Pilar Demokrasi
Kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Kasus gizi buruk di Indonesia sampai saat ini tak ada kemajuan berarti. Dan perempuan adalah pihak yang paling terkena dampaknya, mengingat setengah penduduk Indonesia adalah perempuan. Paling krusial adalah masalah gizi pada balita,yang juga banyak bersentuhan dengan perempuan, selaku ibunya. Kasus-kasus kurang gizi diantaranya disebabkan oleh krisis pangan, atau seandainya tersedia, harganya menjadi mahal hingga tak terjangkau.
Sebuah ironi bagi negeri agraris. Tapi apa boleh dikata bila lahan-lahan pertanian sudah beralih fungsi menjadi kawasan industri atau perumahan. Menurut Kementerian Pertanian, saat ini alih fungsi lahan pertanian setiap tahunnya bisa mencapai 140.000 hektar dan ini berpotensi menghilangkan produksi pangan 506.000 ton per tahun. Tema inilah yang menjadi pokok perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H, bersama narasumber Wahidah Rustam (Solidaritas Perempuan) dan Achmad Yakub (Serikat Petani Indonesia)
Menurut Wahidah, saat pangan semakin sulit didapatkan, ketika tanah mereka susah untuk dimiliki, akan menjadi persoalan di tingkat keluarga. Kini untuk pengadaan pangan harus keluar uang. Ini tidak terlepas dari kebijakanpemerintah yang berkembang dan pihak luar yang turut mengintervensi kebijakan, sehingga banyak perempuan dan anak kekurangan gizi. “Kalau banyak bicara soal anemia, maka perempuan yang rentan terkena itu. Karena secara budaya kita, dalam penyajian pangan keluarga pun, yang diprioritaskan itu suami dan anggota keluarga laki-laki,” ujar Wahidah.
Sementara Yakub berpendapat, sebagian besar perempuan itu di pedesaan, dan sektor pertanian melibatkan 28, 4 juta rumah tangga. Artinya setidaknya ada 28 juta perempuan yang tinggal di pedesaan, dan hidup dari sektor pertanian.Memang peran perempuan itu sangat sentral dalam dunia pertanian, karena itu dalam Bahasa Inggris disebut agriculturebukan agribisnis. “Ketika sudah berubah ke bisnis, perempuan menjadi korban akibat kerusakan lahan, juga model pembangunan yang maskulin, semisal alat ani-ani itu sudah hilang, yang biasa digunakan perempuan. Dulu benih yang menyimpan dan memuliakan benih juga perempuan,” tambah Yakub.
Wahidah melanjutkan, kalau kita melihat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan no 18 yang baru saja disahkan, terlihatbeberapa poin yang perlu dicatat soal rekayasa genetik, pengolahan pangan industri rumahan dan soal bantuan pangan.“Soal rekayasa genetik, perempuan sejak dulu mengelola bibit, menyemai dan seterusnya, dengan rekayasa genetik maka bibit lokal banyak yang hilang. Sekarang bibit seragam dan dikelola perusahaan bibit,” imbuh Wahidah.
Yakub menambahkan, perempuan adalah orang yang melakukan penyediaan pangan, produksi dan mengolah menjadi pangan yang siap saji di meja makan. Tapi data yang disodorkan dinas kesehatan atau BPS, selalu yang jadi korban pertama adalah perempuan , di pedesaan pula. Ini harus kita bongkar bersama, kebijakan di pemerintah harusnya pendekatan yang menggali perasaan dan pengalaman perempuan dalam memproduksi dan menyiapkan pangan tersebut.
Wahidah menekankan, pelibatan perempuan bukan hanya fisik tetapi memang melibatkan perempuan yang punya pengalaman dan pengetahuan soal pengelolaan pangan ini. Dulu bibit itu tidak dibeli. Bibit diolah dan ditanam sendiri, tak perlu uang dikeluarkan untuk membeli bibit. “Dengan adanya UU ini melegitimasi perusahaan-perusahaan pengolah bibit untuk dibeli secara paksa. Sementara kalau kita lihat, bibit tersebut tak bisa dibudidayakan kembali. Cuman sekali tanam, panen dan selesai,” tegas Wahidah.
Yakub mempekuat pendapat Wahidah, memang perempuan dalam hal pertanian dan pangan lebih detail dan tekun. Karena di tangan para ibu, benih itu di simpan, dimuliakan dan ditanam kembali. Sekarang benih pabrikan itu hibrida, yang sulit untuk dibudidayakan kembali. Seperti jagung hibrida itu sistemnya terminator, sekali tanam sulit untukditanam kembali. “Nah beberapa petani yang handal dan maju seperti ibu-ibu mampu budidayakan kembali. Sementara bila dibudidaya dan produksi kembali akan dikriminalkan, karena melanggar rahasia dagang perusahaan yang menjual benih tersebut seperti terjadi di Kediri,” kata Yakub. (*/oke)
Pilar Demokrasi
Kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Kasus gizi buruk di Indonesia sampai saat ini tak ada kemajuan berarti. Dan perempuan adalah pihak yang paling terkena dampaknya, mengingat setengah penduduk Indonesia adalah perempuan. Paling krusial adalah masalah gizi pada balita,yang juga banyak bersentuhan dengan perempuan, selaku ibunya. Kasus-kasus kurang gizi diantaranya disebabkan oleh krisis pangan, atau seandainya tersedia, harganya menjadi mahal hingga tak terjangkau.
Sebuah ironi bagi negeri agraris. Tapi apa boleh dikata bila lahan-lahan pertanian sudah beralih fungsi menjadi kawasan industri atau perumahan. Menurut Kementerian Pertanian, saat ini alih fungsi lahan pertanian setiap tahunnya bisa mencapai 140.000 hektar dan ini berpotensi menghilangkan produksi pangan 506.000 ton per tahun. Tema inilah yang menjadi pokok perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H, bersama narasumber Wahidah Rustam (Solidaritas Perempuan) dan Achmad Yakub (Serikat Petani Indonesia)
Menurut Wahidah, saat pangan semakin sulit didapatkan, ketika tanah mereka susah untuk dimiliki, akan menjadi persoalan di tingkat keluarga. Kini untuk pengadaan pangan harus keluar uang. Ini tidak terlepas dari kebijakanpemerintah yang berkembang dan pihak luar yang turut mengintervensi kebijakan, sehingga banyak perempuan dan anak kekurangan gizi. “Kalau banyak bicara soal anemia, maka perempuan yang rentan terkena itu. Karena secara budaya kita, dalam penyajian pangan keluarga pun, yang diprioritaskan itu suami dan anggota keluarga laki-laki,” ujar Wahidah.
Sementara Yakub berpendapat, sebagian besar perempuan itu di pedesaan, dan sektor pertanian melibatkan 28, 4 juta rumah tangga. Artinya setidaknya ada 28 juta perempuan yang tinggal di pedesaan, dan hidup dari sektor pertanian.Memang peran perempuan itu sangat sentral dalam dunia pertanian, karena itu dalam Bahasa Inggris disebut agriculturebukan agribisnis. “Ketika sudah berubah ke bisnis, perempuan menjadi korban akibat kerusakan lahan, juga model pembangunan yang maskulin, semisal alat ani-ani itu sudah hilang, yang biasa digunakan perempuan. Dulu benih yang menyimpan dan memuliakan benih juga perempuan,” tambah Yakub.
Wahidah melanjutkan, kalau kita melihat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan no 18 yang baru saja disahkan, terlihatbeberapa poin yang perlu dicatat soal rekayasa genetik, pengolahan pangan industri rumahan dan soal bantuan pangan.“Soal rekayasa genetik, perempuan sejak dulu mengelola bibit, menyemai dan seterusnya, dengan rekayasa genetik maka bibit lokal banyak yang hilang. Sekarang bibit seragam dan dikelola perusahaan bibit,” imbuh Wahidah.
Yakub menambahkan, perempuan adalah orang yang melakukan penyediaan pangan, produksi dan mengolah menjadi pangan yang siap saji di meja makan. Tapi data yang disodorkan dinas kesehatan atau BPS, selalu yang jadi korban pertama adalah perempuan , di pedesaan pula. Ini harus kita bongkar bersama, kebijakan di pemerintah harusnya pendekatan yang menggali perasaan dan pengalaman perempuan dalam memproduksi dan menyiapkan pangan tersebut.
Wahidah menekankan, pelibatan perempuan bukan hanya fisik tetapi memang melibatkan perempuan yang punya pengalaman dan pengetahuan soal pengelolaan pangan ini. Dulu bibit itu tidak dibeli. Bibit diolah dan ditanam sendiri, tak perlu uang dikeluarkan untuk membeli bibit. “Dengan adanya UU ini melegitimasi perusahaan-perusahaan pengolah bibit untuk dibeli secara paksa. Sementara kalau kita lihat, bibit tersebut tak bisa dibudidayakan kembali. Cuman sekali tanam, panen dan selesai,” tegas Wahidah.
Yakub mempekuat pendapat Wahidah, memang perempuan dalam hal pertanian dan pangan lebih detail dan tekun. Karena di tangan para ibu, benih itu di simpan, dimuliakan dan ditanam kembali. Sekarang benih pabrikan itu hibrida, yang sulit untuk dibudidayakan kembali. Seperti jagung hibrida itu sistemnya terminator, sekali tanam sulit untukditanam kembali. “Nah beberapa petani yang handal dan maju seperti ibu-ibu mampu budidayakan kembali. Sementara bila dibudidaya dan produksi kembali akan dikriminalkan, karena melanggar rahasia dagang perusahaan yang menjual benih tersebut seperti terjadi di Kediri,” kata Yakub. (*/oke)