Peter Karl Bart Assa
Manado – Berdasarkan wawancara media online BeritaManado.com bersama kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Manado, Peter Karl Bart Assa, beberapa hal mulai terkuak terkait program pembangunan taman religi yang berlokasi di eks kampung texas.
Dijelaskan Assa, perencanakan pembangunan taman religi yang merupakan program lanjutan dari mantan Wali Kota Jimmy Rimba Rogi atau dikenal Imba, dan sejak terpilh pada tahun 2010 silam, Wali Kota Vicky Lumentut kembali memprogramkan pembangunan taman religi ini yang diharapkan menarik wisatawan untuk datang di Kota Manado.
Salah satu persoalan awal yang dihadapi pemerintah kota untuk merealisasikannya yang direncanakan pada tahun 2012 adalah sertifikat kepemilikan lahan. Tahun 2013, akhirnya sertifikat diterbitkan dan barulah program ini mulai dipersiapkan.
Taman religi yang awalnya akan dibangun 5 miniatur rumah ibadah, termasuk mesjid yang sejak tahun 1964 berada dilokasi eks kampung texas itu, sangat gencar disosialisasikan pembangunannya ketika Assa memangku jabatan sebagai kepala Bappeda tahun 2014.
Menariknya, program yang menarik perhatian publik itu, ternyata masih sebatas konsep tanpa penganggaran dan persetujuan lembaga DPRD Kota Manado. “Kan ini sebenarnya baru konsep. Belum ada pengesahan Wali Kota soal desain taman religi ini. Dewan pun belum membahasnya untuk penganggaran dan persetujuan program taman religi ini,” kata Assa.
Lebih lanjut dikatakan Assa, untuk menunjang rencana program taman religi itu, pemerintah kota dan BKSUA melakukan lobi-lobi ke Kementerian Agama (Kemenag) RI dan akhirnya kemudian program yang menjadi simbol kerukunan antar umat beragama di Kota Manado ini mendapat dukungan pendanaan dari Kemenag sebesar 600 juta rupiah yang baru dicairkan pada tahun 2015 ini.
“Bantuan Kemenag 600 juta rupiah sudah ada, dan baru diterima tahun 2015,” ungkap Assa.
Diakui akademisi Unsrat yang diperbantukan di pemerintah kota itu, pihaknya pun terkejut dengan adanya rehabilitas gedung mesjid yang ternyata telah melampau dari luas mesjid itu sendiri yang pendanaan pembangunannya bersumber dari swadaya warga masyarakat muslim.
Melihat hal itu, komunikasi bersama tokoh agama muslim pun mulai dilakukan sejak rehabilitasi mesjid yang mulai dikerjakan pada tahun 2014 lalu. Kebijakan menghentikan pembangunan mesjid pun oleh pemerintah kota pun menuai reaksi dari panitia pembangunan mesjid.
Pro kontra pembangunan taman religi yang diakui Assa baru sebatas konsep ini pun terus diupayakan untuk direalisasi dengan mengubah konsep bangunan yang dahulunya dibangun miniatur 5 rumah ibadah yang kemudian ditambah 1 miniatur rumah ibadah setelah Konghucu diakui sebagai agama di Indoensia.
Namun, komunikasi yang dibangun antara pemerintah kota dan panitia pembangunan mesjid sempat tidak mendapatkan kesepakatan sehingga perang opini dan beragam tudingan pun ramai di tengah masyarakat maupun media sosial.
Untuk menghidari persoalan lebih meluas, lewat kesepakatan di Peninsula, pemerintah akhirnya mengubah perencanaan dari pembangunan 5 miniatur rumah ibadah ditambah mesjid yang sudah ada, pemerintah mengambil langkah untuk membatalkan 5 miniatur tersebut dengan penyatuaan rumah ibadah menjadi satu gedung saja dengan nama Graha Religi.
Lagi-lagi perencanaannya yang sudah diawali peletakan batu pertama oleh Wali Kota sebagai simbol akan dimulainya pembangunan Graha Religi ini, sikap protes dari masyarakat melalui aksi Aliansi Makapetor menimbulkan polemik baru. Jika tidak segera diredam dan ditanggapi secara cepat oleh pemerintah, persoalan akan pembangunan Graha Religi akan merembet ke isu sara.
Untung saja, Polda Sulut berinisiatif menengahi polemik tersebut. Lewat pertemuan yang diprakarsasi Polda Sulut, pemerintah kota dan tokoh agama Islam berunding. Dan pertemuan itu pun merekomendasikan untuk pemberhentian pembangunan Graha Religi dan rehabilitasi mesjid karena kepemilikan tanah berstatus kuo.
“Pembangunan Graha Religi dihentikan dulu dengan berbagai alasan. Pertama kesepakan pertemuan di Polda yang mana tanah itu statusnya kuo dan menunggu penganggaran dan persetujuan lembaga dewan,” ujar Assa.
Kembali diakui Assa, konsep bangunan Graha Religi dikerjakannya hanya 2 hari saja. Dan ditegaskannya bahwa, baik program Taman Religi 6 miniatur rumah ibadah yang berdiri secara terpisah dan diubah menjadi gedung bersama 7 lantai dengan nama Graha Religi yang didalamnya terdapat beberapa ruangan yang diataranya 5 ruangan ibadah dan berdampingan dengan gedung mesjid dua lantai yang pada lantai pertama digunakan sebagai musium dan perpustakan itu, barulah konsep semata.
“Ini program kan tiba saat tiba akal. Dan baru sebatas konsep saja. Kenapa dihentikan?, alasannya itu tadi saya jelaskan. Sesuai kesepakan pertemuan di Polda dengan pertimbangan stabilitas keamanan di kota ini serta menunggu penganggaran dan persetujuan lembaga dewan,” tambah Assa.
Sebelum mengakhiri wawancara, Assa kembali menegaskan bahwa pemerintah kota tidak menginginkan adanya persoalan atas pembangunannya Graha Religi. Sehingga diambil langkah tegas untuk menghentikan sementara program ini sampai batas waktu yang belum ditentukan.
“Kan ini baru konsep. Memang saya sendiri yang mempostingya di media sosial facebook. Tapi sebenarnya tidak perlu dipolemikkan. Karena saat perencanaannya, Makapetor juga belum ada saat program ini direncanakan. Tapi program ini sudah dihentikan sampai batas waktu belum ditentukan agar persoalannya tidak lebih besar lagi. Pada intinya kami tidak ingin ada gejolak ditengah masyarakat,” tutur Assa menutup sesi wawancara yang berlangsung di kantor DPRD Kota Manado, Rabu (1/7/15) kemarin. (leriandokambey)