PILAR DEMOKRASI
Hasil kerjasama beritamanado dengan KBR68H
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio”
Jakarta adalah kota metropolitan dengan penduduk yang berjumlah lebih dari 8 juta jiwa dan terus bertambah. Kemacetan menjadi hal yang tidak dapat dihindari lagi, khususnya pada saat jam kerja. Salah satu alternatif pemecahan masalah ini adalah dengan meningkatkan kualitas sarana ataupun prasarana angkutan umum, atau dengan menggunakan jenis angkutan massal. Fasilitas transportasi Ibu Kota yang nyaman, cepat, dan murah merupakan impian masyarakat Jakarta. Untuk saat ini barulah bus Transjakarta yang menjadi moda transportasi andalan pemerintah DKI yang coba mewujudkan impian itu. Sudah 1 dekade transjakarta hadir menemani warga jakarta dan sekitarnya dengan segala hambatan dan tantangan termasuk bagaimana memberi fasilitas nyaman bagi warga, terutama yang berkebutuhan khusus.
Para kelompok berkebutuhan khusus pada awalnya melihat adanya harapan dengan kemunculan bus rapid transit tersebut pada 20014. Made Adi Gunawan, Ketua Bidang Ekonomi, Sosial Budaya, Persatuan Tuna Netra Indonesia Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta mengatakan, “Pada awal adanya bus transjakarta memberikan harapan baru teman-teman penyandang disabilitas. Bagi tunanetra ada beberapa hal posifit yang merupakan kemajuan dalam sarana publik.”
Menurutnya, ada tiga kemajuan pelayanan transportasi. Pertama, informasi berupa suara tentang pemberhentian berikutnya. “Sebelum transjakarta, petugasnya atau drivernya yang teriak-teriak,” Ini sangat membantu bagi kami yang tidak bisa melihat, tapi juga bagi penumpang lain yang asik ngobrol, membaca, tertidur,” tuturnya dalam program Pilar Demokrasi di KBR68H dan Tempo TV. Kedua, saat melangkah dari halte ke bus itu cukup melangkah. Ketiga, ada tempat duduk khusus bagi penyandang disabilitas.
Meskipun pada awalnya memberi harapan, pelayanan ini semakin menurun setelah berjalan 10 tahun. “Kondisinya sudah berbeda, banyak bus transjakarta tidak ada suara peringatan dan diganti suara petugasnya. Itu juga kalau petugasnya mau. Kalau tidak, kita bingung juga,” keluh pria yang akrab disapa Made tersebut. Ia menambahkan, jarak berhenti bus terasa semakin dekat dengan halte. “Agak bingung juga, mau loncat nanti nggak sampai?” katanya sambil tertawa ringan. Terakhir, kursi prioritas untuk wanita hamil, berkebutuhan khusus dan lansia kerap tidak diberikan pada yang membutuhkan. “Mungkin karena hanya ada gambar saja, banyak orang yagn tidak paham. Kalau petugas tegas, kadang-kadang, itu disuruh berdiri. Tapi, apa mau juga penumpang itu berdiri karena mereka sama-sama perlu tempat itu dan membayar juga,” kata Made Adi Gunawan.
Transjakarta mengaku semakin sulit untuk mempertahankan mutu pelayanan dengan meningkatnya jumlah penumpang. “Dengan semakin bertambahnya koridor dan penumpang, banyak bus yang sebenarnya kita operasikan di koridor yang tidak untuk peruntukannya,” ujar Juru Bicara Transjakarta Sri Ulina Pinem. Akibatnya suara yang sudah direkam tidak bisa difungsikan karena rute yang berbeda. “Akhirnya dibantu lagi dengan petugas kami. “Kalau mereka sedang rajin bersuara, kalau tidak, dengan kepadatan dan tingkat stress cukup tinggi, mereka kurang informatif,” katanya.
Bus Transjakarta juga sudah memberi rambu dan meminta pengemudinya untuk berhenti sedekat mungkin dengan halte. Sri mengaku sudah memberi rambu. “Tapi kontur jalan menyulitkan untuk merapat ke halte. Jalan terus ditinggikan, halte kami tidak ditinggikan,” ujarnya. Selain itu, penambahan jumlah bus untuk mengurangi kepadatan penumpang terhalang dengan kepastian jumlah stasiun Bahan Bakar Gas. “Kami coba tambah armada, tapi, apakah ada penambahan SPBG yang baru delapan?” tanyanya dengan retoris. Sri juga berharap ada perbaikan halte dari Dinas Perhubungan dan pembersihan jalur oleh polisi dengan terus menilang pengguna kendaraan pribadi yang melewati jalur transjakarta.
Serupa tapi tak sama, itulah yang dialami PT.Kereta Commuterline Jabodetabek. Juru Bicara KRL Eva Chairunnisa mengaku peningkatan penumpang mengakibatkan anak perusahaan PT.KAI itu kewalahan. “Sebelum tarif progresif, penumpang sekitar 450 ribu. Setalahnya, penumpang capai 600 ribu dalam sehari,” katanya melalui sambungan telepon. Akibatnya, penumpang mesti berdesak-desakan terutama di jam sibuk. Dengan petugas yang minim, ia berharap kesadaran penumpang untuk memberikan kursi prioritas bagi yang membutuhkan. Menurut pengalamannya yang menggunakan KRL setiap hari, kesadaran ini semakin tumbuh karena penumpang sudah mulai mengingatkan penumpang lain untuk memberikan kursi prioritas bagi yang membutuhkannya. Sementara itu, PT.KCJ mengaku terus menambah jumlah kereta untuk mengurangi kepadatan penumpang.