Minut, BeritaManado.com — Bimbingan teknis (Bimtek) terkait Sistem Pengelolaan Keuangan Desa (Siskeudes), yang digagas Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dinsos-PMD) Minahasa Utara, di Sutanraja Hotel, Januari 2022, menarik diikuti.
Pasalnya, Bimtek berbasis aplikasi yang nantinya digunakan menginput data RAPB-Des tahun anggaran 2022, mewajibkan setiap desa yang menjadi peserta Bimtek menyetor dana atau tarif sebesar Rp10 juta.
Bimtek yang rencana digagas dalam tiga gelombang dan sudah dilakukan dalam dua gelombang itu, mewajibkan 125 desa se-Minut untuk mengikutinya.
Sehingga total rincian anggaran dari tarif per desa mencapai angka Rp1.250.000.000
Adanya kewajiban desa menyetor Rp10 juta dalam Bimtek, terinformasi membuat Hukumtua (Kumtua) atau kepala desa, terpaksa mencari pihak ketiga untuk berhutang demi membayar tarif tersebut, sembari menunggu pencairan dana yang disinyalir bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan dana Bagi Hasil Pajak Retribusi (BHPR).
“Iya. Kami diminta Rp10 juta untuk ikut kegiatan. Harus ikut, tidak boleh tidak,” ujar perangkat desa, kepada BeritaManado.com.
Soal ini, kritikan dilayangkan Ketua Komisi I DPRD Minut Edwin Nelwan.
Kata dia, Dinsos-PMD seharusnya tidak membebani para Kumtua dengan tarif sebesar itu, apa lagi jika penganggarannya tak tertata di desa, karena bisa berdampak fatal dan berujung penyimpangan anggaran.
“Jika ditotalkan, Bimtek yang digagas ini nilainya sangat fantastis yakni berbandrol Rp1,2 miliar, dari mana sumbernya? Terus angka yang disetorkan per desa itu untuk apa? Dan hampir setiap tahun kegiatan seperti ini digagas tanpa outcome (hasil, red) yang jelas,” kritik Edwin, Minggu (29/1/2022).
Seharusnya, lanjut Edwin, Dinsos-PMD bisa lebih efisien di tengah kondisi pandemi seperti ini, dalam memanfaatkan program untuk kepentingan masyarakat di tingkat desa, tanpa harus menghambur-hamburkan anggaran dengan menggelar Bimtek di hotel, dan membebani para Kumtua/Kepala Desa untuk berhutang membayar tarif Rp10 juta.
“Efisiensinya, Dinsos-PMD bisa proaktif misalnya dengan menurunkan tim dan memberikan sosialisasi ke desa-desa, dan dilakukan per kecamatan. Rata-rata, di kecamatan punya ruang serbaguna yang bisa dimanfaatkan. Atau, jika ingin buat program seperti ini, Dinsos-PMD menatanya dalam mata anggaran dinas sehingga tidak membebani desa,” tegasnya.
Nelwan menyayangkan langkah Dinsos-PMD yang seolah menjadikan desa sebagai sapi perah.
“Kita ketahui bersama berapa besaran ADD tiap desa? Pemanfaatan ADD sudah jelas untuk apa, yakni membayar pendapatan rutin perangkat desa dan sisanya yang tak seberapa untuk operasional desa, seperti pembelian ATK dan lainnya. Dengan kewajiban membayar Rp10 juta di Bimtek Siskeudes bisa-bisa nanti ada desa yang tak mampu menjalankan operasional pelayanan. Jika diambil dari BHPR harus dicantumkan nomenklatur apa? Ini bisa berdampak penyimpangan dan disinyalir bisa bermasalah. Apa lagi dana-dana tersebut yakni ADD dan BHPR belum cair,” tambahnya.
Sebab itu, Edwin Nelwan yang juga ketua DPD II Partai Golkar Minut, berjanji akan melihat sejauh mana pertanggungjawaban kegiatan yang digagas ini, termasuk sumber penganggarannya.
“Kegiatan ini tidak terlalu efisien karena dalam kondisi COVID-19, apa lagi buat di hotel. Di tengah APBD yang lagi menciut. Banyak solusi yang lebih efisien yang bisa ditempuh Dinsos-PMD dengan tidak membebani desa,” tutupnya.
Perihal keluhan sejumlah perangkat desa ini, pihak Dinas Sosial dan PMD Minut belum memberi keterangan.
(Finda Muhtar)