Manado, BeritaManado.com — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi Sulawesi Utara tahun 2024 akan berbeda dibanding Pilkada sebelumnya. Ruang kedaulatan rakyat akan lebih terbuka melawan politik rezim.
Ada beberapa indikator yang bisa menunjukan asumsi di atas.
Pertama, Pilkada kali ini berlangsung serentak di Provinsi dan Kabupaten Kota. Gubernur dan Bupati Walikota dipilih bersamaan. Pilihan bisa berbeda atau tidak linier, Gubernur dari partai anu dan Bupati Walikota partai itu.
Hal kedua, di Sulawesi Utara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024 tidak berbanding lurus dengan hasil Pileg baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Bahkan hasil Pilpres jauh melampaui hasil Pileg. Artinya, pilihan demokratis sangat mungkin terjadi. Gerak politik mesin partai selama masa kampanye tidak menjadi jaminan kemenangan. Terbukti, hasil Pilpres dengan hasil Pileg tidak linier.
Ketiga, tak ada lagi tokoh dengan “magnit” politik kuat seperti ketika Sinyo Harry Sarundajang juga Olly Dondokambey tampil pada Pilkada 20 tahun silam dan 10 tahun lalu. Ketika itu, publik sudah bisa membaca kekuatan dan kecendrungan pilihan.
Magnit politik Olly Dondokambey di Sulawesi Utara juga mulai memudar dengan kekalahan mencolok Capres Cawapres PDI Perjuangan. Padahal jejaring politik OD cukup mumpuni, di hampir semua kabupaten kota. Tetapi faktanya, kedaulatan rakyat tidak sepenuhnya ditentukan oleh kerja politik mesin partai.
Keempat, Pecah kongsi koalisi partai-partai Pilpres di Sulawesi Utara. Kawan menjadi lawan, sebaliknya ada lawan kini menjadi kawan. Dalam pandangan publik, “koalisi mati manya” itu gambaran deparpolisasi atau melemahnya peran politik partai.
Fakta – fakta politik lokalan Sulut itu telah terang benderang di ruang publik. Akibatnya, menghadapi Pilkada di Sulawesi Utara Oktober 2024 nanti para kontentan akan berhadapan dengan dominannya swing voters (pemilih mengambang).
Pemilih mengambang itu kini sedang mengamat – amati kecedrungan koalisi partai serta siapa figur calon yang diusung. Swing voters juga dengan gampangnya melihat tarian politik partisan politik partisipan. Yaa, pemilih mengambang itu terlihat jelas di media sosial.
Khusus untuk Pemilihan Gubernur Sulawesi Utara, tanpa bermaksud merendahkan figur-figur yang muncul belakangan ini, belum ada calon yang ketokohannya sudah disukai jauh sebelum Pilkada berlangsung, seperti ketika S.H. Sarundajang ditampilkan 2004-2005 dan Olly Dondokambey 2014 – 2015. Ketika itu, baik SHS maupun OD sudah bisa dibaca di ruang publik tingkat ketersukaannya melebihi calon lain. Lagi pula ketika itu tidak terjadi tarik menarik yang menonjol antar partai. Benar, SHS menang OD juga menang sesuai ekspektasi partai pada publik.
Pada situasi itu, SHS mendapat dukungan politik kepemimpinan nasional baik oleh Megawati maupun oleh SBY.
Demikian pula OD, unggul oleh dukungan politik kekuasaan nasional oleh Megawati dan Jokowi.
Pilkada di tahun 2024 ini keadaan sangat berbeda. Dukungan faktual kepemimpinan nasional pada bakal calon tidak bisa dihadirkan. Hal lain lagi jejaring politik nasional tidak lagi dikuasai oleh PDI Perjuangan. Pergeseran politik kekuasaan nasional tentu memberi pengaruh pada kepentingan politik daerah.
Lebih-lebih jika PDI Perjuangan memposisikan diri sebagai oposisi pada pemerintahan Prabowo – Gibran. Keadaan ini akan semakin membuka ruang migrasi pilihan politik di tingkat lokal sekalipun.
Sebelum bermigrasi mereka akan menjadi swing voters.
Ruang migrasi pilihan politik para pemilih di Pilkada Sulawesi Utara akan datang, sebenarnya bisa dipandang sebagai sebuah situasi membaiknya demokrasi kerakyatan, membaiknya spirit kedaulatan rakyat.
Tidak liniernya pilihan Pilpres dengan pilihan legislatif di Sulawesi Utara pada Pemilu Febuari lalu harus dicatat sebagai peristiwa penting demokrasi, rakyat berdaulat.
Oleh karena itu, biarlah kita mencermati fakta hampir 70 % pemilih Prabowo Gibran di Sulawesi Utara adalah fenomena swing voters yang kemudian mengejutkan.
Di Pilkada 2024 ini, Pemilihan Gubernur sangat mungkin hasilnya tidak berbanding lurus dengan hasil Pemilihan Bupati Walikota yang dilakukan serentak.
Gerak mesin partai juga bukan jaminan mempengaruhi pemilih mengambang yang semakin potensial.
Tak ada cara lain menghadapi makin potensialnya kehadiran swing voters dalam Pilkada selain menghadirkan politik gagasan, politik berideologi.
Sebuah rekomendasi penting adalah, siapa calon atau partai yang memiliki gagasan – gagasan kuat sebagai “magnit” maka merekalah yang lebih berpeluang unggul karena mereka akan dilirik oleh pemilih mengambang.
Oleh: JOPPIE WOREK