Pilar Demokrasi
(Hasil Kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Jakarta – Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) secara online sudah mulai sejak 2006. Akan tetapi sistem yang mengharuskan penerpaan sistem zonasi membuat kesalahan data di mana-mana. Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang memberi alternatif pilihan dengan sistem pendaftaran pemusatan di satu sekolah membuat kekisruhan di lapangan. Seperti Rayon Jatinegara, seribuan calon siswa dan orangtua harus antri hingga dua hari.
Sementara, jumlah calon pendaftaran dari luar DKI ternyata sangat membludak. Seribuan calon siswa dan orangtua tampak kelelahan menunggu antrean formulir untuk mendaftar di sekolah yang dituju. Mereka berasal dari luar DKI Jakarta seperti Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi sudah mendaftar di rayon 9 Jatinegara di SMA 54.
Dasar penerimaan peserta didik yang hanya menggunakan nilai UAN pun banyak mengundang kritikan. Hal ini dianggap meniadakan proses belajar panjang yang telah dilalui olehpara siswa di jenjang pendidikan.
PPDB saat ini menggunakan dua tahap: jalur umum dan jalur lokal. Jalur umum, siswa bisa mendaftar antara Rayon. Sementara jalur lokal siswa bisa langsung mendaftar pada Rayon tempat tinggal siswa. Akan tetapi di lapangan pendaftaran ini tidak sesuai kenyataan. Mereka yang sudah mendaftar melalui internet, datanya tak terverifikasi. “Nah, saat pengumuman siswa ini tidak diterima. Tapi sebenarnya, data mereka tidak terverifikasi secara sistem. Ini banyak sekali,” kata Heru Purnomo Ketua Forum Musyawarah Guru Jakarta.
Heru yang juga menjadi Panitia Pelaksana PPDB kemudian melaporkan kejadian ini ke posko pengaduan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Orangtua yang sudah terlanjut marah dengan persoalan sistem online, meminta Dinas Pendidikan memberikan kesempatan kali kedua untuk mendaftarkan siswa yang tidak terverifikasi. “PPDB diikutsertakan di jalur lokal. Wakadis pendidikan akhirnya memberikan kesempatan. untuk mengikuti pendaftaran melalui jalur lokal,” ungkap Heru.
Heru Purnomo juga menemukan kasus-kasus yang tidak berjalan sesuai sistem. Misalnya, siswa yang tidak diterima melalui jalur lokal, tapi bisa diterima melalui jalur umum. Padahal prioritas siswa untuk masuk sekolah adalah jalur lokal. “Kasusnya adalah, siswa yang tinggal di Kelurahan Rajawali, Kecamatan Pancoran, Pasar Minggu, tak diterima di jalur umum. Kemudian, menggunakan kartu mendaftar ke Kecamatan Ciracas. Tapi ketika mendaftar, data basenya tak berfungsi. Tapi ini bisa diterima di Kecamatan ciracas,” kata Heru.
Lainnya, warga Depok bisa menyekolahkan anaknya di SMA 8, Bukit Duri, Jakarta Selatan dengan cara melakukan pendekatan ke kelurahan. Warga ini juga melobi warga, agar anaknya bisa dicantumkan dalam kartu keluarga penduduk setempat, sehingga bisa diterima sekolah di Jakarta.
Menurut Pengamat Pendidikan, Lody F Paat, PPDB online justru membuat warga sulit untuk mengakses hak pendidikan. Tak seluruh orangtua paham menggunakan internet untuk mendaftarakan sekolah anaknya. “Kalau melihat Undang Undang Pelayanan Publik yang berazaskan kemudahan, keterjangkauan ini tidak tercapai.
Ini sudah melanggar Undang Undang,” katanya.
Menurut Lody, semestinya Dinas Pendidikan Jakarta sudah bisa memetakan jumlah siswa yang akan bersekolah sampai tingkat kecamatan. Dengan pemetaan jumlah, maka sekolah-sekolah tersebut bisa menyesuaikan kapasitas ruang kelas. Intinya, kata dia, semua warga bisa mengakses hak pendidikan tanpa hambatan administratif. “Kalau pendidikan adalah hak, ya, harus ada kemudahan. Tapi kalau ada kasus ini, ya ini kesulitan,” katanya.
Pemerintah bisa melibatkan masyarakat untuk mengevaluasi sistem PPDB online yang sudah berlangsung sejak 2006. Standar-standar pelayanan seperti penerimaan siswa baru, perlu diatur bersama, sehingga tak ada lagi siswa yang tidak diterima sekolah karena persoalan administratif. PPDB online justru menjadi sarana bagi warga kurang mampu, terpental dari hak pendidikan. Mereka lalu bersekolah yang kualitasnya tak diurus pemerintah. “Dengan sistem ini, warga ekonomi ke bawah tidak diuntungkan. Jadi dihentikan saja. Kedua, samakan semua kualitas pendidikan di seluruh Jakarta,” kata Lody. (Oke)
Pilar Demokrasi
(Hasil Kerjasama beritamanado dengan KBR68H)
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Jakarta – Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) secara online sudah mulai sejak 2006. Akan tetapi sistem yang mengharuskan penerpaan sistem zonasi membuat kesalahan data di mana-mana. Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang memberi alternatif pilihan dengan sistem pendaftaran pemusatan di satu sekolah membuat kekisruhan di lapangan. Seperti Rayon Jatinegara, seribuan calon siswa dan orangtua harus antri hingga dua hari.
Sementara, jumlah calon pendaftaran dari luar DKI ternyata sangat membludak. Seribuan calon siswa dan orangtua tampak kelelahan menunggu antrean formulir untuk mendaftar di sekolah yang dituju. Mereka berasal dari luar DKI Jakarta seperti Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi sudah mendaftar di rayon 9 Jatinegara di SMA 54.
Dasar penerimaan peserta didik yang hanya menggunakan nilai UAN pun banyak mengundang kritikan. Hal ini dianggap meniadakan proses belajar panjang yang telah dilalui olehpara siswa di jenjang pendidikan.
PPDB saat ini menggunakan dua tahap: jalur umum dan jalur lokal. Jalur umum, siswa bisa mendaftar antara Rayon. Sementara jalur lokal siswa bisa langsung mendaftar pada Rayon tempat tinggal siswa. Akan tetapi di lapangan pendaftaran ini tidak sesuai kenyataan. Mereka yang sudah mendaftar melalui internet, datanya tak terverifikasi. “Nah, saat pengumuman siswa ini tidak diterima. Tapi sebenarnya, data mereka tidak terverifikasi secara sistem. Ini banyak sekali,” kata Heru Purnomo Ketua Forum Musyawarah Guru Jakarta.
Heru yang juga menjadi Panitia Pelaksana PPDB kemudian melaporkan kejadian ini ke posko pengaduan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Orangtua yang sudah terlanjut marah dengan persoalan sistem online, meminta Dinas Pendidikan memberikan kesempatan kali kedua untuk mendaftarkan siswa yang tidak terverifikasi. “PPDB diikutsertakan di jalur lokal. Wakadis pendidikan akhirnya memberikan kesempatan. untuk mengikuti pendaftaran melalui jalur lokal,” ungkap Heru.
Heru Purnomo juga menemukan kasus-kasus yang tidak berjalan sesuai sistem. Misalnya, siswa yang tidak diterima melalui jalur lokal, tapi bisa diterima melalui jalur umum. Padahal prioritas siswa untuk masuk sekolah adalah jalur lokal. “Kasusnya adalah, siswa yang tinggal di Kelurahan Rajawali, Kecamatan Pancoran, Pasar Minggu, tak diterima di jalur umum. Kemudian, menggunakan kartu mendaftar ke Kecamatan Ciracas. Tapi ketika mendaftar, data basenya tak berfungsi. Tapi ini bisa diterima di Kecamatan ciracas,” kata Heru.
Lainnya, warga Depok bisa menyekolahkan anaknya di SMA 8, Bukit Duri, Jakarta Selatan dengan cara melakukan pendekatan ke kelurahan. Warga ini juga melobi warga, agar anaknya bisa dicantumkan dalam kartu keluarga penduduk setempat, sehingga bisa diterima sekolah di Jakarta.
Menurut Pengamat Pendidikan, Lody F Paat, PPDB online justru membuat warga sulit untuk mengakses hak pendidikan. Tak seluruh orangtua paham menggunakan internet untuk mendaftarakan sekolah anaknya. “Kalau melihat Undang Undang Pelayanan Publik yang berazaskan kemudahan, keterjangkauan ini tidak tercapai.
Ini sudah melanggar Undang Undang,” katanya.
Menurut Lody, semestinya Dinas Pendidikan Jakarta sudah bisa memetakan jumlah siswa yang akan bersekolah sampai tingkat kecamatan. Dengan pemetaan jumlah, maka sekolah-sekolah tersebut bisa menyesuaikan kapasitas ruang kelas. Intinya, kata dia, semua warga bisa mengakses hak pendidikan tanpa hambatan administratif. “Kalau pendidikan adalah hak, ya, harus ada kemudahan. Tapi kalau ada kasus ini, ya ini kesulitan,” katanya.
Pemerintah bisa melibatkan masyarakat untuk mengevaluasi sistem PPDB online yang sudah berlangsung sejak 2006. Standar-standar pelayanan seperti penerimaan siswa baru, perlu diatur bersama, sehingga tak ada lagi siswa yang tidak diterima sekolah karena persoalan administratif. PPDB online justru menjadi sarana bagi warga kurang mampu, terpental dari hak pendidikan. Mereka lalu bersekolah yang kualitasnya tak diurus pemerintah. “Dengan sistem ini, warga ekonomi ke bawah tidak diuntungkan. Jadi dihentikan saja. Kedua, samakan semua kualitas pendidikan di seluruh Jakarta,” kata Lody. (Oke)