Manado – Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi pembentukan organisasi jurnalis, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Barat, dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan kerahasiaannya.
Memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah. Undangan disampaikan secara diam-diam. Juga disebarkan undangan palsu, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, sehingga ada sejumlah jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang salah.
Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi dan kabar miring, maka para jurnalis senior seperti Erros Djarot, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad dan Fikri Djufri diminta tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru datang esok harinya, 7 Agustus, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu. Deklarasi Sirnagalih ditanda tangani pada 7 Agustus 1994.
Anggota Jurnalis Juga Buruh, Hari Buruh 2009
Sejak AJI berdiri hingga sekarang, sebagian besar aktivis utamanya justru tidak berasal dari media yang dibreidel, namun justru dari media-media lainnya. Kecuali satu-dua orang, bisa dibilang tak ada satu pun wartawan eks-Editor yang pernah terlibat dalam aktivitas perlawanan AJI pada masa-masa awal berdirinya. Kalau melihat dari persentase, mungkin yang agak banyak terlibat dalam AJI adalah jurnalis eks Tabloid DeTik, disusul kemudian dengan para jurnalis Majalah Tempo.
Meskipun jumlah wartawan eks-Tempo lebih banyak, para jurnalis Tempo terbelah dua. Separuh di antaranya berseberangan dengan Goenawan Mohamad, dan memilih bergabung mendirikan Gatra, yang dimodali oleh Bob Hassan. Hal ini menimbulkan friksi di antara sesama eks-Tempo sendiri, sehingga sempat memunculkan wacana “boikot Gatra”. AJI waktu itu memilih tidak mengeluarkan sikap resmi soal Gatra, karena dipandang lebih merupakan masalah internal Tempo.
Dari sekian jurnalis eks-Tempo yang tidak bergabung ke Gatra, juga tidak semuanya aktif di AJI. Sebagian mereka ikut mendirikan Tabloid Kontan, dan sejak itu tak banyak aktif di AJI, meski pada awalnya sebagian mereka ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih.
Di sisi lain, cukup banyak jurnalis-aktivis, yang menggerakkan roda organisasi AJI pada masa awal berdirinya, justru berasal dari grup media yang bukan korban pembreidelan. Mereka antara lain: Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia), Hasudungan Sirait (Bisnis Indonesia), Rin Hindryati (Bisnis Indonesia), Satrio Arismunandar (Kompas), Dhia Prekasha Yoedha (Kompas), Santoso (Forum Keadilan), Ayu Utami (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The Jakarta Post), Ati Nurbaiti (The Jakarta Post), Roy Pakpahan (Suara Pembaruan), dan lain-lain.
Pemilihan Nama Organisasi
Meski sejak awal sudah merancang ke arah pembentukan organisasi jurnalis alternatif, dalam diskusi 6 Agustus malam di Sirnagalih itu, tampak bahwa gagasan para peserta sangat beragam. Dalam diskusi pleno itu, mengemuka bahwa pembentukan forum komunikasi, paguyuban, atau bentuk apapun di luar organisasi profesi, tidak akan efektif dan tak akan dianggap penting oleh PWI atau pemerintah. Karena PWI yang dikooptasi penguasa adalah organisasi profesi jurnalis, maka imbangan yang pas terhadap PWI juga harus berbentuk organisasi profesi jurnalis, namun dengan sifat yang independen terhadap pemerintah.
Forum akhirnya sepakat membentuk organisasi profesi jurnalis. Menurut Salomo Simanungkalit (wartawan Kompas, yang juga penandatangan Deklarasi Sirnagalih), nama AJI itu sudah “ditimang-timang” dan disebut oleh Dhia Prekasha Yoedha, dalam perjalanan naik mobil dari Jakarta menuju Sirnagalih, sebelum pertemuan para jurnalis. Nama itu terkesan bagus, singkat, mudah disebut, mudah diingat, dan punya makna positif. Aji dalam mitologi Jawa berarti suatu ilmu atau kesaktian tertentu.
Sedangkan sebutan “Aliansi” diusulkan Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta). Dasar pemikirannya, adalah untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas jurnalis, yang sudah lebih dulu ada di berbagai kota. Pada kenyataannya, memang merekalah yang mengirim delegasi ke pertemuan Sirnagalih ini.
Berbagai usulan tersebut dirangkum. Forum pun setuju menggunakan istilah “Aliansi” karena pertimbangan yang disampaikan Stanley di atas. Istilah “Jurnalis” pun disepakati digunakan, karena itulah istilah yang dianggap lebih sesuai dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris (journalist), dan untuk membedakan dari PWI yang sudah menggunakan “wartawan.” Terakhir, istilah “Independen” digunakan untuk menggarisbawahi perbedaan AJI dengan PWI. AJI itu independen, dan juga tidak mau mengklaim mewakili “Indonesia.” Sedangkan, PWI tidak independen, tapi mengklaim mewakili Indonesia.
Sesudah nama AJI disepakati, peserta diskusi dibagi dalam sejumlah komisi, seperti Komisi Deklarasi, Komisi Program, dan lain-lain. Satrio Arismunandar dipercayai memimpin Komisi Deklarasi, dengan sekretaris Jopie Hidajat (Tempo) yang kini bekerja di Tabloid Kontan. Sesudah serangkaian diskusi panjang, Komisi ini berhasil merumuskan Deklarasi Sirnagalih, yang esok paginya, tanggal 7 Agustus, dibacakan dan dibahas lagi di Sidang Pleno. Deklarasi itu disepakati dengan suara bulat dan hanya dengan sedikit sekali perubahan redaksional.
Jika diamati, dalam deklarasi itu tercantum “Pancasila dan UUD ‘45.” Selain karena pertimbangan ideologis, pencantuman “Pancasila” di Deklarasi Sirnagalih merupakan langkah taktis, untuk meniadakan peluang bagi aparat rezim Soeharto untuk menghantam gerakan dan organisasi AJI yang baru lahir ini. Waktu itu, iklim represi sangat keras, dan ada kewajiban mencantumkan “Pancasila” sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan. (wikipedia.org/aha)
Manado – Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi pembentukan organisasi jurnalis, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Barat, dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan kerahasiaannya.
Memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah. Undangan disampaikan secara diam-diam. Juga disebarkan undangan palsu, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, sehingga ada sejumlah jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang salah.
Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi dan kabar miring, maka para jurnalis senior seperti Erros Djarot, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad dan Fikri Djufri diminta tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru datang esok harinya, 7 Agustus, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu. Deklarasi Sirnagalih ditanda tangani pada 7 Agustus 1994.
Anggota Jurnalis Juga Buruh, Hari Buruh 2009
Sejak AJI berdiri hingga sekarang, sebagian besar aktivis utamanya justru tidak berasal dari media yang dibreidel, namun justru dari media-media lainnya. Kecuali satu-dua orang, bisa dibilang tak ada satu pun wartawan eks-Editor yang pernah terlibat dalam aktivitas perlawanan AJI pada masa-masa awal berdirinya. Kalau melihat dari persentase, mungkin yang agak banyak terlibat dalam AJI adalah jurnalis eks Tabloid DeTik, disusul kemudian dengan para jurnalis Majalah Tempo.
Meskipun jumlah wartawan eks-Tempo lebih banyak, para jurnalis Tempo terbelah dua. Separuh di antaranya berseberangan dengan Goenawan Mohamad, dan memilih bergabung mendirikan Gatra, yang dimodali oleh Bob Hassan. Hal ini menimbulkan friksi di antara sesama eks-Tempo sendiri, sehingga sempat memunculkan wacana “boikot Gatra”. AJI waktu itu memilih tidak mengeluarkan sikap resmi soal Gatra, karena dipandang lebih merupakan masalah internal Tempo.
Dari sekian jurnalis eks-Tempo yang tidak bergabung ke Gatra, juga tidak semuanya aktif di AJI. Sebagian mereka ikut mendirikan Tabloid Kontan, dan sejak itu tak banyak aktif di AJI, meski pada awalnya sebagian mereka ikut menandatangani Deklarasi Sirnagalih.
Di sisi lain, cukup banyak jurnalis-aktivis, yang menggerakkan roda organisasi AJI pada masa awal berdirinya, justru berasal dari grup media yang bukan korban pembreidelan. Mereka antara lain: Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia), Hasudungan Sirait (Bisnis Indonesia), Rin Hindryati (Bisnis Indonesia), Satrio Arismunandar (Kompas), Dhia Prekasha Yoedha (Kompas), Santoso (Forum Keadilan), Ayu Utami (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The Jakarta Post), Ati Nurbaiti (The Jakarta Post), Roy Pakpahan (Suara Pembaruan), dan lain-lain.
Pemilihan Nama Organisasi
Meski sejak awal sudah merancang ke arah pembentukan organisasi jurnalis alternatif, dalam diskusi 6 Agustus malam di Sirnagalih itu, tampak bahwa gagasan para peserta sangat beragam. Dalam diskusi pleno itu, mengemuka bahwa pembentukan forum komunikasi, paguyuban, atau bentuk apapun di luar organisasi profesi, tidak akan efektif dan tak akan dianggap penting oleh PWI atau pemerintah. Karena PWI yang dikooptasi penguasa adalah organisasi profesi jurnalis, maka imbangan yang pas terhadap PWI juga harus berbentuk organisasi profesi jurnalis, namun dengan sifat yang independen terhadap pemerintah.
Forum akhirnya sepakat membentuk organisasi profesi jurnalis. Menurut Salomo Simanungkalit (wartawan Kompas, yang juga penandatangan Deklarasi Sirnagalih), nama AJI itu sudah “ditimang-timang” dan disebut oleh Dhia Prekasha Yoedha, dalam perjalanan naik mobil dari Jakarta menuju Sirnagalih, sebelum pertemuan para jurnalis. Nama itu terkesan bagus, singkat, mudah disebut, mudah diingat, dan punya makna positif. Aji dalam mitologi Jawa berarti suatu ilmu atau kesaktian tertentu.
Sedangkan sebutan “Aliansi” diusulkan Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta). Dasar pemikirannya, adalah untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas jurnalis, yang sudah lebih dulu ada di berbagai kota. Pada kenyataannya, memang merekalah yang mengirim delegasi ke pertemuan Sirnagalih ini.
Berbagai usulan tersebut dirangkum. Forum pun setuju menggunakan istilah “Aliansi” karena pertimbangan yang disampaikan Stanley di atas. Istilah “Jurnalis” pun disepakati digunakan, karena itulah istilah yang dianggap lebih sesuai dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris (journalist), dan untuk membedakan dari PWI yang sudah menggunakan “wartawan.” Terakhir, istilah “Independen” digunakan untuk menggarisbawahi perbedaan AJI dengan PWI. AJI itu independen, dan juga tidak mau mengklaim mewakili “Indonesia.” Sedangkan, PWI tidak independen, tapi mengklaim mewakili Indonesia.
Sesudah nama AJI disepakati, peserta diskusi dibagi dalam sejumlah komisi, seperti Komisi Deklarasi, Komisi Program, dan lain-lain. Satrio Arismunandar dipercayai memimpin Komisi Deklarasi, dengan sekretaris Jopie Hidajat (Tempo) yang kini bekerja di Tabloid Kontan. Sesudah serangkaian diskusi panjang, Komisi ini berhasil merumuskan Deklarasi Sirnagalih, yang esok paginya, tanggal 7 Agustus, dibacakan dan dibahas lagi di Sidang Pleno. Deklarasi itu disepakati dengan suara bulat dan hanya dengan sedikit sekali perubahan redaksional.
Jika diamati, dalam deklarasi itu tercantum “Pancasila dan UUD ‘45.” Selain karena pertimbangan ideologis, pencantuman “Pancasila” di Deklarasi Sirnagalih merupakan langkah taktis, untuk meniadakan peluang bagi aparat rezim Soeharto untuk menghantam gerakan dan organisasi AJI yang baru lahir ini. Waktu itu, iklim represi sangat keras, dan ada kewajiban mencantumkan “Pancasila” sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan. (wikipedia.org/aha)