Catatan: Teddy Tandaju, SE., MBA (Adv.)
Business Coach & Dosen
Prodi Manajemen, Unika De La Salle Manado
SELAIN informasi Covid-19, akhir-akhir ini saya sering membaca berita online tentang beberapa mantan selebriti dan atlet nasional yang jatuh dalam masalah keuangan di masa tuanya.
Sebut saja nama-nama seperti, Tessy Srimulat (pelawak), Yati Surachman (artis film), Ellyas Pical (atlet), dan Dorce Gamalama (artis serba bisa).
Dari beberapa di antaranya, saya tertarik dengan kisah Dorce Gamalama yang baru saja meninggal dunia.
Bukan karena penyakit yang dideritanya, namun bagaimana akhirnya beliau bisa meminta sumbangan dana dari Presiden Jokowi, Bapak Erick Thohir (Menteri BUMN) dan Ibu Megawati guna biaya pengobatannya.
Apakah memang Dorce sudah jatuh ‘sangat miskin’ sampai harus meminta belas kasih para pejabat negara?
Apakah keuangan Dorce memang sudah habis ludes sehingga harus berada dalam titik terendah untuk ‘mengemis’?
Apakah tidak ada simpanan tabungan ataupun harta benda yang dapat dijual lagi?
Langsung terpikir, kira-kira bagaimana yah cara mereka mengelola keuangan saat masih berjaya dalam karirnya?
Kok bisa sampai habis dan harus jadi ‘pengemis’?
Saya coba menjelajah Google & Youtube untuk melihat bagaimana para atlit dan artis ini berjaya di masa emasnya dan panen rupiah maupun dollar.
Khususnya, saya melihat bagaimana Dorce si artis serba bisa penuh dengan berbagai kontrak serta jadwal manggung yang super padat di masa ‘panen rayanya’, bahkan mampu menjadi artis yang diundang untuk tampil di berbagai acara luar negeri, memiliki koleksi gaun tampil hingga 6.000 buah, rumah dan berbagai macam aset bergerak maupun tidak bergerak, bahkan pernah menjadi host khusus acara talk show dan menjadi bintang tamu rutin stasiun televisi tertentu.
Saya pun terkagum-kagum dengan berapa pundi rupiah dan dolar yang telah bergulir masuk ke dalam rekeningnya, sebelum pensiun.
Terpikirkan juga bagaimana tumpukan pemasukkan tersebut telah beliau depositokan dan sekarang hanya menikmati bunga bulanan yang nilainya bisa saja mencapai ratusan juta.
Tapi!!! Kenyataannya sekarang kok sangat beralik 180 derajat.
Kenapa beliau menjadi pengemis bahkan dengan kalimat yang sangat memelas kepada ibu Megawati – ‘Tolong ya bu berapa aja deh bu, mau berobat. Makasih banyak ya bu’.
Suatu kalimat yang menunjukkan permohonan pengasihan mendalam.
Sungguh, saya tidak habis pikir bagaimana dana yang telah mereka kumpulkan semasa bersinar dulu habis atau dipakai untuk apa saja?
Langsung dapat saya simpulkan para artis dan atlit di atas tidak memiliki Money Management Skills (keterampilan pengelolaan keuangan) yang handal.
Mengapa mereka tidak melakukan seperti yang dilakukan artis dan atlet luar negeri dimana suatu Agent Management yang akan mengelola seluruh urusan bisnis termasuk keuangan serta pendapatan yang mengalir deras di masa kejayaannya.
Bukankah dengan pemasukan yang miliaran saat aktif dulu bisa didepositokan, diikutkan asuransi, diinvestasikan, dibelikan aset ataupun saham, dan lain sebagainya?
Kemana saja uang itu pergi dan hilang?
Still, I cannot figure out how all the money went away.
Apakah semua penghasilannya dipakai untuk hura-hura, dihamburkan hanya untuk kesenangan duniawi?
Jika begitu, berarti mereka telah menjalani suatu lifestyle (gaya hidup) yang tidak tepat tanpa memikirkan masa depan.
Yah, semua karena lifestyle.
Menurut ahli psikologi Austria, Alfred Adler, gaya hidup didefinisikan sebagai ketertarikan, pendapat, tindakan, dan orientasi perilaku seseorang atau kelompok orang terhadap lingkungan tempat dimana seseorang berada.
Dengan demikian, lifestyle nantinya akan bersinggungan erat dengan keadaan diri sendiri dalam bertindak terhadap lingkungan dimana seseorang hidup dan tinggal.
Jika lifestyle kita tercipta secara positif, tentunya kita pun akan bertindak secara baik dan sebaliknya.
Menyikapi apa yang dihadapi Dorce Gamalama, sering juga saya saksikan bagaimana banyak kenalan dan saudara yang dulunya punya ‘kelimpahan’ akhirnya jatuh dalam masalah keuangan hanya karena lifestyle yang salah.
Senang saya mendengar bahwa moto orang Manado ‘biar kalah nasi asal jangan kalah aksi’ sudah mulai hilang di generasi saat ini.
Walaupun saya tahu masih ada saja segelintir pribadi yang masih memegang moto ini meskipun keuangan mereka tidaklah menunjang.
Inilah katerori kaum ‘BPJS’ (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita).
Tidak heran banyak sekali dari kita sering dikejar debt collector hanya karena gaya hidup yang mengikuti pola BPJS.
Anak kedua saya pernah mengirim suatu pesan WhatsApp yang berisi video inspiratif yang menyarankan jika kita ingin membeli sesuatu yang mahal seharusnya kita memiliki nilai keuangan 10 kali lipat dari harga jual barang tersebut, bukan sebaliknya.
Oleh karenanya, marilah lebih bijak dalam menangani keuangan kita.
Bijaklah dalam membelanjakan sesuatu, kenalilah mana yang menjadi kebutuhan dan keinginan, sesuaikan pendapatan dan pengeluaran kita.
Jangan sampai ‘besar pasak daripada tiang’.
Dan, jangan sampai malahan kita yang dulunya ‘Sosialita’ harus jadi ‘Pengemis’ hanya karena gaya hidup yang salah.
Hentikan sikap ‘BPJS’ dan atur keuanganmu.
Kita hidup untuk kebahagian diri dan keluarga bukan untuk mendapatkan pengakuan masyarakat atas kemewahan yang kita miliki.
Jika memiliki kelebihan finansial gunakan itu sebagai modal untuk pegangan di masa depan.
Saya yakin anda tidak mau menjadi ‘pengemis’ di masa tuamu.
Jadi, atur keuangan-mu dengan bijak dan benar.
(***)