Manado, BeritaManado.com — Strategi partai politik dalam menentukan arah koalisi yang tidak searah dari tingkatan pusat hingga daerah terus menjadi perbincangan hangat.
Koalisi di level Pilkada serentak terkesan model koalisi ‘campur’, sebab dengan model itu, sosok figur menjadi pertimbangan utama dibanding koalisi dengan melihat partai maupun garis koalisi pusat.
Menyikapi itu, Ketua Minat Tata Kelola Pemilu PSP Pascasarjana Unsrat Ferry Daud Liando mengatakan kepentingan Koalisi seperti ini sangat pragmatis dan hanya bersifat tambal sulam.
“Tentunya masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dari proses ini. Dalam UU 10/2106 tentang Pilakda sama sekali tidak mengenal istilah koalisi. Istilah yang ada adalah penggabungan parpol. Sebab sistem Presidensial sebagaimana yang dianut di Indonesia tidak mengenal kebiajakan koalisi. Kebijakan ini hanya berlaku di negara yang menganut sistem pemeritahan parlementer,” ungkap Ferry Liando kepada BeritaManado.com, Selasa (14/7/2020) malam ini.
Lanjut Liando, di Pilkada, penggabungan parpol dimungkinkan terutama bagi parpol yang belum mencapai syarat ambang batas.
“Parpol yang tidak capai ambang batas 20 persen kursi di DPRD hasil pemilu 2019 terpaksa harus mengemis atau mengais uluran tangan parpol lain untuk berkoalisi. Namun kebanyakan koalisi tidak dibangun karena kesamaan visi kebijakan publik sebagaimana dipraktekan di negara lain. Tujuan berkoalisi di Pilakda saat ini hanya bersifat jangka pendek yaitu agar syarat ambang batas terpenuhi. Parpol yang tidak mencapai ambang batas berusaha mendekati parpol peraih kursi kecil agar bisa bekerja sama. Kesepakatan yang terjadi adalah parpol peraih kursi lebih banyak menempatkan orangnya sebagai calon kepala daerah dan parpol peraih kursi kecil kebagian posisi calon wakil kepala daerah,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Liando, ada juga parpol yang tak tertarik menawarkan posisi, tetapi ada dugaan menawarkannya dengan imbalan uang.
“Sebagian besar koalisi parpol mengikuti kontestasi Pilkada itu tidak didasarkan pada motif karena kesamaan idiologi atau atas dasar cita-cita yang sama untuk kemudian diperjuangkan jika berkuasa. Buktinya koalisi tidak terbangun secara linier. Untuk pemilihan Gubernur, antara satu parpol dengan parpol lain berkoalisi. Akan tetapi pada pemilihan Bupati atau Wali Kota, parpol yang berkoalisi tadi justru saling berhadap-hadapan,” katanya seraya menambahkan motif koalisi hanya sekedar untuk memenuhi syarat pencalonan dan sedapat mungkin bisa menang.
Lalu, tanya Liando, apa akibat jika koalisi semu ini terjadi.
“Biasanya hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya bisa bertahan harmonis enam bulan setelah pelantikan. Koalisi paksa ini mirip kawin paksa. Perceraian atau konflik selalu datang dengan cepat. Tanda-tanda konflik terjadi karena adanya tarik menarik dalam pengisian posisi penting dalam jabatan struktural. Tarik menarik karena untuk balas jasa saat kampanye dan atau karena salah satunya memperdagangkan posisi jabatan pada pejabat tertentu agar biaya kampanyenya bisa kembali. Konflik inilah yang menyebabkan tata kelola pemerintahan terganggu. Dampaknya adalah pelayanan publik menjadi buruk. Birokrasi tak leluasa bekerja karena memiliki matahari kembar,” kuncinya.
(AnggawiryaMega)