
Kemarin pagi, tetangga dekat saat di Manado, memposting ‘surat jalan’ di akun facebooknya.
Di badan surat diuraikan beberapa keterangan yang harus diisi oleh pemegang surat jalan, di antaranya: Nama, alamat sesuai KTP, pekerjaan, usia, dan diakhiri dengan tandatangan oleh penjabat resmi resmi setempat.
Sepintas surat itu mirip surat keterangan dari Dinas Catatan Sipil, surat sementara sebelum anda memiliki KTP elektronik.
Di postingan facebooknya, surat jalan itu digunakan untuk bisa masuk ke Kota Manado, yang secara resmi menerapkan pengetatan dan penjagaan di semua pintu keluar-masuk kota.
Selanjutnya, situasi di semua pintu keluar-masuk Kota Manado, mirip berada di zona DMZ di perbatasan korea utara dan korea selatan: pemeriksaan diperketat, tanya surat jalan, penjaga mengurai senyum kecut, lalu alat pengukur panas mirip pistol mainan menempel di jidat, dan akhirnya antrian mengular sejauh mata memandang.
Masih di jam yang sama, salah satu media online di Sulut, menyajikan informasi tentang warga yang beramai-ramai mendatangi kantor lurah di kota Manado tuk mengurus surat jalan. Informasi lainnya, surat jalan tersebut bisa diperoleh dalam waktu singkat, sekitar 20 menit, tanpa pemungutan biaya.
Tetangga saya dan tentu warga lainnya di Sulut, sangat berkepentingan dengan surat akses keluar masuk di Kota Manado. Sebab mereka bukan pekerja yang bisa menyelesaikan urusannya melalui laptop di rumah.
Akhirnya, warga apapun pekerjaanya berbondong-bondong mengurus surat keterangan di kantor lurah dan desa. Sudah pasti, urusan yang begini-ini akan disertai kerumunan dan antrian.
Menurut informasi di media, pengetatan keluar masuk kota Manado yang diinisiasi Walikota, bertujuan mencegah penyebaran virus corona.
Tujuannya mulia, apalagi Manado sampai hari ini merupakan pusat penyebaran virus corona di Sulawesi Utara.
Akan tetapi, pilihan pencegahan yang mengharuskan warga memiliiki surat Jalan juga terkesan aneh. Alih-alih mencegah penyebaran virus, justru melahirkan masalah baru seperti kemacetan dan lokasi kerumunan baru untuk mengurus surat jalan.
Lurah atau camat sudah pasti tidak melakukan rapid test, karena bukan petugas kesehatan. Mereka hanya tahu tandatangan sembari tersenyum lebar karena sudah menjalankan tugasnya, dan selanjutnya surat tugas itu selesai.
Pada kasus ini, saya tidak melihat sebagai upaya untuk mencegah pergerakan warga. Sebab warga hanya butuh kesabaran sedikit ke kantor lurah untuk memperoleh surat jalan, kemudian bergerak bebas mengikuti arah angin.
Jika niatannya mencegah penyebaran virus, setahuku tidak ada keterkaitan surat jalan yang ditandatangani lurah dengan protokol kesehatan. Sampai hari ini, WHO, Kemenkes, dan bahkan BNPB hanya merekomendasikan pakai masker, jaga jarak, dan rajin cuci tangan.
Kemenkes, BNPB selalu mengingatkan warga untuk hidup sehat dan jaga imun. Mereka tidak pernah mengingatkan untuk membawa surat jalan dari lurah.
Bila bertujuan mendisplinkan warga, surat jalan itu juga tidak banyak manfaatnya. Sebab mengatasi perilaku buruk, seperti abai memakai masker dan sering berkerumun tidak bisa diselesaikan dengan selembar surat.
Tindakan yang memungkinkan tuk mengurai perilaku buruk, yakni melakukan sosialisasi penyadaran warga dan membuat aturan tegas, misalnya, membuat denda atau hukuman untuk warga yang tidak memakai masker.
Jika diamati wilayah-wilayah yang mewajibkan memakai masker disertai sangsi yang keras, justru lebih bisa menahan laju sebaran virus corona, misalnya Aceh, Tegal, dan Kota Jambi.
Untuk urusan ini, saya terkagum-kagum dengan tindakan pemkab Tegal yang memberikan hukuman bagi warga yang kedapatan tidak memakai masker. Sangsi seperti itu akan lebih mendisplinkan warga.
Menurutku, itu yang penting dilakukan oleh Walikota Kota Manado, sebagai bagian dari upaya tuk memutus rantai sebaran virus dan cara memulai beradaptasi kehidupan new normal. Selanjutnya, mulai mendorong warga tuk melakukan aktivitas ekonomi.
Surat jalan lebih berfungsi untuk mencegah kejahatan. Makanya setiap ada potensi kejahatan di satu wilayah, polisi selalu melakukan razia untuk memeriksa kelengkapan data pribadi, seperti KTP, nomor telepon, tujuan datang dan pergi; dan memeriksa surat kerja.
Mewajibkan surat jalan kepada warga yang beraktivitas hanya akan mengurangi kejahatan. Namun, tidak mengurangi persebaran virus corona.
Virus corona tidak mengenal surat keterangan jalan yang ditandatangani lurah, ia tidak akan berhenti beranak pinak hanya karena ada selembar surat jalan.
Penulis: Anton Miharjo