Pada bagian akhir tulisan, “Talaud: Beranda Nkri Yang Nyaris Terlupakan” saya mengakhirinya dengan pernyataan: Bagaimana mengembalikan harkat diri dan mentalitas (Orang Talaud) untuk menemukan jati-dirinya kembali sebagai “manusia-produsen” dan bukan “manusia-konsumen” semata.
Gagasan ini semata untuk menegaskan bahwa sudah saatnya pembangunan Talaud ke depan menitik-beratkan perhatiannya pada pembangunan manusianya.
Bahwa capaian pembangunan ekonomi – semenjak daerah ini dimekarkan – mulai mempersempit kesenjangan yang ada.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa yang memanfaatkan hasil pembangunan ekonomi didominasi oleh pelaku-pelaku aktivitas perekonomian yang notabene berasal dari luar daerah.
Selanjutnya, muncul pertanyaan baru. Hasil pembangunan ekonomi seperti halnya peningkatan infrastruktur jalan, sebenarnya untuk siapa? Atau siapa yang paling menikmatinya untuk aktivitas-aktivitas produktif.
Apakah sekedar memudahkan arus transportasi (darat)? Atau, ada perhitungan-perhitungan ekonomis, bahwa dengan tersedianya transportasi yang memadai memberi peluang bagi warga masyarakat untuk melakoni aktivitas ekonomi-produktif?
Jawabannya tentu saja tidak perlu mempersalahkan apalagi mengkambing-hitamkan kelompok yang mampu memanfaatkan pembangunan ekonomi serta segala macam sarana-prasarananya.
Yang harus dilakukan adalah menelisik penyebabnya.
Dan, hal pertama yang perlu dicermati adalah “dunia pendidikan” atau tepatnya “dunia pengajaran”, tempat yang konon-katanya menyiapkan Sumber Daya Manusia yang handal dan berdaya saing.
Pembangunan SDM di Talaud sudah berproses sejak lama. Namun, perlu diakui bahwa perhatian pada pembangunan Sumber Daya Manusia yang telah dilakoni semenjak era Orde Baru masih sebatas penyediaan serta penyebaran fasilitas pengajaran pada tingkatan Sekolah Dasar dan Menengah Pertama.
Semuanya untuk menjawab program “wajib belajar” yang dicanangkan oleh pemerintah. Keadaan tersebut disatu sisi meningkatkan prosentase Indeks Pembangunan Manusia, namun di sisi lain menyebabkan imbas yang antara lain menjauhkan anak-didik atau tamatan-tamatan lembaga pendidikan formal ini dari lingkungan-hidupnya.
Peserta didik Para tamatan sekolah-sekolah yang ada – baik dalam anggapan mereka maupun harapan orang-tua – bukan-lagi manusia-manusia yang selesai memperoleh pendidikan, kemudian kembali ke “habitatnya” atau lingkungan awalnya sebagai tenaga petani dan nelayan tetapi disiapkan menjadi pekerja-kantoran.
Sebuah cara pandang peninggalan masa-kolonial yang menganggap bahwa pendidikan di sekolah adalah untuk menyiapkan tenaga-tenaga kerja berdasi.
Adalah sebuah kegagalan bila anak-anak yang memegang ijazah setingkat sekolah lanjutan atas tidak mendapatkan pekerjaan kantoran dan kembali bertani, menjadi nelayan, atau tukang.
Padahal, pendidikan vokasional pernah dipraktekkan oleh seorang “mantra-pertanian” pada awal tahun 1960-an di Beo, di mana dia mendidik anak-anak tamatan sekolah rakyat waktu itu menjadi pengolah lahan yang handal dan tamatannya hingga akhir hayat mereka menjadi petani yang mandiri dan sukses.
Bagi kaum perempuan, sekolah serupa pada periode yang sama beroperasi di Lirung dengan nama Sekolah Kepandaian Putri yang kelak melahirkan kaum wanita yang handal menjadi penjahit dan menekuni jasa-boga.
Keberhasilan dua model pendidikan seperti ini terbangun atas modal mental yang dalam bahasa setempat disebut marassagga atau padanannya dalam bahasa Indonesia adalah “rajin dan tekun bekerja”.
Seorang lelaki yang digelar marassagga dalam kehidupan sehari-hari disegani dalam kelompok komunitasnya dan mampu mensejahterakan keluarganya.
Perkembangan masa kini dan dengan kehadiran sekolah-sekolah vokasional yang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja, melainkan melahirkan manusia-manusia mandiri dan trampil sebagai wirausaha yang mampu memanfaatkan kekayaan alam-Talaud, sudah saatnya diprioritaskan.
Dengan demikian, akan menjadikan lembaga pendidikan yang ada sebagai wadah untuk melahirkan kembali manusia-manusia Talaud yang berkarakter produsen seperti leluhurnya dahulu, dan tidak terjebak dalam kehidupan konsumtif dan sekedar menjadi consumer semata.
Semoga.
Jim R. Tindi