Masuknya pengusaha sawit ke Sulut mengancam petani kelapa lokal.
Minut, BeritaManado.com – Anjloknya harga jual kopra sebagai bahan dasar pembuatan minyak kelapa, membuat petani kelapa menderita.
Tahun 2019 menjadi titik terendah penjualan kopra dengan harga Rp4000-4500 per kilogram (Kg).
Kondisi ini menimbulkan protes warga, terlebih dengan masuknya pengusaha kelapa sawit di Sulawesi Utara (Sulut) yang dikenal sebagai bumi Nyiur Melambai.
Kelapa yang dulu sebagai primadona Sulut, kini seolah tidak berharga.
Banyak pemilik kebun kelapa bahkan mulai menyewakan lahan, menerapkan sistem ijon dan bahkan menjual murah lahannya.
Bahkan, profesi sebagai pemetik kelapa sudah sepi peminat.
Anggota DPRD Minut Edwin Nelwan miris dengan kondisi ini.
“Keterpurukan harga kopra ini sudah menjadi-jadi. Banyak petani memotong pohon kelapa yang masih produktif. Pemilik lahan rugi karena harga jual tidak seberapa,” sesal Nelwan, Jumat (5/7/2019).
Nelwan yang mengaku besar serta disekolahkan dari hasil jual kelapa, menyayangkan lambatnya pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait harga komoditi yang dulunya pernah mencapai harga jual Rp40.000 per Kg.
Menurutnya, pemerintah harus mempertahankan citra Sulut sebagai daerah Nyiur Melambai.
Sementara untuk mengantisipasi harga minyak kelapa murni yang tinggi, menurut Nelwan dapat dibangun pabrik minyak kelapa.
“Kondisi seperti ini sangat miris dan memperihatinkan. Jika pemerintah lambat memberikan kebijakan, nanti masyarakat yang bertindak, mungkin cara paling sederhana adalah mari kita semua masyarakat Sulut untuk sama-sama menunjukan sikap keprihatinan terhadap anjloknya harga kelapa ini dengan tidak mengkonsumsi minyak kelapa sawit. Memohon kepada pemerintah baik dari tingkat pusat maupun Sulut untuk melarang pemasokan minyak kelapa sawit atau produk berbahan baku kelapa sawit ke daerah nyiur melambai,” ujar Nelwan.
Jull Takaliuang, aktivis perempuan dari Sulut juga menyoroti kapitalis yang berinvestasi di sektor minyak sawit yang diduga sudah menguasai tanah-tanah bekas HGU maupun yang akan habis masa berlakunya.
“Mereka mendapatkan informasi tentang tanah-tanah tersebut pasti dari instansi pertanahan atau yang berkaitan. Lalu difasilitasi mengurus izin atau memperpanjang HGU-nya,” duga Jull.
Jull menyayangkan jika konflik agraria khususnya perebutan lahan petani yang menanam kelapa dalam dan tanaman pertanian lain dengan perusahaan Sawit, terus terjadi.
Ia meminta Presiden Jokowi mempertahankan Sulut sebagai Nyiur Melambai.
“Jika reformasi agraria yang Presiden canangkan itu adalah solusi bagi rakyat untuk mendapatkan tanah sebagai sumber kehidupan bagi petani, hendaknya izin-izin kepada pengusaha sawit yang akan merusak Sulut dibatalkan. Mungkin untuk tanaman sawit bisa kembangkan di pulau besar lain di Indonesia. Biarkan Nyiur tetap melambai di Sulut. Karena Nyiur Melambai adalah identitas abadi Sulawesi Utara,” pinta Jull.
Harapan agar Presiden Jokowi dapat memperhatikan harga kelapa juga disampaikan warga Likupang, Majid Blongkod dan Ericfanno Rondonuwu.
“Ratusan ribu masyarakat sangat bergantung pada komoditi kelapa. Apa sesungguhnya penyebab harga anjlok? Petani tidak pernah tahu. Lalu pada siapa lagi mereka akan mengadu dan berharap?” kata Majid.
“Tolak sawit di Sulut. Bboikot produk olahan sawit. inovasi produk tanaman kelapa. Lobi eksekutif legislatif ke investor. Ekspor kelapa masuk Eropa dan Amerika, jangan hanya dimonopoli Cina. Banyak berdoa,” tambah Ericfanno.
(Finda Muhtar)