada yang berasal dari Tondano yang sudah menetap di Jakarta. Kapal-kapal laut Pelni yang jadi akses perhubungan laut ke Jakarta, antara lain Oriental Queen, Aru Marinir, KM Tampomas (sudah tenggelam), dan KM Gunung Jati (nakhkodanya om saya alm Dan Lumanauw (saudara sepupu ibu saya dari sebelah Sumanti). Maka hanya dengan bermodal nekat dan tekat, berangkatlah anak-anak Tondano ke Jakarta. Ada banyak kisah suka duka selama perjalanan menggunakan kapal laut.
Situasi Sosial di Tempat Tujuan
Sesampainya di Jakarta, pada umumnya AAT ini bermukim di rumah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan, yakni Om Gustaf atau dikenal dengan sebutan Om Uta Kamagi (UK), di Jl. Kesehatan No. 46 Tanah Abang Jakarta Pusat. Dapat dikatakan rumah Om Uta relatif cukup untuk menampung 20-30 migran Tondano (seperti rumah kost gratis).
Mengapa sampai rumah Om Uta ini jadi tempat persinggahan AAT? Mungkin, Om Uta memang memiliki jiwa sosial yang tinggi yang ditunjang oleh keluarganya (memiliki beberapa anak tuama yang senang kumpul dengan Kawanua/Tondano). Salah satunya bernama Mario Kamagi, pernah jadi teman saya di Tondano (liburan); sebagai strategi keamanan hidup di kota yang belum begitu stabil tingkat keamanannya; dan tidak terpengaruh dengan lagu ‘sapa suruh datang Jakarta (lagu yang dipopulerkan oleh peraih Bintang Populer nasional 70-an Vivi Sumanti). Lagu Sapa Suruh Datang Jakarta, memang juga menjadi alasan mengapa beberapa AAT cenderung menjadikan rumah Om Uta sebagai persinggahan, lantaran beberapa AAT yang punya sanak family di Jakarta (Om atau Tante), seperti cerita telenovela, sering terjadi konflik atau tersinggung atas perlakuan yang dirasakan tidak menyenangkan, seperti tidak bebas seperti di rumah sendiri di kampong.
Mengapa Nama Gang SARTANA?
Berkenaan dengan rumah Om Uta relatif dekat dengan kawasan Sarinah (satu-satunya pusat perbelanjaan terbesar di Jakartapada era 70-an), maka setiap hari kawasan tersebut dijadikan sebagai tempat kumpul/nongkrong. Lambat laun kawasan tersebut dikuasai sedemikian rupa (tentu melalui pola kekerasan hidup di kota), sehingga pada akhirnya semua kendaran yang parkir di situ, dijadikan client mereka, artinya kendaraan-kendaran yang parkir di pelataran Sarinah harus menyetor ongkos parkirnya (meraup pendapatan sehari yang cukup lumayan nilai rupiahnya).
Akhirnya kehadiran AAT di Sarinah yang diketahui oleh khalayak di sana beralamat tempat ditinggal di kawasan Tanah Abang, dan apabila kejadian tindak kekerasan (perkelahian dengan kelompok lain/gang), maka kelompok AAT disebut anak-anak SARTANA (Sarinah-Thamrin-Tanah Abang), yakni merupakan kawasan-kawasan yang dikuasai oleh AAT dan anak-anak kawanua lainnya pada waktu itu Oleh karena itu, tidak mengherankan nama gang Sartana cepat popular dikenal oleh masyarakat DKI. Apalagi salah satu tempat hiburan malam yang cukup popular di Jakarta adalah Tanamor (Bar & Night Club) yang terletak di kawasan Tanah Abang , sering didatangi oleh artis-artis ibukota. AAT yang masih relatif muda, bergaya macho, diceritakan cukup menarik simpatik oleh kalangan wewene selebriti dan anak-anak gedongan. (bersambung)
Oleh: Albert WS Kusen (Dosen Fisip Unsrat)
SARTANA bisa disebut nama gang Tou-Minahasa (TM) yang pernah ada di Jakarta pada era tahun 1960-70-an. Pada umumnya TM ini berasar dari subetnik-Toulour (Tondano), sebagai kaum urban yang bermigrasi ke ibukota Republik Indonesia Jakarta. Dilihat dari perspektif migrasi pada umumnya anak-anak Tondano (AAT) ke Jakarta bukan sekedar didorong oleh kondisis sosial ekonomi di daerah asal untuk mencari lapangan kerja di Jakarta (push-factors), tetapi juga karena daya tarik kota Jakarta sebagai kota metropolitan (pull factors).
Daya tarik ini dipengaruhi oleh saudara atau temannya yang sudah lebih dahulu ke Jakarta sehingga diambil keputusan untuk jadi urban di kota metropolitan tersebut. Info mutakhir, pihak-pihak yang cukup signifikan mempengaruhi keputusan ‘tumingkas’ (lari atau pergi) ke Jakarta adalah mantan-mantan permesta yang sudah sejak pasca pergolakan permesta berada di Jawa (catatan: kebanyakan dari ex-permesta yang direkrut menjadi pasukan raiders 600/ yang ikut membela tanah air ganyang Malaysia).
Secara kebetulan ada yang berasal dari Tondano yang sudah menetap di Jakarta. Kapal-kapal laut Pelni yang jadi akses perhubungan laut ke Jakarta, antara lain Oriental Queen, Aru Marinir, KM Tampomas (sudah tenggelam), dan KM Gunung Jati (nakhkodanya om saya alm Dan Lumanauw (saudara sepupu ibu saya dari sebelah Sumanti). Maka hanya dengan bermodal nekat dan tekat, berangkatlah anak-anak Tondano ke Jakarta. Ada banyak kisah suka duka selama perjalanan menggunakan kapal laut.
Situasi Sosial di Tempat Tujuan
Sesampainya di Jakarta, pada umumnya AAT ini bermukim di rumah salah satu tokoh pejuang kemerdekaan, yakni Om Gustaf atau dikenal dengan sebutan Om Uta Kamagi (UK), di Jl. Kesehatan No. 46 Tanah Abang Jakarta Pusat. Dapat dikatakan rumah Om Uta relatif cukup untuk menampung 20-30 migran Tondano (seperti rumah kost gratis).
Mengapa sampai rumah Om Uta ini jadi tempat persinggahan AAT? Mungkin, Om Uta memang memiliki jiwa sosial yang tinggi yang ditunjang oleh keluarganya (memiliki beberapa anak tuama yang senang kumpul dengan Kawanua/Tondano). Salah satunya bernama Mario Kamagi, pernah jadi teman saya di Tondano (liburan); sebagai strategi keamanan hidup di kota yang belum begitu stabil tingkat keamanannya; dan tidak terpengaruh dengan lagu ‘sapa suruh datang Jakarta (lagu yang dipopulerkan oleh peraih Bintang Populer nasional 70-an Vivi Sumanti). Lagu Sapa Suruh Datang Jakarta, memang juga menjadi alasan mengapa beberapa AAT cenderung menjadikan rumah Om Uta sebagai persinggahan, lantaran beberapa AAT yang punya sanak family di Jakarta (Om atau Tante), seperti cerita telenovela, sering terjadi konflik atau tersinggung atas perlakuan yang dirasakan tidak menyenangkan, seperti tidak bebas seperti di rumah sendiri di kampong.
Mengapa Nama Gang SARTANA?
Berkenaan dengan rumah Om Uta relatif dekat dengan kawasan Sarinah (satu-satunya pusat perbelanjaan terbesar di Jakartapada era 70-an), maka setiap hari kawasan tersebut dijadikan sebagai tempat kumpul/nongkrong. Lambat laun kawasan tersebut dikuasai sedemikian rupa (tentu melalui pola kekerasan hidup di kota), sehingga pada akhirnya semua kendaran yang parkir di situ, dijadikan client mereka, artinya kendaraan-kendaran yang parkir di pelataran Sarinah harus menyetor ongkos parkirnya (meraup pendapatan sehari yang cukup lumayan nilai rupiahnya).
Akhirnya kehadiran AAT di Sarinah yang diketahui oleh khalayak di sana beralamat tempat ditinggal di kawasan Tanah Abang, dan apabila kejadian tindak kekerasan (perkelahian dengan kelompok lain/gang), maka kelompok AAT disebut anak-anak SARTANA (Sarinah-Thamrin-Tanah Abang), yakni merupakan kawasan-kawasan yang dikuasai oleh AAT dan anak-anak kawanua lainnya pada waktu itu Oleh karena itu, tidak mengherankan nama gang Sartana cepat popular dikenal oleh masyarakat DKI. Apalagi salah satu tempat hiburan malam yang cukup popular di Jakarta adalah Tanamor (Bar & Night Club) yang terletak di kawasan Tanah Abang , sering didatangi oleh artis-artis ibukota. AAT yang masih relatif muda, bergaya macho, diceritakan cukup menarik simpatik oleh kalangan wewene selebriti dan anak-anak gedongan. (bersambung)