Tahuna, BeritaManado.com — Dengan menggunakan Kapal MV Majestik Kawanua II yang melayani pelayaran dengan rute Biaro, Tagulandang, Siau dan Pulau Para di ujung selatan Sangihe dengan durasi sekitar 5 jam.
Menggunakan kapal dengan kesan nyaman dan bersih, Merry Karouwan yang saat ini menakhodai ASITA Sulut berangkat pada Sabtu (19/2/2022) pukul 10.30 WITA dan tiba di Pulau Para sekitar pukul 16.00 WITA.
Tidak ada riak-riak ombak selama perjalanan dan rombongan sempat mampir di Tagulandang untuk beli buah salak yang sangat terkenal dan tak ketinggalan juga kami membeli halua kenari dan amu (sukun) juga di Tagulandang.
Saat tiba di Pulau Para, kami disambut oleh Opolao (Kepala Desa) Pak Besar dan beberapa teman Pondarwis dan langsung didoakan serta menikmati sajian berupa teh hangat dan makan malam. Menunya pun memang sangat khas dan cocok dengan situasi yaitu ikan dan dabu-dabu lilang.
Setelah makan malam, saya melakukan bincang ringan dengan teman-teman Pokdarwis sambil menyerahkan beberapa buku untuk persiapan perpustakaan mini.
Kami memberikan buku karena alasannya sederhana saja, bahwa buku adalah jendela dunia.
Sampai agak larut malam, kami pun bergegas masuk ke dalam homestay yang sudah disiapkan dengan tatakelola hospitality yang baik dan memang sudah menjadi DNA warga setempat.
Saya sangat terkesan dan malu sendiri dilayani seperti ratu (lebah). Hari ke-2 berada di Pulau Para bertepatan dengan hari Minggu dan kegiatan masyarakat disini yaitu ibadah mulai pukul 9.00 WITA hingga jelang jam makan siang.
Sebelumnya, pukul 6.00 WITA, kami memutuskan untuk melakukan hiking dengan jarak 3 km ke destinasi 9 pohon kelapa, dimana hanya memiliki satu rumpun akar.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke tambak raksasa dengan segala macam ikan seperti Gorila, Kakatua, Baracuda dan Napoleon yang ukurannya besar.
Kami pun menyempatkan diri melihat dari dekat sekolah SD dan SMP yang sangat bersih, dimana jumlah siswanya hanya sekitar 40 orang untuk SMP dan 20 untuk SD.
Yang menyenangkan saya saat berada di sekolah yaitu ketika melihat ada perpustakaan dengan cukup banyak buku.
Di Pulau Para juga ternyata masih ada tempat yang digunakan warga setempat untuk melakukan barter antara penjual dan pembeli, karena tidak ada transaksi dengan menggunakan uang fisik, dimana contohnya kelapa ditukar dengan ubi.
Hal yang cukup menggelitik saat kami pergi ke rumah 4G, di atas bukit untuk mencari signal, namun sayang tower ada tapi pemancar tidak ada sejak 2 tahun terakhir.
Jam 9, kami ikut beribadah di gereja bersama penduduk yang mayoritas Kristen Protestan dengan jumlah KK 301 KK dan 968 jiwa dengan luas wilayah 481,1 Ha.
Hari terakhir, kami memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, dimana setelah 5 menit dengan speed boat kami menuju ke pasir putih pulau Nitu untuk berenang.
Pantai yang aduhai, sepi, penuh nuansa warna biru, tak berombak pula yang bagi penduduk ini tempat yang biasa tapi bagi kami ini luar biasa, karena seperti surga.
Untuk urusan perut, kami tak melewatkan kesempatan untuk mencicipi nikmatnya kuliner kuah ikan asam dengan sayur pepaya dicampur kelapa muda santan.
Tak sampai disitu saja, dimana sore harinya kami pun disuguhkan amu goreng dan kue Betawi ditemani teh hangat manis.
Ketika kembali ke Pulau Para, kami hiking ke tempat yang konon keramat, dimana ada pohon Kamboja yang sudah berusia ratusan tahun dan keramik serta uang logam Portugis.
Kenapa uang Portugis, karena konon pulau ini ditemukan oleh Beatrix yang berkebangsaan Portugis pada tahun 1673.
Juga konon, Presiden Soekarno pernah mampir disini.
Kami sempat berfoto dari ketinggian disini dan melayangkan pandangan ke bawah dengan pemandangan laut di sekitar Pulau Para yang masih virgin. Bagi saya, trip 3 hari 2 malam bersama sahabat masa kecil sungguh sesuatu yang ‘luxurious’.
Semua kami (Cindy Winata, Atika Winata, Sjeny Tampone, Merry Karouwan) dapatkan mulai dari kapal yang nyaman, makanan yang lezat, homestay bersih, laut yang ‘tidak biasa’, penduduk yang ramah (tidak ditemukan covid disini), alam bebas polusi (tidak ada kendaraan disini), ibadah pagi rutin setiap hari dirumah penduduk (kecuali Minggu). Terima kasih Pulau Para, hedosau musombang, sampe bakudapa.
Sebelum pulang, pijatan Mbau Dick dan sayur bunga pepaya dicampur kelapa muda berhasil membuat tertidur dan dibangunkan untuk menikmati sagu campur kelapa muda dan kakap merah.
Dan akhirnya kami harus bergegas untuk kembali ke Manado dengan Speedboat yang sudah disiapkan lewat Siau.
(***/Frangki Wullur)