Sangihe BeritaManado.com — 93 tahun yang lalu, tepatnya 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah di seluruh wilayah Tanah Air berkumpul bersama untuk mengucapkan ikrar yaitu; untuk bertumpah darah, berbahasa, dan berbangsa Indonesia dan dikenal dengan “Sumpah Pemuda”.
Hingga kini, istilah Sumpah Pemuda begitu melekat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dan setelah Sumpah Pemuda lahir, para pemuda dan bangsa Indonesia secara umum akhirnya memiliki semangat kebersamaan untuk berjuang melawan penjajah, hingga akhirnya, Indonesia benar-benar merdeka pada 17 Agustus 1945.
Namun, semangat perjuangan para pemuda pencetus ikrar tersebut terus diwarisi para pemuda generasi sekarang ini
Hari ini, 28 Oktober 2021 dengan semangat yang masih menggelora menandai Hari Sumpah Pemuda tersebut, ratusan massa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa dan Pemuda Selamatkan Sangihe (KAMPASS) menggelar aksi damai di Pelabuhan Tua (Peltu) Tahuna, dan dilanjutkan dengan Long March ke Rumah Jabatan (Rumjab) Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe dan terakhir iring-iringan massa menuju ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulauan Sangihe
Aksi Damai ini dilakukan dalam rangka menolak kegiatan pertambangan yang akan dilakukan PT. Tambang Mas Sangihe (PT. TMS) yang sudah mengantongi izin dari Pemerintah Pusat dengan wilayah konsesi seluas 42.000 hektar atau lebih dari setengah wilayah Kepulauan Sangihe.
Koordinator Lapangan (Korlap) aksi damai Nekicen Tindage menuturkan bahwa dalam suasana semangat Sumpah Pemuda ini, harusnya seluruh masyarakat Sangihe sadar akan adanya “Penjajahan” gaya baru di Sangihe.
Tak lain dan tak bukan adalah kegiatan tambang emas.
Tindage berujar bahwa pertambangan sudah pasti pasti akan merusak ekosistem alam Sangihe yang masih asri.
Untuk itu aksi damai kali ini, ada 6 pernyataan sikap yang ditegaskan massa KAMPASS.
“Karena itu kami, Kesatuan Aksi Mahasiswa dan Pemuda Selamatkan Sangihe menuntut:
1. Menolak kehadiran PT. Tambang Mas Sangihe mengeksploitasi pulau Sangihe. Usir PT TMS dari Pulau Sangihe
2. Mendesak Bupati Kabupaten Sangihe dan Kapolres Sangihe untuk menertibkan/menutup operasi PT TMS di Pulau Sangihe dan usut semua pelanggaran hukum PT TMS
3. Menuntut Kapolres Sangihe untuk menegakkan hukum lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan PulauPulau Kecil terhadap pelanggaran pidana perusakan lingkungan PT TMS
4. Menuntut Bupati Sangihe untuk dikembalikannya air bersih yang tiba-tiba lenyap di Kampung Bowone, akibat pembongkaran lahan yang dilakukan PT TMS
5. Meminta pertanggungjawaban Kapolres Sangihe terkait pengawalan aparat kepolisian bagi PT TMS yang meilakukan perusakan Pulau Sangihe tanpa Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan karena aparat Kepolisian oleh negara untuk melindungi rakyat dan menegakkan hukum bukan mengawal dan mengamankan perbuatan melanggar hukum
6. Meminta Negara untuk menjamin hak hidup masyarakat di Kepulauan Sangihe, untuk mendapatkan ruang hidup yang layak dan sehat, dan tidak diganggu oleh intervensi yang merampas hak-hak hidup rakyat.,” tegas Nekicen Tindage dalam keterangannya kepada awak media
Menurut Tindage, berabad-abad lamanya masyarakat Sangihe selalu mensyukuri dan menyesuaikan diri dengan anugerah Sang Pencipta atas daerah ini.
Warga Sangihe bersyukur dan menggantungkan kehidupannya kepada sumber daya alam yang melimpah di laut sebagai nelayan dan di daratan Pulau sebagai petani. Sistem bertani kebun campur adalah tradisi turun temurun yang menjadikan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dengan situasi itu, masyarakat hidup nyaman, tentram dan damai memelihara adat istiadat yang harmonis dalam kerukunan. Selain itu, di Pulau Sangihe terdapat Hutan Lindung Sahendarumang yang menjadi sumber air mengalir melalui 70 sungai ke kampung-kampung, dan memelihara berbagai satwa endemik Sangihe seperti spesies burung yang dilindungi yang kini terancam keberadaannya di dunia, yang hanya tersisa di hutan Sahendarumang.
“Namun sekarang, keadaan nyaman, tentram dan damai tersebut diusik oleh IZIN TAMBANG yang dikeluarkan Dirjen Minerba ESDM Nomor: 163.K/MB.0o4/DJB/2021 kepada PT. Tambang Mas Sangihe (TMS).
Luas izin 42.000 hektar atau lebih dari setengah Pulau Sangihe!
Artinya, Pulau Sangihe akan dibongkar secara terbuka dan massif selama 33 tahun (2021-2054).
80 Desa dari 7 Kecamatan di Kabupaten Sangihe serta hutan Sahendarumang terancam digusur.
Perkampungan, sekolah-sekolah, rumah-rumah ibadah serta adat istiadat berpotensi tinggal kenangan. Hendak dikemanakan 57.000 rakyat dari 80 kampung tersebut? Apakah Pulau Sangihe sanggup menahan beban perubahan bentang alam ? Ataukah haruskah di masa depan pulau ini tenggelam menjadi bagian dari lautan Pasifik?,” ujar Tindage
Selain itu lanjut Tindage, 40 juta ton material akan dikeruk dan diambil emasnya dengan menggunakan bahan kimia B3 atau Bahan Beracun Berbahaya dalam mengekstraksi emas, akan terekstraksi mineral lain yang sebelumnya stabil dalam perut bumi seperti mercury, cadnium, arsenik, dan lain-lainnya akan dibuang sebagai limbah.
Hutan, kebun, perkampungan, rumahrumah ibadah, sekolah, dan lain-lainnya akan diganti dengan limbah beracun !! Selain tergusurnya 57.000 penduduk dari 80 Kampung dari areal pemukiman, hilang pula mata pencaharian petani dan nelayan karena rusaknya perairan tangkap nelayan tradisional di sepanjang pantai di sekitar areal pertambangan. Artinya, Izin tambang emas tersebut hanya akan memiskinkan masyarakat Sangihe.
Pasal 42 Perda No. 4 tahun 2014 tentang RTRW Sangihe menyebutkan, pulau Sangihe merupakan daerah rawan bencana yang harus dimitigasi. Rawan bencana tersebut jika ditambah dengan kerusakan bentang alam dan pencemaran akibat Izin tambang dari Kementerian ESDM dapat mejadi malapetaka bagi seluruh Pulau Sangihe,dan dapat menenggelamkan Pulau Sangihe.
“Mirisnya, UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tegas mengatur bahwa pulau dengan luas daratan kurang dari 2000 km2 dikategorikan sebagai pulau kecil dan dilarang oleh Pasal 35 huruf k UU No. 1 Tahun 2014 untuk ditambang.
Dan oleh Pasal 26 A UU No. 1 Tahun 2014, tanpa Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan, PT TMS tidak boleh beroperasi di Pulau Sangihe. Dan sampai hari Ini PT TMS tidak memiliki Izin Pemanfaatan Pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan,” tandasnya
(Erick Sahabat)