MANADO – Ada dua kasus konflik di Lampung, yang mendapat perhatian luas, bahkan sempat diberitakan di media mancanegara. Pertama adalah konflik agraria di Mesuji (Kasus Mesuji), dan kedua, konflik berbau SARA di Sidomulyo (Kasus Sidomulyo). Agar kasus serupa tidak terulang, atau mencegah eskalasi konflik yang lebih besar, perlu dicari akar konflik, dan bagaimana solusinya. Tampaknya semua pihak di Lampung, baik itu pihak pemda, DPRD, intelektual dan LSM, telah berusaha keras untuk mengurai konflik, dan mencari solusinya.
Tentang dua peristiwa konflik di Lampung inilah, yang menjadi topik bahasan dalam program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Perbincangan kali ini mengundang empat narasumber, masing-masing adalah Erwin Prima Rinaldo (Kesbangpol Provinsi Lampung, Kepala Sub- BidangAnalisa dan Evaluasi Penanganan Konflik), Ahmad Bastari (Anggota DPRD Lampung), Zulfi Diane Zaini (Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung), dan Dedi Mawardi (Aktivis LSM dan pengacara di Lampung).
Dedi Mawardi berpendapat, dalam Kasus mesuji, ada dua hal yang menonjol. Pertama adalah konflik agrarian, yang kedua adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia. Anehnya, masih menurut Dedi, dalam laporan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) tidak ditemukan rekomendasi, misalnya mengusulkan kepada Pemerintah Daerah dan kepada Perusahaan, untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan sengketa, dengan mengurai akar persoalan yang ada. Dalam pandangan Dedi, persoalan di Mesuji itu tidak ada unsur SARA, tidak ada yang karena agama, tetapi murni konflik agraria.
Erwin dan Bastari sependapat, bahwa pemicu konflik di Lampung umumnya disebabkan faktor kemiskinan dan kesenjangan sosial. Keduanya berpandangan aspek ekonomi menjadi penyebab meledaknya Kasus Mesuji dan Sidomulyo, bukan semata-mata unsur SARA. Sudah menjadi realita,daerah Lampung menjadi kawasan terbuka, masyarakat Lampung sangat akomodatif terhadapa sukulain, sehingga ketika suku lain berkembang secara ekonomi, pada gilirannya menimbulkankesenjangan sosial.
Dedi kembali menegaskan bahwa Kasus Mesuji adalah konflik agraria, dengan menunjukkan adanya fenomena “tenda biru”. Ada ribuan tenda biru yang didirikan masyarakat dalam Register 45 (wilayah yang disengketakan), yang sedang menunggu “pembagian” lahan.
Dedi mengkhawatirkan, kalau“tenda biru” itu tidak dikelola oleh Pemerintah Daerah, atau oleh siapapun yang terlibat dalam persoalan ini, tidak menutup kemungkinan terjadi konflik yang lebih besar lagi. Masyarakat Mesuji sudah tahu, bahwa ada kolaborasi antara Pemerintah Daerah dengan Perusahaan. Karena menurutwarga Mesuji, bertahun-tahun mereka berhadapan dengan perusahaan, yang didukung pemda setempat. Bahkan pemda, sama sekali tidak menjalankan rekomendasi TGPF dan Komnas HAM.
Bastari menganggap, rekomendasi TGPF masih mengambang, tidak jelas solusi apa yang ditawarkan. DPRD Lampung pernah merekomendasikan untuk melakukan ukur ulang, sebagai solusi untukmemastikan, lahan mana milik perusahaan, lahan mana milik masyarakat. Tetapi nyatanyarekomendasi ukur ulang, tidak pernah dilakukan, hingga meledaklah peristiwa Mesuji.
Zulfi Diane mengakui bahwa Pemda Lampung memang sangat protektif terhadap investor, bahkan dianggap berlebihan. Proteksi berlebihan terhadap investor berdampak pada kesenjangan sosial dankecemburuan dari masyarakat setempat. Zulfi mengingatkan, bila tidak ada perubahan regulasi berkaitan dengan investor, khususnya pada sektor kehutanan dan perkebunan, akan menjadi sumber permasalahan yang siap meledak setiap waktu. (*/is)
MANADO – Ada dua kasus konflik di Lampung, yang mendapat perhatian luas, bahkan sempat diberitakan di media mancanegara. Pertama adalah konflik agraria di Mesuji (Kasus Mesuji), dan kedua, konflik berbau SARA di Sidomulyo (Kasus Sidomulyo). Agar kasus serupa tidak terulang, atau mencegah eskalasi konflik yang lebih besar, perlu dicari akar konflik, dan bagaimana solusinya. Tampaknya semua pihak di Lampung, baik itu pihak pemda, DPRD, intelektual dan LSM, telah berusaha keras untuk mengurai konflik, dan mencari solusinya.
Tentang dua peristiwa konflik di Lampung inilah, yang menjadi topik bahasan dalam program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Perbincangan kali ini mengundang empat narasumber, masing-masing adalah Erwin Prima Rinaldo (Kesbangpol Provinsi Lampung, Kepala Sub- BidangAnalisa dan Evaluasi Penanganan Konflik), Ahmad Bastari (Anggota DPRD Lampung), Zulfi Diane Zaini (Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Bandar Lampung), dan Dedi Mawardi (Aktivis LSM dan pengacara di Lampung).
Dedi Mawardi berpendapat, dalam Kasus mesuji, ada dua hal yang menonjol. Pertama adalah konflik agrarian, yang kedua adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia. Anehnya, masih menurut Dedi, dalam laporan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) tidak ditemukan rekomendasi, misalnya mengusulkan kepada Pemerintah Daerah dan kepada Perusahaan, untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan sengketa, dengan mengurai akar persoalan yang ada. Dalam pandangan Dedi, persoalan di Mesuji itu tidak ada unsur SARA, tidak ada yang karena agama, tetapi murni konflik agraria.
Erwin dan Bastari sependapat, bahwa pemicu konflik di Lampung umumnya disebabkan faktor kemiskinan dan kesenjangan sosial. Keduanya berpandangan aspek ekonomi menjadi penyebab meledaknya Kasus Mesuji dan Sidomulyo, bukan semata-mata unsur SARA. Sudah menjadi realita,daerah Lampung menjadi kawasan terbuka, masyarakat Lampung sangat akomodatif terhadapa sukulain, sehingga ketika suku lain berkembang secara ekonomi, pada gilirannya menimbulkankesenjangan sosial.
Dedi kembali menegaskan bahwa Kasus Mesuji adalah konflik agraria, dengan menunjukkan adanya fenomena “tenda biru”. Ada ribuan tenda biru yang didirikan masyarakat dalam Register 45 (wilayah yang disengketakan), yang sedang menunggu “pembagian” lahan.
Dedi mengkhawatirkan, kalau“tenda biru” itu tidak dikelola oleh Pemerintah Daerah, atau oleh siapapun yang terlibat dalam persoalan ini, tidak menutup kemungkinan terjadi konflik yang lebih besar lagi. Masyarakat Mesuji sudah tahu, bahwa ada kolaborasi antara Pemerintah Daerah dengan Perusahaan. Karena menurutwarga Mesuji, bertahun-tahun mereka berhadapan dengan perusahaan, yang didukung pemda setempat. Bahkan pemda, sama sekali tidak menjalankan rekomendasi TGPF dan Komnas HAM.
Bastari menganggap, rekomendasi TGPF masih mengambang, tidak jelas solusi apa yang ditawarkan. DPRD Lampung pernah merekomendasikan untuk melakukan ukur ulang, sebagai solusi untukmemastikan, lahan mana milik perusahaan, lahan mana milik masyarakat. Tetapi nyatanyarekomendasi ukur ulang, tidak pernah dilakukan, hingga meledaklah peristiwa Mesuji.
Zulfi Diane mengakui bahwa Pemda Lampung memang sangat protektif terhadap investor, bahkan dianggap berlebihan. Proteksi berlebihan terhadap investor berdampak pada kesenjangan sosial dankecemburuan dari masyarakat setempat. Zulfi mengingatkan, bila tidak ada perubahan regulasi berkaitan dengan investor, khususnya pada sektor kehutanan dan perkebunan, akan menjadi sumber permasalahan yang siap meledak setiap waktu. (*/is)