Manado – Sudah puluhan tahun kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei, tapi kok rasanya semakin menjauhkan masyarakat pada umumnya untuk bangkit meraih kemajuan dan kehormatan bangsa.
Tujuan pendidikan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya telah direduksi menjadi pembagunan ekonomi semata. Pembentukan mental spiritual terasa kering tanpa makna karena hanya ritual semata. Inilah yang merusak cita-cita luhur tujuan pendidikan nasional kita.
Fakta bahwa ada sekolah-sekolah yang berbiaya mahal tapi mutunya baik, sementara ada pula sekolah yang biayanya relatif terjangkau oleh masyarakat kebanyakan tapi mutunya rendah. Ini contoh bahwa cita-cita luhur pendidikan nasional kita terganggu pencapaiannya.
Ujian Nasional (UN) baru-baru ini dapat dikatakan gagal, dan ditengarai ada “proyek bermasalah”di dalamnya. Kedepan, harus betul-betul dievaluasi sehingga tak terjadi lagi.
Dunia Pendidikan Tinggi semakin kental politik praktisnya, suksesi rektor tak ubahnya pemilukada. Padahal rektor adalah jabatan akademik dan bukan jabatan politik. Hal ini berimbas ketingkat dekan dan jurusan.
Upacara 17-an nyaris tak membekas dalam diri sebagian besar sang pendidik. Janji Korpri berupa rasa setia kawan dan menjunjung tinggi solidaritas dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Mana Janji Korpri yang sering kita ucapkan bersama itu? Dirgahayu Hardiknas. (*)
* Mahyudin Damis, Staf pengajar FISIP Unsrat Manado