Pilar Demokrasi
(Kerjasama antara beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan di bawah PBB (Unesco) masih mengakui radio sebagai media yang memiliki kekuatan untuk tranformasi masyarakat. Murah, cepat, dan menjangkau pelosok, meski media elektronik lainnya berkembang pesat. Unesco juga mengakui gelombang suara menjangkau masyarakat terpencil dan masyarakat rentan lainnya, seperti kaum buta huruf, orang cacat, perempuan, generasi muda dan kaum miskin.
Radio juga memiliki peran kuat dan spesifik dalam mengkomunikasikan keadaan darurat dan bantuan bencana. Bagaimana posisi radio di tengah perkembangan media elektronik lainnya. Inilah yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H, dengan narasumber Iman Musaman (Ketua Aliansi Wartawan Radio Indonesia, Alwari) dan Judhariksawan (Anggota Komisi Penyiaran Indonesia).
Judha mengatakan kondisi penyiaran radio memang tetap dinamis, berkembang dari hari ke hari. KPID tetap membukakesempatan bagi mereka yang ingin melakukan pendaftaran baru bagi stasiun radio. Hanya sejak setahun lalu Kementerian Kominfo membuat semacam batasan, tiga bulan saja waktunya bagi pemohon melakukan proses perijinan.“Artinya peluang pemohon untuk mengajukan permohonan baru dalam konteks penyiaran FM mulai dibatasi di Indonesia,” ujar Judha.
Sementara menurut Iman, terkait posisi radio, terjadi peningkatan signifikan pasca Orde Baru, masa itu yang berhak membuat berita hanya RRI, stasiun radio wajib relai,belum bisa membuat berita sendiri. Tapi kebebasan yang sedemikian hebatnya justru berdampak, seolah radio kehilangan identitas, misalnya dikatakan murah dan cepat. “Iklan sangat kecil, padahal dalam beberapa survey, radio adalah penetrasi kedua setelah tivi, 40 persen pendengar radio, mendengar lewat internet. Ini tantangan orang radio,” imbuh Iman.
Judha membenarkan, memang radio berada dalam suatu paradigma yang berubah. Ada paradigma baru dalam konteks bagaimana memanfaatkan radio sebagai alat komunikasi kaitannya dengan demokrasi. Dulu ketika pilihan publik hanya terbatas pada radio, maka memang perannya sangat vital. “Tapi ketika kita melihat ada media-media lain yang berdampingan hidup bersama radio seperti tivi, dan media sosial, radio seharusnya ada dua pilihan apakah tetap konservatif seperti yang ada dulu, atau mengikuti perubahan zaman,” tegas Judha.
Menurut Iman, dari beberapa survei, motivasi orang mendengarkan radio adalah untuk hiburan, baru kemudian mencariberita. Perkembangan sekarang agak miris, ketika dibilang jurnalis dengan ID Card pers, selalu disebut wartawan cetakatau tivi. Nah ini mungkin keliru ketika kita tidak pernah menyebut wartawan radio, karena itu muncul Aliansi Wartawan Radio,” imbuh Iman.
Judha menambahkan, berdasarkan cetak biru frekuensi yang diatur Kementerian Kominfo, memang radio komunitas mendapat porsi yang tidak adil, karena tidak sama dengan lembaga penyiaran lain. Sementara dalam UU Penyiaran dikatakan, bahwa lembaga penyiaran terdiri atas empat, yaitu lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas dan berlangganan. Itu sudah pembatasan. Itu levelnya sama dan setara. “Tapi dalam perlakuannya sama sekali tidak ada kesetaraan, penyiaran radio komunitas hanya diberikan frekuensi terbatas, kemudian dibatasi lagi kalau sudah ada satu radio komunitas, maka radio komunitas berikut hanya boleh berdiri dengan jarak 2,5 kilometer,” kata Judha.
Pilar Demokrasi
(Kerjasama antara beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan di bawah PBB (Unesco) masih mengakui radio sebagai media yang memiliki kekuatan untuk tranformasi masyarakat. Murah, cepat, dan menjangkau pelosok, meski media elektronik lainnya berkembang pesat. Unesco juga mengakui gelombang suara menjangkau masyarakat terpencil dan masyarakat rentan lainnya, seperti kaum buta huruf, orang cacat, perempuan, generasi muda dan kaum miskin.
Radio juga memiliki peran kuat dan spesifik dalam mengkomunikasikan keadaan darurat dan bantuan bencana. Bagaimana posisi radio di tengah perkembangan media elektronik lainnya. Inilah yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H, dengan narasumber Iman Musaman (Ketua Aliansi Wartawan Radio Indonesia, Alwari) dan Judhariksawan (Anggota Komisi Penyiaran Indonesia).
Judha mengatakan kondisi penyiaran radio memang tetap dinamis, berkembang dari hari ke hari. KPID tetap membukakesempatan bagi mereka yang ingin melakukan pendaftaran baru bagi stasiun radio. Hanya sejak setahun lalu Kementerian Kominfo membuat semacam batasan, tiga bulan saja waktunya bagi pemohon melakukan proses perijinan.“Artinya peluang pemohon untuk mengajukan permohonan baru dalam konteks penyiaran FM mulai dibatasi di Indonesia,” ujar Judha.
Sementara menurut Iman, terkait posisi radio, terjadi peningkatan signifikan pasca Orde Baru, masa itu yang berhak membuat berita hanya RRI, stasiun radio wajib relai,belum bisa membuat berita sendiri. Tapi kebebasan yang sedemikian hebatnya justru berdampak, seolah radio kehilangan identitas, misalnya dikatakan murah dan cepat. “Iklan sangat kecil, padahal dalam beberapa survey, radio adalah penetrasi kedua setelah tivi, 40 persen pendengar radio, mendengar lewat internet. Ini tantangan orang radio,” imbuh Iman.
Judha membenarkan, memang radio berada dalam suatu paradigma yang berubah. Ada paradigma baru dalam konteks bagaimana memanfaatkan radio sebagai alat komunikasi kaitannya dengan demokrasi. Dulu ketika pilihan publik hanya terbatas pada radio, maka memang perannya sangat vital. “Tapi ketika kita melihat ada media-media lain yang berdampingan hidup bersama radio seperti tivi, dan media sosial, radio seharusnya ada dua pilihan apakah tetap konservatif seperti yang ada dulu, atau mengikuti perubahan zaman,” tegas Judha.
Menurut Iman, dari beberapa survei, motivasi orang mendengarkan radio adalah untuk hiburan, baru kemudian mencariberita. Perkembangan sekarang agak miris, ketika dibilang jurnalis dengan ID Card pers, selalu disebut wartawan cetakatau tivi. Nah ini mungkin keliru ketika kita tidak pernah menyebut wartawan radio, karena itu muncul Aliansi Wartawan Radio,” imbuh Iman.
Judha menambahkan, berdasarkan cetak biru frekuensi yang diatur Kementerian Kominfo, memang radio komunitas mendapat porsi yang tidak adil, karena tidak sama dengan lembaga penyiaran lain. Sementara dalam UU Penyiaran dikatakan, bahwa lembaga penyiaran terdiri atas empat, yaitu lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas dan berlangganan. Itu sudah pembatasan. Itu levelnya sama dan setara. “Tapi dalam perlakuannya sama sekali tidak ada kesetaraan, penyiaran radio komunitas hanya diberikan frekuensi terbatas, kemudian dibatasi lagi kalau sudah ada satu radio komunitas, maka radio komunitas berikut hanya boleh berdiri dengan jarak 2,5 kilometer,” kata Judha.