Pilar Demokrasi
Hasil Kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Setiap harinya, Kepolisian mencatat rata-rata 18 pejalan kaki meninggal di Indonesia. Dari jumlah itu, di Jakarta, menurut Koalisi Pejalan Kaki, sebanyak 80an pejalan tewas dalam satu tahun. Kota besar seperti Jakarta semakin tidak ramah bagi pejalan kaki. Banyak trotoar di ibukota menjelma menjadi etalase pedagang, tempat parkir kendaraan atau dipenuhi pot-pot besar. Belum lagi di kala macet, pedesterian menjelma menjadi gang tempat lalu lalang sepeda motor. Praktis pejalan kaki kehilangan tempat aman untuk melangkahkan kaki mereka ke tempat tujuan. Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengatakan, mengutip data pemerintah provinsi DKI Jakarta, dari tujuh ribu panjang jalan Jakarta, hanya 500 kilometer yang memiliki trotoar yang layak untuk orang normal.
Sandungan Pejalan kaki di Ibukota
Fasilitas untuk pejalan kaki buruk meskipun hak-hak pejalan kaki sudah dijamin oleh negara. Ratna Yunita, Pegiat sosial di Komunitas Ruang Publik Jakarta, mengatakan, “Peraturan Pemerintah no 32 tahun 2011 menjelaskan fasilitas untuk pejalan kaki apa saja, trotoar, jembatan penyeberangan. Semua disebutkan.” Namun, peraturan itu tidak terwujud dalam pembangunan.
Infrastruktur untuk pejalan kaki juga dipinggirkan, tidak seperti infrastruktur untuk kendaraan. Yunita mencontohkan kehadiran jembatan penyeberangan yang menjadi bukti diskriminasi terhadap pejalan kaki. “Jelas, pejalan kaki akan memilih rute tersingkat. Salah satu caranya adalah penyediaan fasilitas penyeberangan yang sebidang,” ujarnya dalam acara Pilar Demokrasi di KBR68H dan Tempo Tv. Akibat jembatan penyeberangan, pejalan kaki mesti lelah naik dan turun. Padahal, kendaraan bisa terus saja tanpa repot-repot. Alfred Sitorus, Koordinator Koalisi Pejalan Kaki mengusulkan usul ekstrem, “hancurkan semua jembatan penyeberangan di Jakarta.” Ia mengusulkan cukup dibangun zebra cross di jalan-jalan.
Permasalahan tumpang tindih wewenang turut menghambat pembangunan infrastruktur yang nyaman bagi pejalan kaki. “Yang ngurusin trotoar di Jakarta ada dua dinas dan Kementerian PU,” keluh Alfred. Akibatnya, untuk mengusulkan perbaikan saja ia mesti merunut trotoar di salah satu jalan itu merupakan tanggung jawab siapa. Deputi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Pemrpov DKI Jakarta Sarwo Handayani menceritakan, pemprov DKI Jakarta pernah memperbaiki trotoar di jalan Gatot Subroto. Namun, trotoar itu dibongkar oleh Kementerian Pekerjaan Umum tanpa jadi lebih baik.
Permasalahan pejalan kaki di Jakarta menjadi bertambah pelik karena tidak ada kesadaran masyarakat untuk memberi ruang bagi pejalan kaki. Ratna mencontohkan, ketika pejalan kaki menyebrang di zebra cross masih ada pengguna kendaraan bermotor yang tidak mengalah dan malah membunyikan klakson. Selain itu, pengguna motor yang naik ke trotoar dan merampas hak pejalan kaki merupakan contoh nyata tidak adanya kesadaran tersebut.
Mengurai Keruwetan Kendala Pejalan Kaki
Ada tiga langkah utama untuk mengurai benang kusut permasalahan pejalan kaki di Jakarta menurut Ratna Yunita. Pegiat sosial itu merumuskan dalam istilah tiga E. Pertama, education atau pendidikan. “Pendidikan publik tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka,” terang pegiat sosial itu. Kedua, Engineering atau pembangunan. Infrastruktur untuk pejalankaki mesti dibuat nyaman dengan trotoar yang lebar dan ketinggian sama. Ratna memaparkan, standar trotoar yang baik sudah disepakati para pakar. “Dua orang berpapasan tanpa ada yang menghambat seperti gardu listrik, tiang. Trotoar yang tinggi ideal itu berapa? 15 cm,” paparnya. Ketiga, enforcement atau penegakan hukum. Alfred menambahkan, peraturan tentang lalu lintas sudah mengatur dengan rinci tentang arus dan pergerakan kendaraan dan orang. Sementara itu, pemerintah provinsi DKI Jakarta memiliki Perda DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang melarang penggunaan trotoar untuk berdagang. Ketiga hal itu bisa berjalan bebarengan jika ada kemauan politis yang kuat dari pemimpin.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengaku sadar pentingnya perbaikan fasilitas pejalan kaki. “Kita akan mengejar ketertinggalan itu. Sangat disadari bahwa pejalan kaki itu mata rantai transportasi publik. Pemprov dki Jakarta menuju peningkatan transportasi publik. Kita sangat sepaham,” tutur Deputi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Sarwo Handayani melalui sambungan telepon. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berjanji akan melobi pemilik-pemilik gedung di pinggir jalan agar sebagian tanah mereka bisa digunakan untuk perbaikan fasilitas pejalan kaki. “Waktu kita buat pelebaran trotoar di Sudirman-Thamrin, itu kita minta kesediaan pemilik gedung/lahan untuk bisa meminjamkan lahannya untuk kepentingan pejalan kaki,” kata perempuan yang akrab disapa ibu Yani tersebut. Pemprov untuk saat ini tengah mengutamakan perbaikan-perbaikan fasilitas pejalan kaki di jalan-jalan utama untuk memperbaiki transportasi umum.
Ratna menambahkan, perbaikan akses pejalan kaki merupakan perbaikan demokrasi. “Trotoar itu adalah simbol demokrasi,” ujarnya. Seseorang, ketika mengantungi 30 ribu di memiliki hak fasilitas yang samma dengan orang yang memiliki kendaraan dengan harga 300 juta. Sementara itu, Ratna mengaku bersama teman-temannya terus melakukan pendidikan atau education tentang pentingnya ruang berjalan kaki. Sebab, kemampuan untuk membangun infrastruktur dan penegakan hukum mestinya dilakukan pemerintha, bukan masyarakat sipil. Sementara itu, Koalisi Pejalan Kaki mengaku terus memenuhi trotoar setiap hari jumat. “Kami dari koalisi pejalan kaki berkomitmen, tiap jumat turun ke jalan. Di 10 kota. Edukasi masyarkat trotoar itu milik pejalan kaki. Ekstrimnya, kita tidur di trotoar,” kata Koordinator Koalisi itu Alfred dengan membara. Aksi tidur di jalan itu dilakukan jika pengendara motor nekat merebut trotoar. “Menabrak pejalankaki itu pidana,” ancamnya. (*)
Pilar Demokrasi
Hasil Kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Setiap harinya, Kepolisian mencatat rata-rata 18 pejalan kaki meninggal di Indonesia. Dari jumlah itu, di Jakarta, menurut Koalisi Pejalan Kaki, sebanyak 80an pejalan tewas dalam satu tahun. Kota besar seperti Jakarta semakin tidak ramah bagi pejalan kaki. Banyak trotoar di ibukota menjelma menjadi etalase pedagang, tempat parkir kendaraan atau dipenuhi pot-pot besar. Belum lagi di kala macet, pedesterian menjelma menjadi gang tempat lalu lalang sepeda motor. Praktis pejalan kaki kehilangan tempat aman untuk melangkahkan kaki mereka ke tempat tujuan. Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengatakan, mengutip data pemerintah provinsi DKI Jakarta, dari tujuh ribu panjang jalan Jakarta, hanya 500 kilometer yang memiliki trotoar yang layak untuk orang normal.
Sandungan Pejalan kaki di Ibukota
Fasilitas untuk pejalan kaki buruk meskipun hak-hak pejalan kaki sudah dijamin oleh negara. Ratna Yunita, Pegiat sosial di Komunitas Ruang Publik Jakarta, mengatakan, “Peraturan Pemerintah no 32 tahun 2011 menjelaskan fasilitas untuk pejalan kaki apa saja, trotoar, jembatan penyeberangan. Semua disebutkan.” Namun, peraturan itu tidak terwujud dalam pembangunan.
Infrastruktur untuk pejalan kaki juga dipinggirkan, tidak seperti infrastruktur untuk kendaraan. Yunita mencontohkan kehadiran jembatan penyeberangan yang menjadi bukti diskriminasi terhadap pejalan kaki. “Jelas, pejalan kaki akan memilih rute tersingkat. Salah satu caranya adalah penyediaan fasilitas penyeberangan yang sebidang,” ujarnya dalam acara Pilar Demokrasi di KBR68H dan Tempo Tv. Akibat jembatan penyeberangan, pejalan kaki mesti lelah naik dan turun. Padahal, kendaraan bisa terus saja tanpa repot-repot. Alfred Sitorus, Koordinator Koalisi Pejalan Kaki mengusulkan usul ekstrem, “hancurkan semua jembatan penyeberangan di Jakarta.” Ia mengusulkan cukup dibangun zebra cross di jalan-jalan.
Permasalahan tumpang tindih wewenang turut menghambat pembangunan infrastruktur yang nyaman bagi pejalan kaki. “Yang ngurusin trotoar di Jakarta ada dua dinas dan Kementerian PU,” keluh Alfred. Akibatnya, untuk mengusulkan perbaikan saja ia mesti merunut trotoar di salah satu jalan itu merupakan tanggung jawab siapa. Deputi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Pemrpov DKI Jakarta Sarwo Handayani menceritakan, pemprov DKI Jakarta pernah memperbaiki trotoar di jalan Gatot Subroto. Namun, trotoar itu dibongkar oleh Kementerian Pekerjaan Umum tanpa jadi lebih baik.
Permasalahan pejalan kaki di Jakarta menjadi bertambah pelik karena tidak ada kesadaran masyarakat untuk memberi ruang bagi pejalan kaki. Ratna mencontohkan, ketika pejalan kaki menyebrang di zebra cross masih ada pengguna kendaraan bermotor yang tidak mengalah dan malah membunyikan klakson. Selain itu, pengguna motor yang naik ke trotoar dan merampas hak pejalan kaki merupakan contoh nyata tidak adanya kesadaran tersebut.
Mengurai Keruwetan Kendala Pejalan Kaki
Ada tiga langkah utama untuk mengurai benang kusut permasalahan pejalan kaki di Jakarta menurut Ratna Yunita. Pegiat sosial itu merumuskan dalam istilah tiga E. Pertama, education atau pendidikan. “Pendidikan publik tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka,” terang pegiat sosial itu. Kedua, Engineering atau pembangunan. Infrastruktur untuk pejalankaki mesti dibuat nyaman dengan trotoar yang lebar dan ketinggian sama. Ratna memaparkan, standar trotoar yang baik sudah disepakati para pakar. “Dua orang berpapasan tanpa ada yang menghambat seperti gardu listrik, tiang. Trotoar yang tinggi ideal itu berapa? 15 cm,” paparnya. Ketiga, enforcement atau penegakan hukum. Alfred menambahkan, peraturan tentang lalu lintas sudah mengatur dengan rinci tentang arus dan pergerakan kendaraan dan orang. Sementara itu, pemerintah provinsi DKI Jakarta memiliki Perda DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang melarang penggunaan trotoar untuk berdagang. Ketiga hal itu bisa berjalan bebarengan jika ada kemauan politis yang kuat dari pemimpin.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengaku sadar pentingnya perbaikan fasilitas pejalan kaki. “Kita akan mengejar ketertinggalan itu. Sangat disadari bahwa pejalan kaki itu mata rantai transportasi publik. Pemprov dki Jakarta menuju peningkatan transportasi publik. Kita sangat sepaham,” tutur Deputi Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Sarwo Handayani melalui sambungan telepon. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berjanji akan melobi pemilik-pemilik gedung di pinggir jalan agar sebagian tanah mereka bisa digunakan untuk perbaikan fasilitas pejalan kaki. “Waktu kita buat pelebaran trotoar di Sudirman-Thamrin, itu kita minta kesediaan pemilik gedung/lahan untuk bisa meminjamkan lahannya untuk kepentingan pejalan kaki,” kata perempuan yang akrab disapa ibu Yani tersebut. Pemprov untuk saat ini tengah mengutamakan perbaikan-perbaikan fasilitas pejalan kaki di jalan-jalan utama untuk memperbaiki transportasi umum.
Ratna menambahkan, perbaikan akses pejalan kaki merupakan perbaikan demokrasi. “Trotoar itu adalah simbol demokrasi,” ujarnya. Seseorang, ketika mengantungi 30 ribu di memiliki hak fasilitas yang samma dengan orang yang memiliki kendaraan dengan harga 300 juta. Sementara itu, Ratna mengaku bersama teman-temannya terus melakukan pendidikan atau education tentang pentingnya ruang berjalan kaki. Sebab, kemampuan untuk membangun infrastruktur dan penegakan hukum mestinya dilakukan pemerintha, bukan masyarakat sipil. Sementara itu, Koalisi Pejalan Kaki mengaku terus memenuhi trotoar setiap hari jumat. “Kami dari koalisi pejalan kaki berkomitmen, tiap jumat turun ke jalan. Di 10 kota. Edukasi masyarkat trotoar itu milik pejalan kaki. Ekstrimnya, kita tidur di trotoar,” kata Koordinator Koalisi itu Alfred dengan membara. Aksi tidur di jalan itu dilakukan jika pengendara motor nekat merebut trotoar. “Menabrak pejalankaki itu pidana,” ancamnya. (*)