Manado, BeritaManado.com – Baru-baru ini, Pemerintah Sulut di bawah kendali Gubernur Olly Dondokambey dan Wagub Steven Kandouw (ODSK) mendapat penghargaan luar biasa dalam hal kesuksesan menjamin Hak Kebebasan Sipil Waga.
Ini disebabkan, Provinsi Sulut mampu secara baik menjalankan Sistem Demokrasi berdasarkan Ideologi Pancasila yang bertumbuh secara kondusif. Bahkan melampui angka Nasional.
Menurut pengamat politik, Paul Adrian Sembel, capaian yang patut dibanggakan ini, ternyata belum dibarengi dengan Pelayanan Publik jajaran Pemerintahan Provinsi Sulut.
“Sangat kontradiktif keberhasilan ini jika dikaitkan dengan predikat kepatuhan dalam pemenuhan standar Pelayanan Publik yang selama ini dilakukan,” ujar Paul Sembel.
Ombudsman RI bahkan menetapkan Provinsi Sulut salah satu dari enam Provinsi di Indonesia dalam zona merah atau predikat kepatuhan rendah, soal pelayanan publik. Survei standar pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman RI pada Mei hingga Juli 2017 telah menempatkan Sulut pada kategori zona merah ini.
Dari parameter; ketampakan, ketersediaan dari berbagai item yang seyogianya ada dan dipersyaratkan oleh undang-undang, maka Papua, selanjutnya Sulut, Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Utata dan Maluku masuk zona merah soal pelayanan publik. Hal ini karena Obudsman menilai bahwa daerah-daerah ini belum melengkapi persyaratan pelayanan publik yang baik, seperti kejelasan waktu pelayanan.
Dari indikator kurang baik ini, terbanyak adalah soal; 1) ketidakmampuan memastikan waktu pelayanan (mis, soal pengurusan SKCK atau KTP yang tdk ada kepastian kapan sekesainya. 2) temuan ketiadaan petugas pelayanan dikokasi. 3) ketiadaan fasilitas khusus, seperti toilet dan jalur untuk penyandang disabilitas serta ruangan ibu menyusui yang tersedia dikantor-kantor dinas/badan pelayanan publik.
“Nah kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan. Kehebatan ODSK memimpin daerah ini ternyata tidak dibarengi etos kerja para pejabat eselon yang ada. Demikian halnya penyiapan program dan kegiatan yang kurang lengkap untuk memenuhi standar pelayanan prima kepada masyarakat. Makanya jangan heran jika penyerapan APBD untuk tahun 2017 ini hanya berkisar pada 60 persen, padahal dananya sudah tertata dan cukup tersedia,” tandas Paul Sembel.
Lanjut Paul Sembel, harus ada penyesuaian program dan kegiatan termasuk menyiapkan program dan kegiatan sebagaimana persyaratan yang telah ditemui oleh Ombudsman.
“Demikian halnya dengan Gerak langkah ODSK yang cepat, tentunya harus ada penyesuaian dari gerak langkah aparat birokrasinya yang cepat pula. Jika memang hal ini masih menjadi kendala, sudah sepantasnya ODSK melakukan evaluasi terhadap jajarannya. Sebaiknya yang tidak mampu menjalankan tupoksinya diganti dengan yang punya kemampuan. Supaya nila setitik tidak merusak susu sebelanga.
“Percuma kita punya nama besar ODSK dengan jargon SULUT HEBAT tapi pelayanan publik kita parah dan dibawah standar,” pungkas Paul Sembel.
Sebelumnya diberitakan, Ombudsman RI menetapkan enam provinsi dalam zona merah atau predikat kepatuhan rendah dalam memenuhi standar pelayanan publik. Hal ini dilakukan setelah Ombudsman melakukan survei standar pelayanan publik pada Mei hingga Juli 2017.
“Yang kami lakukan adalah melihat ketampakan, melihat ketersediaan dari berbagai item yang seyogianya ada dan dipersyaratkan oleh undang-undang,” kata komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (5/12/2017).
Enam pemerintah provinsi yang masuk zona merah tersebut adalah Papua, Sulawesi Utara, Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan Maluku. Daerah tersebut dinilai Ombudsman belum melengkapi persyaratan pelayanan publik yang baik, seperti kejelasan waktu pelayanan.
“Yang paling banyak itu ada tiga. Pertama adalah ketidakmampuan memastikan waktu pelayanan. Jadi misal kita urus SKCK atau KTP, kita tanya kapan selesainya, dia jawab nggak tahu,” ujar Adrianus.
Berikutnya, ia juga menyatakan dalam survei yang dilakukan Ombudsman menemukan ketiadaan petugas pelayanan di lokasi. Faktor ketiga yang menyebabkan keenam pemerintah provinsi tersebut masuk zona merah adalah ketiadaan fasilitas khusus, seperti toilet dan jalur untuk penyandang disabilitas serta ruangan untuk ibu menyusui, yang tersedia di kantor-kantor pelayanan publik.
Meskipun demikian, Adrianus menyatakan sudah banyak pemerintah provinsi yang berupaya memperbaiki pelayanan publiknya. Ia pun menyebut masih banyak pemerintah kabupaten/kota yang belum serius memperbaiki pelayanan publik.
“Untuk kementerian, semakin hijau semua. Lembaga juga begitu, provinsi juga begitu. Yang masih banyak leyeh-leyeh adalah kabupaten/kota. Makin ke timur makin kacau itu. Kalau ada kabupaten/kota yang menjadi zona hijau, tampaknya lebih pada motif politik. Motifnya adalah supaya bagaimana menang pilkada, jadi nggak tulus,” ucapnya.
(***/JerryPalohoon)