
Standarisasi Nilai Ujian Nasional Versus Pemberian Nilai di Sekolah Jepang
Oleh, Dr. Fabian J. Manoppo
MANADO – Ujian Nasional (UN) wajib dilaksanakan pada semua satuan pendidikan karena amanat dari PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan . Dengan metode standarisasi pemberian nilai yg dilaksanakan oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) bersama Kementerian Pendidikan Nasional dan Komisi X DPR telah memutuskan bahwa tahun 2011 tetap ada Ujian Nasional (UN). Dimana standar nilai UN pada tahun ini direncanakan masih sama dengan tahun lalu, yakni rata-rata 5.5 untuk SMP/ SMA.
Dengan diterapkan standarisasi Ujian Nasional ini maka telah ditemukan beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya, seperti standar mutu satuan pendidikan belum sama antara kota dan pedalaman, standarisasi ruang kelas, sarana prasarana dan guru belum sama sehingga tidak adil jika UN dilakukan secara seragam di tiap kota, demikian juga telah ditemukan kecurangan saat pelaksanaan UN yang dilakukan oleh guru dan kepala sekolah karena takut dianggap gagal dalam mendidik.
Kelemahan lainnya, APBN untuk pendidikan sebanyak 20 % senilai Rp 243 triliun belum mampu mengatasi pembiayaan perbaikan mutu standar satuan pendidikan. Ini dikarenakan postur anggaran pendidikan belum dikelolah dengan baik dan tepat. Untuk mengatasi kekurangan diatas pemerintah telah berusaha melakukan perbaikan seperti kriteria kelulusan untuk sekolah yang telah mencapai standar nasional pendidikan atau kategori mandiri ditentukan oleh BSNP, sementara untuk yang belum memenuhi standar ditentukan oleh masing-masing provinsi.
Menurut penulis, sistem pemberian nilai kelulusan rata-rata 5.5 ini dari satu sisi baik namun kenyataannya masih terdapat banyak kekurangan yang harus dibenahi dan untuk membenahinya dibutuhkan waktu yang cukup lama. Permasalahan lain yang sangat penting yang kurang diperhitungkan oleh pemerintah adalah “Dampak Psikologi” akibat cara ini anak-anak akan diklasifikasi Bodoh dan Pintar dengan hanya mengacu pada angka kelulusan nilai rata-rata 5.5.
Stigma bodoh dan pintar pada anak-anak dengan cara ini rasanya tidak adil karena masih banyak faktor lain seperti perbedaan sarana prasarana, guru, serta perbedaan kesempatan mendapatkan informasi ilmu pengetahuan. Selanjutnya dengan pemberian stigma bodoh dan pintar ini sangat tidak baik bagi perkembangan psikologi anak dalam meraih masa depan.
Untuk mengatasi permasalahan diatas maka ada bebarapa hal yang menurut penulis perlu menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia antara lain:
- Untuk tingkat SD, SMP dan SMU saatnya meninggalkan sistem pemberian nilai ujian menggunakan angka dari 0 s/d 10 untuk mengukur keberhasilan dari pada anak-anak didik dengan cara merubahnya mengikuti cara pemberian nilai di Jepang yaitu Cukup, Baik dan Sangat Baik, untuk kelulusan pun di Jepang cukup dengan sertifikat kelulusan. Kalaupun penilaian dengan angka lebih banyak dijadikan parameter penilaian untuk guru dan sekolah sendiri. Dengan cara ini maka anak-anak tidak akan terbeban psikologi bodoh dan pintar dan anak-anak mendapat kesempatan yang cukup untuk mengembangkan diri karena IQ (Intelligence Quotient) setiap anak berbeda-beda serta IQ anak juga tidak statis tapi dinamis.
- Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah standarisasi Sarana dan Prasarana Sekolah serta Standarisasi Kompetensi Guru seperti di Jepang hampir semua sekolah memiliki sarana dan prasarana yang sama baik di desa maupun di kota.
- Format belajar mengajar yang lebih mengarah kepada pengembangan kreatifitas dan inovasi anak-anak didik sejak dini, anak-anak lebih banyak diajar langsung di lapangan dan memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk menjelaskannya di dalam kelas jangan dimonopoli oleh guru jadi guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.
- Pelaksanaan yang baik dan benar serta adanya reward dan punishment untuk meningkatkan Komptensi Guru yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru yakni Guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
- Pemberian makanan paling tidak seperti di Jepang sampai SD pemerintah mengsubsidi makanan dan minuman yang bergisi bagi sekolah-sekolah dan gratis biaya sekolah bagi yang tidak mampu disamping itu pendidikan fisik dan penyaluran bakat bagi anak-anak sejak dini dengan dibentuknya klub-klub olahraga dan seni dan setiap murid wajib untuk memilih.
- Untuk itu waktu belajar disekolah dapat diperpanjang dari jam 8.00 AM sampai dengan jam 16.00 PM.
- Satu hal yang perlu ditiru dari Jepang juga yakni pemberian gisi pada anak-anak dimana sejak dari kandungan sampai 5 tahun mendapat pelayanan kesehatan gratis, karena pada fase ini adalah fase pertumbuhan otak anak.
- Guru-guru khususnya pegawai pemerintah tidak harus menetap di satu sekolah perlu di rolling agar tercipta pemerataan dalam proses belajar mengajar walaupun masih dalam satu kota atau propinsi yang sama.
Kiranya pemerintah dapat mempertimbangkan bentuk cara lain dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, untuk itu kerjasama antar semua pihak terkait perlu terus dikembangkan untuk mendapatkan satu sistem pendidikan yang baik bagi masa depan anak cucu kita dan pengembangan bangsa Indonesia di masa yang akan datang.