Manado, BeritaManado.com — Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) telah digelar pada pada Jumat (7/10/2022) lalu di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta.
Komite II saat itu menyampaikan Laporan Pelaksanaan Tugas pada Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023.
Dalam rapat tersebut, juga disampaikan pandangan dan pendapat terkait RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan sebagai RUU inisiasi DPR RI.
Menurut Anggota Komite II DPD RI dapil Sulut Ir. Stefanus BAN Liow MAP, pandangan dan pendapat tersebut akan disampaikan dalam rapat tripatri antara Komite VII DPR RI, Pemerintah dan DPD RI.
Senator SBANL yang akrab disapa Stefa menyampaikan 6 poin sehubungan dengan RUU inisiasi DPR RI tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Poin 1 yaitu, usulan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET) memiliki semangat yang sama dalam pembahasan tentang energi terbarukan yang pernah dibahas oleh DPD RI sebelumnya yakni pada tahun 2017.
Pada usulan (RUU ET) yang dimaksud, secara mendasar DPD RI berpendapat, pengelompokkan sumber daya energi secara literatur terbagi dalam dua kelompok besar yaitu sumber daya energi yang “terbarukan” dan sumber daya energi yang “tidak diperbarukan”.
Oleh karenanya, secara internasional tidak dikenal istilah “sumber energi baru” yang selama ini dimasukkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.
“DPD RI berpandangan dan berpendapat, konsep “energi baru” yang diusung di dalam RUU EB-ET perlu dihapus dan dikeluarkan konteksnya dari energi terbarukan,” ujar Stefanus Liow yang juga merupakan Ketua Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI ini.
Selain karena tidak sesuai dengan literatur yang ada, juga karena konteks penerapannya di dalam RUU EB-ET menjadi tidak sejalan lagi dengan semangat pengarusutamaan pemanfaatan “energi terbarukan”.
Mendasarkan pada hal ini, dalam naskah sandingan atas RUU EB-ET yang telah disusun oleh DPD RI, usulan perubahan mendasar ada pada “penghapusan” klausul “Energi Baru” beserta turunan substansi pengaturan yang ada dalam RUU EB-ET.
Dalam poin 2, Stefan mengungkapkan, DPD RI mendukung pembahasan lebih lanjut tentang energi terbarukan, utamanya terkait beberapa perubahan atas usulan ketentuan dalam RUU EB-ET.
Hal itu sebagai bentuk dari komitmen Indonesia secara global dalam penurunan emisi karbon, termasuk di antaranya terkait pencapaian target Net-Zero Emission pada tahun 2060.
Meskipun diagendakan untuk dapat menjadi pencapaian awal pada pertemuan G20 pada November 2022, pembahasan atas RUU EB-ET harus tetap mengedepankan ketepatgunaan dari norma-norma yang diatur di dalamnya.
Tujuannya untuk mengarusutamakan pemanfaatan atas sumber energi terbarukan yang potensinya cukup melimpah di Indonesia.
Pada poin 3, Stefan mengatakanm DPD RI memandang, konsep transisi energi merupakan isu permasalahan yang sangat mendasar dan wajib untuk diberikan perhatian lebih.
Namun demikian, sebagai isu mendasar, DPD RI berpendapat selain disinggung dalam RUU EB-ET ini, maka ketentuan tentang “transisi energi” semestinya diatur secara lebih menyeluruh dan integral di dalam peraturan generic tentang energi.
“Dalam hal ini, DPD RI telah mengajukan usul inisiatif RUU Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, di mana isu tentang “Transisi Energi” telah dinormakan secara komprehensif didalamnya,” kata Stefan.
Poin 4 pun berisi penegasan dari DPD RI khususnya pada pandangan dan pendapat atas RUU EB-ET bahwa konteks penggunaan teknologi baru semestinya juga diarusutamakan pada pemanfaatan energi terbarukan.
Sementara di dalam RUU EB-ET, konsep ini justru tidak diberikan penekanan lebih.
Sebagai contoh, nuklir semestinya tidak termasuk pada konsep pemanfaatan energi dengan teknologi baru, karena sejatinya teknologi nuklir sudah dikembangkan dan diterapkan sudah cukup lama.
“Demikian halnya dengan coal gasification yang masuk dalam kategori energi baru, semestinya tidak tepat karena gasifikasi batubara sudah ada dan diterapkan sejak abad XIX, serta sudah dituangkan pengaturannya di dalam UU Minerba,” jelas Stefan.
Berdasarkan pada poin 4 tersebut, maka pada poin 5, DPD RI berpendapat, beberapa konsep perubahan, termasuk mengenai inovasi dalam pemanfaatan teknologi semestinya masuk pada agenda perubahan atas UU terkait.
“Khususnya dalam pemanfaatan energi nuklir, batubara, gas bumi, maupun sumber energi lainnya. Seperti misalnya pada perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan seterusnya,” ungkap Stefan.
Dalam poin 6, DPD RI pun memberi dukungan atas usulan kelembagaan dalam mendukung pelaksanaan transisi energi.
Dalam hal pemanfaatan energi terbarukan ini, DPD RI berpandangan dan berpendapat tentang perlunya usulan untuk membentuk kelembagaan baru dalam pemanfaatan energi terbarukan dan dana yang dihasilkan.
Untuk menghindari kekhawatiran akan terlalu banyaknya kelembagaan yang saat ini sudah ada, maka bisa disesuaikan sebagai konsep simplifikasi atas badan yang saat ini telah ada.
“Namun masih memungkinkan perubahan atau penambahan kewenangan, seperti Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS), Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH),” pungkas Stefan.
(***/srisurya)