
Manado, BeritaManado.com – Peredaran uang palsu di Sulawesi Utara kini mulai merambah platform digital MiChat.
Secara terang-terangan, penjual mencantumkan Uang Palsu (Upal) sebagai dagangannya dengan pecahan 50 dan 100 ribu.
Uang palsu bernilai jutaan yang ditawarkan dengan harga ratusan ribu rupiah ini tentu menarik perhatian terutama bagi warna yang sedang dalam kondisi terjepit dari segi ekonomi.
Hal ini tentu dapat menambah panjang kasus uang palsu yang kini masih ditangani pihak kepolisian.
Akademisi sekaligus Ketua Prodi Fakultas Hukum Univesitas Trinita Firman Mustika SH MH saat ditemui BeritaManado.com di Manado, Kamis (4/11/2021), mengatakan, apapun alasannya, meski itu untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tercekik pandemi Covid-19, membuat dan mengedarkan uang palsu tetaplah merupakan perbuatan melawan hukum.
“Karena ketentuan hukumnya jelas dalam UU Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Silakan dibuka, di situ jelas, karena yang namanya uang rupiah resminya dikeluarkan oleh Bank Indonesia karena pasti ada sistem dan aturannya seperti, tercatat, terresgistrasi, jadi jelas. Di pasal-pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2011 itu sangat jelas, kita simpan saja uang palsu, kita salah karena itu kan tidak sah,” ujar Firman Mustika.
Dalam UU Nomor 7 tahun pasal 36 tertulis:
(1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Firman pun menegaskan, sebagaimana yang tertulis dalam Undang-undang tersebut, maka harus diingat baik pengedar maupun masyarakat yang dengan sadar menggunakan uang palsu maka akan berhadapan dengan sanksi hukum.
“Insidentilnya, masyarakat yang menerima uang palsu ini kan sudah dari beberapa orang, kecuali langsung menerima atau tahu kalau itu palsu. Dalam satu hubungan hukum, atau pidana dia tahu itu palsu tapi dia tetap mengedarkan, berarti dia sudah melawan hukum. Kalau dia tidak tahu dan kemudian terdeteksi itu uang palsu, maka harus lapor,” kata Firman.
Lanjut Firman, imbas dari beredarnya uang palsu ini akan makin luas karena transaksi jual beli secara tunai di masyarakat sulit dikejar, seperti contohnya saat melakukan pembayaran di warung atau ojek online, beda dengan pusat perbelanjaan yang punya alat deteksi uang palsu di kasir.
Kecuali, kata Firman, masyarakat dapat menerapkan cara mendeteksi uang palsu seperti yang selalu disosialisasikan oleh Bank Indonesia lewat berbagai platform media, seperti 3D, yaitu dilihat, diraba dan diterawang.
Bicara uang palsu, kata Firman juga bicara soal jaringan atau sindikat karena untuk menyiapkan tiruan atau uang palsu maka dibutuhkan banyak tahapan dan tentu tidak bisa dilakukan hanya oleh 1 orang, bahkan untuk ahli IT sekalipun.
Itu sebabnya, sebagai akademisi dan praktisi, Firman pun mengimbau kepada masyarakat untuk makin waspada dan tidak mudah tergiur dengan godaan keterlibatan uang palsu meski jelang akhir tahun kebutuhan hidup biasanya meningkat.
“Karena sudah pernah ada kejadian yang begini sebelumnya, dan sudah pernah yang masuk penjara karena pidana untuk pemalsuan uang apakah itu koorporasi atau sindikat, maka saya mengimbau kepada masyarakat Kota Manado jika kemudian diduga menerima uang palsu, masyarakat bisa memakai prinsip 3D lalu silakan lapor di kepolisian. Waspadalah karena ini sudah mau natal jadi biasanya selalu muncul karena arus perputaran uang sudah mulai ada,” kata Firman.
(srisurya)