Pilar Demokrasi
Hasil kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Partai-partai politik terkesan cemas ketika laporan keuangannya harus dibuka ke publik. Hal ini membuat orang bertanya-tanya, benarkah dana parpol bercampur dengan dana ilegal. Sehingga lembaga antikorupsi ICW, pernah mengadukan penolakan parpol membuka laporan keuangannya ini ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
Setelah itu baru parpol bersedia menyerahkan laporan keuangannya. Bagaimana sulitnya meminta laporan keuangan parpol, lalu parpol mana yang kooperatif dalam hal pelaporan? Tema inilah yang dibahas dalam program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, bersama narasumber koordinator investigasi dan advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi.
Menurut Uchok, parpol sebagai lembaga publik yang nantinya berjuang merebut lembaga strategis negara,sebagai organisasi resmi yang menyiapkan elite politik, baik di pemerintahan maupun parlemen, sehingga sangat penting dibuka sumber anggarannya. Supaya calon yang mereka rekrut baik untuk legislatif maupun eksekutif nantinya bukanlah tipe penyamun.
Uchok melanjutkan, kalau ditengarai ada sumbangan dari perusahaan, berarti tidak sesuai dengan UU. Ini pentingnya dibuka supaya publik tahu. Kalau dana parpol saja tidak mau dibuka, bagaimana kalau sudah jadi pemimpin nanti, bisa jadi menutupi APBN. Parpol harus membuka diri terhadap transparansi dan akuntabilitas, sehingga publik yakin dana itu bersih. “Parpol juga bisa membuka ruang publik untuk menyumbang, tapi publik malas menyumbang karena tidak ada pengelolaan yang jelas,” ujar Uchok.
Uchok mengaku, tahun 2011 FITRA sudah mencoba meminta dokumen, khususnya untuk komponen dana parpol dari APBN. Dari semua parpol di DPR, hanya satu yang memberi dokumen itu, yaitu PKB. Yang lain berkilah bahwa dana yang mereka dapat dari APBD belum diaudit oleh BPK, sehingga tidak dapat diberikan, padahal kita tahu BPK tidak mungkin mengaudit itu. “Mereka merasa parpol ini bukan milik publik, tapi perusahaan mereka, jadi publik tidak perlu tahu. Dulu PKS itu sangat terbuka, tapi setelah mereka gede,menjadi sangat tertutup,” tegas Uchok.
Dalam pengamatan Uchok, untuk dana kampanye partai sudah “bermain” sejak awal. Seorang caleg saat mendaftar sudah mengeluarkan uang, juga untuk mendapatkan nomor urut yang dikehendaki. Belum soal honor saksi, untuk honor saksi secara nasional, tiap partai butuh dana sekitar Rp 600 miliar. “Nah yang harus bayar ini adalah caleg, bukan partai. Karena itu seorang caleg dananya harus besar,” papar Uchok. (*)
Pilar Demokrasi
Hasil kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Partai-partai politik terkesan cemas ketika laporan keuangannya harus dibuka ke publik. Hal ini membuat orang bertanya-tanya, benarkah dana parpol bercampur dengan dana ilegal. Sehingga lembaga antikorupsi ICW, pernah mengadukan penolakan parpol membuka laporan keuangannya ini ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
Setelah itu baru parpol bersedia menyerahkan laporan keuangannya. Bagaimana sulitnya meminta laporan keuangan parpol, lalu parpol mana yang kooperatif dalam hal pelaporan? Tema inilah yang dibahas dalam program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, bersama narasumber koordinator investigasi dan advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi.
Menurut Uchok, parpol sebagai lembaga publik yang nantinya berjuang merebut lembaga strategis negara,sebagai organisasi resmi yang menyiapkan elite politik, baik di pemerintahan maupun parlemen, sehingga sangat penting dibuka sumber anggarannya. Supaya calon yang mereka rekrut baik untuk legislatif maupun eksekutif nantinya bukanlah tipe penyamun.
Uchok melanjutkan, kalau ditengarai ada sumbangan dari perusahaan, berarti tidak sesuai dengan UU. Ini pentingnya dibuka supaya publik tahu. Kalau dana parpol saja tidak mau dibuka, bagaimana kalau sudah jadi pemimpin nanti, bisa jadi menutupi APBN. Parpol harus membuka diri terhadap transparansi dan akuntabilitas, sehingga publik yakin dana itu bersih. “Parpol juga bisa membuka ruang publik untuk menyumbang, tapi publik malas menyumbang karena tidak ada pengelolaan yang jelas,” ujar Uchok.
Uchok mengaku, tahun 2011 FITRA sudah mencoba meminta dokumen, khususnya untuk komponen dana parpol dari APBN. Dari semua parpol di DPR, hanya satu yang memberi dokumen itu, yaitu PKB. Yang lain berkilah bahwa dana yang mereka dapat dari APBD belum diaudit oleh BPK, sehingga tidak dapat diberikan, padahal kita tahu BPK tidak mungkin mengaudit itu. “Mereka merasa parpol ini bukan milik publik, tapi perusahaan mereka, jadi publik tidak perlu tahu. Dulu PKS itu sangat terbuka, tapi setelah mereka gede,menjadi sangat tertutup,” tegas Uchok.
Dalam pengamatan Uchok, untuk dana kampanye partai sudah “bermain” sejak awal. Seorang caleg saat mendaftar sudah mengeluarkan uang, juga untuk mendapatkan nomor urut yang dikehendaki. Belum soal honor saksi, untuk honor saksi secara nasional, tiap partai butuh dana sekitar Rp 600 miliar. “Nah yang harus bayar ini adalah caleg, bukan partai. Karena itu seorang caleg dananya harus besar,” papar Uchok. (*)