SEJARAH – Salah satu tokoh etnis Tionghoa yang berjasa kepada Republik ini adalah Mayor John Lie Tjeng Tjoan. Lahir di Menado 19 Maret 1911 dari ayah bernama Lie Kae Tae dan ibu bernama Maryam Oei Tjeng Nie(keduanya penganut Budha).
John Lie meninggal karena stroke 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,Jakarta.
Mendapat Tanda Jasa Pahlawan dari Presiden Soekarno tahun 1961. Dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 November 1995
Ia adalah mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM yang lalu bergabung dengan Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap dengan pangkat kapten.
Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan sekutu. Atas jasanya pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.
Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas Negara yang saat itu masih tipis.
Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blockade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata.
Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi ini, mayor John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the outlaw.
Seperti yang dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar(1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi “penyelundupan”. Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris.
Di pengadilan Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda.
John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dan penembak,seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku mengarahkan senjata ke kapal mereka.
Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah menembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB.
Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata dan keperluan lain perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Menikah di Usia 45 tahun dengan Margaretha Dharma Angkauw thn 1956. Perkawinan ini tidak dikaruniai anak.
Mayor John Lie bersama keluarga di GBIP Imanuel
Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali.
Pada masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di Maluku, lalu PPRI/Permesta. John Lie juga di kenal dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas di Angkatan Laut, terakhir berpangkat Laksamana Muda.
Baca juga:
- Siang Ini KRI John Lie Diresmikan (13 Desember 2014)
- John Lie: Alkitab dan Senjata
- Sejarah Laksamana Muda John Lie
- John Lie: Great Smuggler With The Bibble (bagian-1)
- John Lie: Tionghoa Tapi Berjiwa Nasionalis (bagian-2)
- Deprov Dukung Ringroad Pakai Nama Laksamana John Lie
- Ada Usul Nama Ruas Ringroad, FJ Tumbelaka atau Laksamana John Lie
- Pemuda KGPM Usul Ringroad Pakai Nama Pahlawan Nasional Laksamana John Lie
- John Lie – Wikipedia bahasa Indonesia
- KISAH “THE BLACK SPEED-BOAT”
- The Late Rear Admiral John Lie on Patriotism