Oleh : Anuar Syukur
Pada awal tahun 2012 yang baru saja berlalu saya sempat menuliskan tentang “Kebangkitan Totabuan”, terutama ditilik dari sudut budaya. Dan apa yang saya tuliskan tepat setahun yang lalu ternyata terus berproses seiring perjalanan waktu. Kesadaran generasi muda akan jati dirinya sudah benar-benar nampak. Alhamdulillah waktu telah mencatatkan cukup banyak fenomena yang menjadi pertanda bahwa tanah Totabuan memang telah bangkit di tahun 2012.
Bukan tak menarik membahas lagi permasalahan setahun belakang sehingga kualihkan catatan ini namun biarlah catatan lama yang terus mengevaluasinya. Sekarang, mari kita mencoba mengalihkan tatapan ke peristiwa yang bakal seru di Kotamobagu.
Pemilihan Walikota alias Pilwako ataupun pemilihan lainnya (Pemilihan Legislative—Pileg, pemilihan presiden—Pilpres, Pemilihan Gubernur—Pilgub, Pemilihan Kepala Daerah—Pilkada) umumnya dipandang sebagai pesta demokrasi atau pesta rakyat. Biasanya rakyat berpesta dalam waktu yang cukup lama walau mereka sebenarnya hanya 5 menit melaksanakan hak demokrasinya dalam system coblos atau contreng. Paling lambat setahun sebelum pencoblosan atau pencontrengan, rakyat mulai mendapatkan perhatian. Dalam kurun setahun itu supremasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan seakan dikembalikan, dalam kurun setahun itu rakyat akan dimanja.
Yang terjadi di Kotamobagu nampaknya tak begitu. Walau ramai di dunia maya namun di alam nyata rakyat masih tenang-tenang saja. Padahal waktu pemilihan tinggal 6 bulan. Terkait dengan ini, ada gejala aneh yang nampak. Rakyat tak lagi menjemput bola seperti biasanya, kediaman para bakal kandidat kosong karena rakyat hanya mau datang kalau diundang. Para bakal kandidat nampaknya kebingungan dengan sikap rakyat ini, mereka tak lagi dikerumuni seperti di masa lalu dan agar bisa mendapat perhatian rakyat mereka harus mengundang rakyat. Sikap yang sangat terhormat.
Rakyat nampaknya tak terburu-buru masuk ke sangkar bakal kandidat mana, mereka tak ingin mengurung diri segera, mereka masih ingin saling bertukar informasi dengan sesamanya sebelum menjatuhkan pilihan kandang siapa yang lebih baik.
Ada banyak analisis terkait sikap rakyat ini.
Pertama, rakyat ingin mengenali semua bakal kandidat sampai detail yang jelas memerlukan waktu yang lama. Banyak pendukung setia para bakal kandidat (bisa dikatakan tim sukses lah) yang bingung dengan sikap rakyat yang mendatangi semua bakal kandidat—bukan untuk mencari uang atau kedudukan melainkan untuk menggali informasi. Kondisi ini tentu tak menguntungkan kandidat maupun timnya karena tak bisa membentuk pendukung yang solid dan fanatic.
Kedua, rakyat menunggu bakal kandidat lain. Rakyat nampaknya sudah cukup mengenal bakal kandidat yang ada sekarang, mulai siapa orangnya, bagaimana perjalanan hidupnya, lokasi rumahnya, pekerjaannya—bahkan masyarakat sudah mengetahui track record masing-masing kandidat sekarang. Penaklukan ibu kota Jakarta oleh Joko Widodo yang tak mempunyai rumah di Jakarta benar-benar mempesona rakyat, nampaknya mereka ingin ada kandidat lain yang belum mereka kenali yang datang, melihat dan akan mereka menangkan.
Ketiga, rakyat ingin menunggu kepastian pasangan kandidat. Pertentangan antar pasangan kandidat yang terjadi diberbagai daerah—termasuk di Kotamobagu—telah memberi pelajaran bagi rakyat agar terlebih dahulu memastikan pasangan kandidat sebelum menjatuhkan pilihan. Pasangan kandidat yang diprediksi tidak harmonis dalam perjalanan pemerintahan jika memenangkan pertarungan bisa dipastikan akan dijauhi rakyat. Nampaknya sebagian rakyat sudah bosan dengan sikap saling tuduh dan menghindar dari pasangan kandidat pemenang pemilihan. Yang satu menuduh pasangannya tidak bekerja sehingga tidak berhak mengklaim hasil pembangunan, sementara yang lainnya menghindar dengan alasan tidak diberi peran sehingga tidak bertanggung jawab atas kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat. Sebagian rakyat berpandangan bahwa pasangan yang sedang memerintah sama-sama berhak mengklaim hasil pembangunan maupun bertanggung jawab atas semua kebijakan. Pasangan yang sedang memerintah sama-sama incumbent jika menjadi kandidat dalam perhelatan demokrasi ini!
Keempat, rakyat ingin menilai visi dan misi dari para kandidat. Visi dan misi sebenarnya pokok dari setiap kandidat karena dengan visi dan misi pasangan kandidat terpilih akan bekerja dan dikontrol oleh rakyat. Sejak pemilihan langsung 2006 lalu, visi dan misi belum begitu disentuh oleh pasangan kandidat atau katakanlah visi dan misi hanya secarik kertas berisi huruf-huruf yang tak perlu ditaati, rakyat pun tak begitu peduli dengan visi dan misi para pasangan kandidat. Namun itu dulu, sekarang rakyat akan sangat memperhatikan visi dan misi para kandidat sebelum menentukan pilihannya.
Bagi saya, termasuk dalam kategori mana kevakuman politik rakyat menjelang Pilwako ini, semua itu baik. Tinggal waktu yang akan membuktikan apakah rakyat tak menjual supremasinya demi lembaran rupiah.
Justeru yang patut dilihat saat ini adalah gonjang ganjing pasca Pilwako. Bagi saya, siapapun yang terpilih suasananya tetaplah akan baru. Bahkan jika incumbent sekalipun yang terpilih kembali, baik Walikota sekarang—Drs. Hi. Djelantik Mokodompit, ME; ataupun Wakil Walikota sekarang—Ir. Hj. Tatong Bara. Mereka akan tetap membawa kebaruan dalam pemerintahan. Akan tetap terjadi pergeseran-pergeseran dalam cabinet, perubahan orientasi kebijakan, dan lainnya. Jika suasana tidak menentu ini berlangsung selama satu semester (6 bulan) setelah pemilihan maka bisa dikatakan sepanjang tahun 2013 suasana Kotamobagu tidak menentu mengingat tahapan Pilwako sudah dimulai dan para bakal kandidat sudah harus bersiap—termasuk incumbent. Bukan berarti saya mengatakan pemerintahan tidak akan berjalan karena pucuk pimpinannya sedang berkosentrasi untuk terpilih kembali tapi minimal kebijakan yang diambil akan sangat berhati-hati agar pencitraan tidak terganggu, bagaimanapun semua hal terkait dengan kandidat akan menjadi sasaran bidik—terlebih kebijakan yang diambil oleh pucuk pimpinan dalam pemerintahan.
Suasana tak menentu ini memang tak dapat dihindari, inilah risiko system demokrasi. Semoga saja tidak berdampak terlalu buruk pada rakyat pemilik kekuasaan yang sesungguhnya.
Rumah Dinangoi, 1 Januari 2013