Manado – Sore itu menjelang buka puasa, di pinggiran jalan Boulevard terlihat seorang lelaki mengenakan topi hitam, kemeja biru lusuh. Didadanya terlihat gambar bendera merah -putih terpasang gagah menyiratkan kebanggaan. Tangannya dengan cekatan membereskan dagangan yang didominasi warna merah putih.
Lelaki itu bernama Rodi (23 thun), salah satu penjual musiman yang memanfaatkan momentum kemerdekaan negara ini, mencari nafkah dari siapa saja yang singgah membeli bendera yang menjadi dagangannya. Rodi adalah salah satu dari sekian banyak penjual yang tersebar di kota ini, menggantungkan nafkahnya pada hasil jualan bendera merah –putih.
Rodi bercerita, baru dua bulan dirinya menginjakkan kaki di ibukota provinsi Sulawesi Utara ini. Sebelumnya, dia merantau ke Sumatera dan Kalimantan. Disana dia berdagang jemuran, berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Merantau ke manado, dia mencoba usaha lain, Vermak Jeans. Setiap hari mengayuh roda membawa mesin jahit yang menjadi mata pencariannya, masuk- keluar kampung, berharap ada yang mau ‘membetulkan’ jeansnya. Usahanya berhenti ketika jarum yang biasa dipakai di mesin mata pencariannya patah. Memaksanya banting setir menjadi penjual bendera.
Rodi bukanlah pemilik dari semua dagangan bendera yang dijualnya, dia hanya dipekerjakan oleh seorang juragan. Setiap hari sejak tanggal 5 agustus sampai tanggal 16 agustus, dia harus menjual bendera itu pukul 6 pagi dan berakhir pukul 6 sore dengan upah satu juta. Kerja setiap hari tanpa adanya istirahat memang sudah menjadi hal biasa bagi pria kelahiran Garut 01 jan 1988 ini. “Mau gimana lagi mbak, prinsip saya kerja dan kerja saya cuma berdoa agar selalu dikasih sehat sama yang Diatas. Biar bisa kerja terus dan dapat uang buat anak dan keluarga saya di kampung,” tutur pria ini lirih.
Aktivitas ini mulai dijalani sejak awal agustus, pagi-pagi benar Rodi berangkat dari kost yang disewa sekamar bersama dua orang temannya. Seharian menjajakan dagangan dengan laku yang tak tentu. Kadang 50ribu, pernah juga mencapai 500ribu dalam sehari. Diakui Rodi, dia tak tahu-menahu soal keuntungan bersih yang didapatkan dari hasil penjualannya.
“Saya hanya jualan aja mbak, masalah untung itu yang tahu bos, saya tinggal digaji sama dia,” ungkap Rodi.
Bendera yang dijual Rodi harganya variatif, mulai dari yang kecil 5 ribu hingga ukuran panjang harganya mencapai 250 ribu rupiah. Seharian pria yang senang kerja keras ini menjagai bendera-bendera yang dipasang di atas pohon pinggir jalan Boulevard dan di seng yang menjadi batas jalan raya dan lahan samping trotoar jalan Raya. Bersamaan dengan terbitnya matahari dia berangkat kerja, bertaruh dengan kerasnya jalanan dibawah terpaan mentari, dan pulang beriringan dengan sang Surya yang tesnggelam di ufuk barat.
Baginya hidup adalah bekerja.
“Saya pengen anak bisa sekolah tinggi dan hidup lebih baik gak kayak bapaknya ini, gak harus merantau jauh ninggalin keluarga dan kampung halaman buat nyari duit,” ujar pria yang pernah mengenyam sekolah dasar di kampungnya. Meski setiap hari menjalani rutinitas yang dianggap sebagian orang kurang beruntung, namun pria ini memiliki keinginan dan tekad besar dalam hati untuk anaknya. Dia memiliki mimpi layaknya orang tua terhadap anaknya, menginginkan anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik dari saat ini, memiliki kehidupan yang layak.
Diakui pekerjaan yang dijalaninya saat ini hanya sampai moment tujuh belas agustusan, setelah itu dia akan kembali berkeliling kampung dengan sepeda tuanya menjajakan Vermak jeans. Gaji yang didapatkan hasil berjualan bendera akan dipakai buat modal usaha vermak jeans, usaha yang menjadi keahliannya. Rodi menuturkan, “saya mah lebih suka usaha Vermak jeans saja, dibanding jualan bendera soalnya punya sendiri kan, lagipula saya juga cuma bisa itu menjahit. Kalo kayak usaha makanan butuh modal besar dan saya juga tidak tahu,” ujar Rodi menutup pembicaran kami. (oke)
Manado – Sore itu menjelang buka puasa, di pinggiran jalan Boulevard terlihat seorang lelaki mengenakan topi hitam, kemeja biru lusuh. Didadanya terlihat gambar bendera merah -putih terpasang gagah menyiratkan kebanggaan. Tangannya dengan cekatan membereskan dagangan yang didominasi warna merah putih.
Lelaki itu bernama Rodi (23 thun), salah satu penjual musiman yang memanfaatkan momentum kemerdekaan negara ini, mencari nafkah dari siapa saja yang singgah membeli bendera yang menjadi dagangannya. Rodi adalah salah satu dari sekian banyak penjual yang tersebar di kota ini, menggantungkan nafkahnya pada hasil jualan bendera merah –putih.
Rodi bercerita, baru dua bulan dirinya menginjakkan kaki di ibukota provinsi Sulawesi Utara ini. Sebelumnya, dia merantau ke Sumatera dan Kalimantan. Disana dia berdagang jemuran, berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Merantau ke manado, dia mencoba usaha lain, Vermak Jeans. Setiap hari mengayuh roda membawa mesin jahit yang menjadi mata pencariannya, masuk- keluar kampung, berharap ada yang mau ‘membetulkan’ jeansnya. Usahanya berhenti ketika jarum yang biasa dipakai di mesin mata pencariannya patah. Memaksanya banting setir menjadi penjual bendera.
Rodi bukanlah pemilik dari semua dagangan bendera yang dijualnya, dia hanya dipekerjakan oleh seorang juragan. Setiap hari sejak tanggal 5 agustus sampai tanggal 16 agustus, dia harus menjual bendera itu pukul 6 pagi dan berakhir pukul 6 sore dengan upah satu juta. Kerja setiap hari tanpa adanya istirahat memang sudah menjadi hal biasa bagi pria kelahiran Garut 01 jan 1988 ini. “Mau gimana lagi mbak, prinsip saya kerja dan kerja saya cuma berdoa agar selalu dikasih sehat sama yang Diatas. Biar bisa kerja terus dan dapat uang buat anak dan keluarga saya di kampung,” tutur pria ini lirih.
Aktivitas ini mulai dijalani sejak awal agustus, pagi-pagi benar Rodi berangkat dari kost yang disewa sekamar bersama dua orang temannya. Seharian menjajakan dagangan dengan laku yang tak tentu. Kadang 50ribu, pernah juga mencapai 500ribu dalam sehari. Diakui Rodi, dia tak tahu-menahu soal keuntungan bersih yang didapatkan dari hasil penjualannya.
“Saya hanya jualan aja mbak, masalah untung itu yang tahu bos, saya tinggal digaji sama dia,” ungkap Rodi.
Bendera yang dijual Rodi harganya variatif, mulai dari yang kecil 5 ribu hingga ukuran panjang harganya mencapai 250 ribu rupiah. Seharian pria yang senang kerja keras ini menjagai bendera-bendera yang dipasang di atas pohon pinggir jalan Boulevard dan di seng yang menjadi batas jalan raya dan lahan samping trotoar jalan Raya. Bersamaan dengan terbitnya matahari dia berangkat kerja, bertaruh dengan kerasnya jalanan dibawah terpaan mentari, dan pulang beriringan dengan sang Surya yang tesnggelam di ufuk barat.
Baginya hidup adalah bekerja.
“Saya pengen anak bisa sekolah tinggi dan hidup lebih baik gak kayak bapaknya ini, gak harus merantau jauh ninggalin keluarga dan kampung halaman buat nyari duit,” ujar pria yang pernah mengenyam sekolah dasar di kampungnya. Meski setiap hari menjalani rutinitas yang dianggap sebagian orang kurang beruntung, namun pria ini memiliki keinginan dan tekad besar dalam hati untuk anaknya. Dia memiliki mimpi layaknya orang tua terhadap anaknya, menginginkan anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik dari saat ini, memiliki kehidupan yang layak.
Diakui pekerjaan yang dijalaninya saat ini hanya sampai moment tujuh belas agustusan, setelah itu dia akan kembali berkeliling kampung dengan sepeda tuanya menjajakan Vermak jeans. Gaji yang didapatkan hasil berjualan bendera akan dipakai buat modal usaha vermak jeans, usaha yang menjadi keahliannya. Rodi menuturkan, “saya mah lebih suka usaha Vermak jeans saja, dibanding jualan bendera soalnya punya sendiri kan, lagipula saya juga cuma bisa itu menjahit. Kalo kayak usaha makanan butuh modal besar dan saya juga tidak tahu,” ujar Rodi menutup pembicaran kami. (oke)