Pilar Demokrasi (Kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Mahkamah Agung memutuskan mengundurkan proses seleksi hakim ad hoc Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), menjadi 17-18 September, dari rencana semula pada 4-7 September. Pengunduran waktu seleksi terpaksa dilakukan, setelah merespons kasus-kasus suap yang menimpa hakim ad hoc Tipikor. Kemudian ada kritik yang menyebuthakim Tipikor acapkali membebaskan terdakwa korupsi. Saat ini MA membutuhkan 76 hakim ad hoc Tipikor.
Belajar dari kasus ini, dalam seleksi hakim ad hoc saat ini MA mencoba melacak rekam jejak calon dengan melibatkan lembaga pengawas korupsi, seperti ICW dan ILR ( Indonesia Legal Roundtable), juga melibatkan Komisi Yudisial (KY). Proses seleksi calon hakim ad hoc Tipikor inilah yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, dengan narasumber Imam Anshori Saleh (Wakil Ketua Komisi Yudisial), danErwin Natosmal (peneliti Indonesia Legal Roundtable)
Imam Anshori Saleh membenarkan memang ada sejumlah calon yang bermasalah, dalam dua kategori ringan dan sedang. Dan menurut Imam, hasil penelusuran rekam jejak versi KY sudah disampaikan ke MA, sebagai calon pengguna nantinya.Imam menyebut, penelusuran tidak sebatas profesi sebagai advokat, namun juga pada kasus yang lebih pribadi, sepertiperselingkuhan maupun KDRT. “Tidak semua temuan yang kita peroleh itu betul-betul riil, pasti perlu klarifikasi lagi, salah satunya dengan lingkungan terdekat,” tambah Imam.
Erwin Natosmal menyebut MA cukup responsif menerima masukan dari publik. ILR melakukan beberapa metode seperti wawancara, investigasi dan melacak beberapa dokumen dari masing-masing calon, ditemukan sekitar 53 persen dari calon hakim itu bermasalah. ILR meminta MA untuk mencoret nama yang pernah atau sedang bersengketa, termasuk advokat yang pernah membela korupsi. ILR juga memberi tekanan pada independensi, yaitu tidak pernah menjadi pengurus atau anggota partai politik tertentu, berdasar fenomena korupsi politik yang semakin masif.
Imam Anshori menanggapi, soal kategori keterkaitan dengan partai politik, bagi KY tidak masalah. KY lebih melihat apakah orang melanggar hukum dan etika, sementara seseorang bila aktif di Partai politik bukan sebuah pelanggaranetika, dan lagi tidak disyaratkan UU. “KY memang tidak memasukkan syarat terkait parpol karena akan luas implikasinya,seperti Menkumham pernah membela koruptor, walaupun sekarang jadi getol bicara soal itu,” tambah Imam.
Sebaliknya Erwin Natosmal berpendapat, kurang tepat bila syarat keterkaitan dengan parpol tidak masuk dalam UU. Karena dalam UU disebutkan, calon hakim tipikor dilarang menjadi anggota parpol. Kita juga harus melihat dalamkonteks fenomena korupsi politik di negeri ini. “Kami sudah berteriak keras waktu itu, untuk menyeleksi orang-orang yang berintegritas agar pengadilan tipikor menjadi ranah yang ditakuti koruptor,” tegas Erwin. (*/oke)
Pilar Demokrasi (Kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Mahkamah Agung memutuskan mengundurkan proses seleksi hakim ad hoc Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), menjadi 17-18 September, dari rencana semula pada 4-7 September. Pengunduran waktu seleksi terpaksa dilakukan, setelah merespons kasus-kasus suap yang menimpa hakim ad hoc Tipikor. Kemudian ada kritik yang menyebuthakim Tipikor acapkali membebaskan terdakwa korupsi. Saat ini MA membutuhkan 76 hakim ad hoc Tipikor.
Belajar dari kasus ini, dalam seleksi hakim ad hoc saat ini MA mencoba melacak rekam jejak calon dengan melibatkan lembaga pengawas korupsi, seperti ICW dan ILR ( Indonesia Legal Roundtable), juga melibatkan Komisi Yudisial (KY). Proses seleksi calon hakim ad hoc Tipikor inilah yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, dengan narasumber Imam Anshori Saleh (Wakil Ketua Komisi Yudisial), danErwin Natosmal (peneliti Indonesia Legal Roundtable)
Imam Anshori Saleh membenarkan memang ada sejumlah calon yang bermasalah, dalam dua kategori ringan dan sedang. Dan menurut Imam, hasil penelusuran rekam jejak versi KY sudah disampaikan ke MA, sebagai calon pengguna nantinya.Imam menyebut, penelusuran tidak sebatas profesi sebagai advokat, namun juga pada kasus yang lebih pribadi, sepertiperselingkuhan maupun KDRT. “Tidak semua temuan yang kita peroleh itu betul-betul riil, pasti perlu klarifikasi lagi, salah satunya dengan lingkungan terdekat,” tambah Imam.
Erwin Natosmal menyebut MA cukup responsif menerima masukan dari publik. ILR melakukan beberapa metode seperti wawancara, investigasi dan melacak beberapa dokumen dari masing-masing calon, ditemukan sekitar 53 persen dari calon hakim itu bermasalah. ILR meminta MA untuk mencoret nama yang pernah atau sedang bersengketa, termasuk advokat yang pernah membela korupsi. ILR juga memberi tekanan pada independensi, yaitu tidak pernah menjadi pengurus atau anggota partai politik tertentu, berdasar fenomena korupsi politik yang semakin masif.
Imam Anshori menanggapi, soal kategori keterkaitan dengan partai politik, bagi KY tidak masalah. KY lebih melihat apakah orang melanggar hukum dan etika, sementara seseorang bila aktif di Partai politik bukan sebuah pelanggaranetika, dan lagi tidak disyaratkan UU. “KY memang tidak memasukkan syarat terkait parpol karena akan luas implikasinya,seperti Menkumham pernah membela koruptor, walaupun sekarang jadi getol bicara soal itu,” tambah Imam.
Sebaliknya Erwin Natosmal berpendapat, kurang tepat bila syarat keterkaitan dengan parpol tidak masuk dalam UU. Karena dalam UU disebutkan, calon hakim tipikor dilarang menjadi anggota parpol. Kita juga harus melihat dalamkonteks fenomena korupsi politik di negeri ini. “Kami sudah berteriak keras waktu itu, untuk menyeleksi orang-orang yang berintegritas agar pengadilan tipikor menjadi ranah yang ditakuti koruptor,” tegas Erwin. (*/oke)