Jakarta, BeritaManado.com – Pelaksanaan Pilkada gelombang keempat sudah di depan mata.
Empat (4) bulan lagi ada 270 wilayah akan melaksanakan pemilu lokal memilih kepala daerah.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa penyebaran Covid-19 menjadi tantangan baru bagi penyelenggara pemilihan umum (pemilu).
Karena, ini kali pertama pemilu dilaksanakan di tengah penyebaran virus atau penyakit.
Walhasil, penyelenggara pemilu dipaksa untuk memasukan instrumen protokol kesehatan dalam setiap pelaksanaan tahapan.
Langkah Ini untuk antisipasi dan melindungi penyelenggara dan pemilih dari ancaman penyebaran Covid-19 saat perhelatan hajat demokrasi itu.
Dari sejumlah tahapan jelang coblosan, masa kampanye yang dikhawatirkan banyak kalangan.
Lantaran dalam situasi kampanye normal ada pertemuan antara kandidat dan pemilih.
Seperti rapat akbar, blusukan, dangdutan, hingga deklarasi dukungan.
Mengatasi hal tersebut KPU lewat regulasi mengeluarkan kebijakan soal penggunaan kampanye virtual.
“Semangatnya sudah pas. Instrumen kesehatan dimasukan ke dalam setiap unsur kegiatan tahapan,” buka Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Dian Permata dalam diskusi daring bertema Tantangan di Pilkada 2020: Kampanye Tanpa Berpeluh, Kamis (16/7/2020).
Hadir dalam acara diskusi daring itu, Viryan Azis (KPU), Mimah Susanti (KPI), dan Wildan Hakim (Institut Riset Indonesia).
Dilanjutkan Dian, penggunaan kampanye virtual di 270 pilkada tidak serta dapat dilaksanakan.
Ini dapat dilihat dari evaluasi pelaksanaan kampanye Klik Serentak.
Ada permasalahan kendala internet saat berlangsung kegiataan tersebut.
Ada 541 kecamatan dari total 3935 kecamatan di 270 wilayah yang melaksanakan pilkada terkendalam dalam kegiatan tersebut.
“Ada sekitar 13,75 persenan wilayah terkendalam jaringan internet saat Gerakan klik Serentak. Di saat bersamaan ada semacam target dari pemerintah untuk tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 di angka 82 persen. Atau naik lima persenan dari target sebelumnya, 77,5 persen,” tutup Dian.
Menurut Dian, di sinilah titik krusial kebijakan.
Target 82 persen yang diimpikan pemerintah harus kompatibel dengan kemampuan jaringan internet.
Sebagai contoh di Lampung Timur.
Daerah yang melaksanakan pilkada.
Di masa pandemi, data seminggu terakhir bahwa daerah tersebut masuk kategori zona hijau.
Dengan begitu kampanye mainstream bisa saja digunakan.
Seperti rapat akbar, blusukan, deklarasi dukungan dan lainnya.
Namun, belakangan, ada temuan kasus penyebaran Covid-19.
Sebagai antisipasi maka pilihan jatuh kepada kampanye virtual.
Seperti pemanfaatan radio, media massa berbasis internet seperti situs berita siber, dan media sosial yang masuk di dalamnya, Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, dan lainnya.
“Sayangnya, jaringan internet di Lampung Timur belum memenuhi ekpektasi semua orang. Bahkan sudah dikeluhkan oleh Anggota DPR RI dapil tersebut,” lanjut Dian.
Untuk mengatasi gap itu, pilihan medium kampanye tinggal pada radio lokal, TV lokal, atau TV nasional yang memiliki jangkauan luas hingga ke daerah tersebut.
Untuk ini penyelenggara pemilu dan kandidat beharap kepada media-media tersebut soal publikasi tentang pelaksanaan Pilkada 2020.
Untuk iklan politik tentu akan terbentur beragam regulasi.
“Di sini peran negara dan pemerintah diuji. Ada target 82 persen soal tingkat partisipasi. Ada kewajiban kebutuhan dasar informasi kepada pemilih mengenai pelaksanaan Pilkada 2020 dari urusan kandidat dan pemungutan suara. Di sisi lain, ada Covid-19 yang mengancam, ada benturan regulasi, dan belum maksimal jaringannya jaringan internet. Semacam ada diskresi. Karena kita mengadakan pemilu di saat pandemi,” urainya.
Untuk itu saran Dian, di daerah kasus seperti ini makpemerintah dan penyelenggara pemilu mau membuka kran iklan politik di salah satu medium yang mudah dijangkau oleh pemilih atau masyarakat.
Misalnya, televisi yang memiliki kekuataan audio dan visual dalam narasikan pesan yang ingin disampaikan.
Hanya saja, iklan politik disebar merata untu setiap kandidat.
Sehingga pemilu yang bersifat adil dan berkesetaraan mampu didekati.
Namun, di daerah lain yang memiliki akses internet relatif stabil maka diskresi tersebut tidak dapat diterapkan.
Penyelenggara pemilu dan kandidat masih mampu menggunakan beragam medium.
Sebagai contoh Tangerang Selatan (Tangsel).
Tangsel adalah wilayah yang melakukan pilkada.
Untuk urusan covid-19, wilayah ini masuk zona orange atau merah.
Di Tangsel dari seri data riset 2010-2020 diketahui, pemilih 70-75 persen sering mendapat asupan soal pilkada dari televisi.
Sedangkan dari internet, pemilih sering mengakses medium tersebut 10-42 persen.
Angka ini naik siginifikan dari pemilu.
Ini didukung dengan kemampuan ekonomi dan kemudahan akses jaringan internet.
(***/Finda Muhtar)