“KLHS untuk akomodir dan menjalankan amanat UU 32/2009”
LSM – Pasca seminar KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang dileading oleh BAPPEDA Provinsi, Dinas PU Provinsi dan BLH Provinsi Sulut pada akhir April lalu di Hotel Aston Manado, sangat menunjukkan antusias pihak pemerintah untuk mempercepat penyusunan KLHS Provinsi Sulut. Tetapi sikap antusias itu justru menjadi pertanyaan besar bagi Walhi Sulut dengan target waktu bulan Juni 2011 untuk pengesahan RTRW Provinsi Sulut. Secara aturan seharusnya pemerintah provinsi harus menunggu hingga rampungnya RTRW kab/kota se-Sulut kemudian itu dituangkan dalam RTRW Provinsi dan itu meminimalisir munculnya konflik kepentingan antara
kabupaten/kota dan provinsi.
KLHS adalah wajib dibuat oleh masing-masing pemerintah daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten/kota sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya dipertegas pada ayat (2) terkait kewajiban pemerintah untuk melaksanakn KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi RTRW beserta rincinya, RPJM dan RPJP nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian KLHS juga wajib dilaksanakan ke dalam penyusunan atau evaluasi terkait kebijakan, rencana dan program yang berpotensi menimbulkan dampak atau resiko lingkungan hidup.
Keluarnya surat edaran bersama (SEB) Mendagri dan Menteri LH pada tanggal 29 Desember 2010, seharusnya dilihat sebagai kebijakan yang mendorong percepatan pembuatan KLHS masing-masing wilayah untuk kemudian menjadi bahan evaluasi untuk penyempurnaan RTRW Provinsi dan kabupaten/kota agar mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dijadikan dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah atau kebijakan, rencana dan program (KRP). Hal-hal ini yang belum termuat dan belum dilakukan oleh pemerintah provinsi Sulut, sementara RTRW-nya mau cepat untuk disahkan. Jika itu terjadi, berarti Pemprov Sulut sudah menyalahi aturan undang-undang yang berlaku.
Jika rakyat Sulut membaca dan mendalami isi ranperda RTRW yang akan dibahas di DPRD, maka banyak hal yang akan bisa dikritisi dari rencana tata ruang tersebut. Dan ini terindikasi adanya kesengajaan untuk menghindari persoalan-persoalan terkait lingkungan hidup yang saat ini menjadi pembicaraan publik. Contohnya, untuk sebaran investasi pertambangan, baik yang sedang berjalan maupun yang akan mulai beroperasi, itu sama sekali tidak tercantum dalam rencana pemanfaatan ruang Sulawesi Utara tahun 2011 – 2031. Persoalan reklamasi pantai, investasi yang sedang berjalan maupun yang akan berjalan juga tidak termuat dalam rencana
pemanfaatan ruang Sulawesi Utara. Seharusnya pemprov menunggu masukan-masukan dari masing-masing kabupaten/kota untuk kemudian diakomodir dalam RTRW provinsi, hal ini untuk menghindari munculnya konflik kepentingan antar pemimpin pemerintah daerah. Untuk investasi perkebunan skala besar, juga tidak dimasukkan dalam rencana pemanfaatan ruang Sulawesi Utara, pembangunan jaringan SUTT Wale Pineleng juga tidak tercantum di dalam pemanfaatan ruang Sulut. Terakhir, terkait dengan
SK-SK yang dikeluarkan oleh kementrian kehutanan untuk Hutan Tanaman Rakyat dan IUPHHK HTR juga tidak dicantumkan dalam pemanfaatan ruang Sulut. Padahal ini sudah nyata dikeluarkan oleh menteri kehutanan di 9 (sembilan) kabupaten sejak tahun 2009 – 2010. Ini adalah kesempatan rakyat yang telah diberi ruang untuk turut mengelola hutan tetapi kemudian tidak diakomodir di dalam tata ruang provinsi Sulut.
Walhi Sulut tetap mendorong agar RTRW Provinsi Sulut harus dilakukan revisi untuk kemudian secara transparan membahas dan mengakomodir kepentingan-kepentingan penyelamatan lingkungan secara menyeluruh, adil dan berkelanjutan. Pemanfaatan tata ruang juga harus memperhatikan lingkungan dan sumber daya alam untuk kepentingan sumber-sumber kehidupan rakyat. Jika pemerintah Sulut berkomitmen dan serius untuk fokus pada isu perubahan iklim, maka eksploitasi sumber daya alam skala
besar dan aktifitas-aktifitas pemanfaatan dan pembukaan hutan skala besar, baik legal maupun illegal harus dihentikan dari sekarang. KLHS dibuat bukan untuk mempercepat proses pengesahan RTRW tetapi KLHS dibuat untuk mengakomodir dan mengimplementasikan amanat UU No.32 tahun 2009 tentang PPLH.
Edo Rakhman
Direktur WALHI
Sulut
Jl. Temboan No.16
Kleak, Malalayang-Manado
“KLHS untuk akomodir dan menjalankan amanat UU 32/2009”
LSM – Pasca seminar KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang dileading oleh BAPPEDA Provinsi, Dinas PU Provinsi dan BLH Provinsi Sulut pada akhir April lalu di Hotel Aston Manado, sangat menunjukkan antusias pihak pemerintah untuk mempercepat penyusunan KLHS Provinsi Sulut. Tetapi sikap antusias itu justru menjadi pertanyaan besar bagi Walhi Sulut dengan target waktu bulan Juni 2011 untuk pengesahan RTRW Provinsi Sulut. Secara aturan seharusnya pemerintah provinsi harus menunggu hingga rampungnya RTRW kab/kota se-Sulut kemudian itu dituangkan dalam RTRW Provinsi dan itu meminimalisir munculnya konflik kepentingan antara
kabupaten/kota dan provinsi.
KLHS adalah wajib dibuat oleh masing-masing pemerintah daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten/kota sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya dipertegas pada ayat (2) terkait kewajiban pemerintah untuk melaksanakn KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi RTRW beserta rincinya, RPJM dan RPJP nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian KLHS juga wajib dilaksanakan ke dalam penyusunan atau evaluasi terkait kebijakan, rencana dan program yang berpotensi menimbulkan dampak atau resiko lingkungan hidup.
Keluarnya surat edaran bersama (SEB) Mendagri dan Menteri LH pada tanggal 29 Desember 2010, seharusnya dilihat sebagai kebijakan yang mendorong percepatan pembuatan KLHS masing-masing wilayah untuk kemudian menjadi bahan evaluasi untuk penyempurnaan RTRW Provinsi dan kabupaten/kota agar mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dijadikan dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah atau kebijakan, rencana dan program (KRP). Hal-hal ini yang belum termuat dan belum dilakukan oleh pemerintah provinsi Sulut, sementara RTRW-nya mau cepat untuk disahkan. Jika itu terjadi, berarti Pemprov Sulut sudah menyalahi aturan undang-undang yang berlaku.
Jika rakyat Sulut membaca dan mendalami isi ranperda RTRW yang akan dibahas di DPRD, maka banyak hal yang akan bisa dikritisi dari rencana tata ruang tersebut. Dan ini terindikasi adanya kesengajaan untuk menghindari persoalan-persoalan terkait lingkungan hidup yang saat ini menjadi pembicaraan publik. Contohnya, untuk sebaran investasi pertambangan, baik yang sedang berjalan maupun yang akan mulai beroperasi, itu sama sekali tidak tercantum dalam rencana pemanfaatan ruang Sulawesi Utara tahun 2011 – 2031. Persoalan reklamasi pantai, investasi yang sedang berjalan maupun yang akan berjalan juga tidak termuat dalam rencana
pemanfaatan ruang Sulawesi Utara. Seharusnya pemprov menunggu masukan-masukan dari masing-masing kabupaten/kota untuk kemudian diakomodir dalam RTRW provinsi, hal ini untuk menghindari munculnya konflik kepentingan antar pemimpin pemerintah daerah. Untuk investasi perkebunan skala besar, juga tidak dimasukkan dalam rencana pemanfaatan ruang Sulawesi Utara, pembangunan jaringan SUTT Wale Pineleng juga tidak tercantum di dalam pemanfaatan ruang Sulut. Terakhir, terkait dengan
SK-SK yang dikeluarkan oleh kementrian kehutanan untuk Hutan Tanaman Rakyat dan IUPHHK HTR juga tidak dicantumkan dalam pemanfaatan ruang Sulut. Padahal ini sudah nyata dikeluarkan oleh menteri kehutanan di 9 (sembilan) kabupaten sejak tahun 2009 – 2010. Ini adalah kesempatan rakyat yang telah diberi ruang untuk turut mengelola hutan tetapi kemudian tidak diakomodir di dalam tata ruang provinsi Sulut.
Walhi Sulut tetap mendorong agar RTRW Provinsi Sulut harus dilakukan revisi untuk kemudian secara transparan membahas dan mengakomodir kepentingan-kepentingan penyelamatan lingkungan secara menyeluruh, adil dan berkelanjutan. Pemanfaatan tata ruang juga harus memperhatikan lingkungan dan sumber daya alam untuk kepentingan sumber-sumber kehidupan rakyat. Jika pemerintah Sulut berkomitmen dan serius untuk fokus pada isu perubahan iklim, maka eksploitasi sumber daya alam skala
besar dan aktifitas-aktifitas pemanfaatan dan pembukaan hutan skala besar, baik legal maupun illegal harus dihentikan dari sekarang. KLHS dibuat bukan untuk mempercepat proses pengesahan RTRW tetapi KLHS dibuat untuk mengakomodir dan mengimplementasikan amanat UU No.32 tahun 2009 tentang PPLH.
Edo Rakhman
Direktur WALHI
Sulut
Jl. Temboan No.16
Kleak, Malalayang-Manado