Liputan:
Finda Muhtar
Wartawan Biro Minahasa Utara
Minut, BeritaManado.com – Desa Makalisung yang terletak di Kecamatan Kema, merupakan 1 dari 125 desa di Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Sulawesi Utara.
Di usianya yang menginjak 330 tahun, tidak banyak masyarakat yang tahu sejarah desa yang berbatasan dengan Kabupaten Minahasa itu.
Barulah pada pelaksanaan program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD), misteri itu terkuak.
Jumat (13/10/2017), tim Satgas TMMD dibawa pimpinan Komandan Satuan Setingkat Kompi (Dan SSK) Kapten Inf M Tangkumangsang melakukan bakti sosial di Desa Makalisung yang menjadi lokasi pelaksanaan TMMD ke-100 di Provinsi Sulawesi Utara.
“Setiap hari Jumat kan, Pemerintah Kabupaten Minut punya program bersih-bersih lingkungan, jadi kami padukan kegiatan pemerintah dan kegiatan TMMD,” ujar Kapten Tangkumangsang, ketika ditemui BeritaManado.com.
Awalnya, tim satgas hendak gotong royong membersihkan rumah ibadah, namun Kapten Tangkumangsang kemudian membagi tugas dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama, bertugas membersihkan rumah ibadah. Kelompok kedua, bertugas merapikan lapangan upacara yang sempat porak-poranda disambar angin kencang dan hujan deras.
Kelopok ketiga, diberi tugas membersihkan situs sejarah desa yang terletak di areal gunung dekat posko TMMD.
Penduduk setempat menamakannya Gunung Timambuwur.
“Kebetulan, waktu survey lokasi TMMD beberapa waktu lalu, saya tanya sama warga desa kalau Makalisung artinya apa? Warga itu bilang artinya dari kata lisung (lesung, red). Saya tanya, dimana lokasi lisung itu, katanya ada di atas bukit dekat posko TMMD ada situs sejarah desa. Karena itu saya tugaskan satgas kesana,” lanjut Kapten Tangkumangsang.
Jarak antara posko TMMD ke bukit, kurang lebih 400 meter, melewati jalan bebatuan.
Sekitar pukul 09.30 Wita, tim Satgas yang terdiri dari 25 prajurit TNI, Polri dan warga mulai menanjak ke puncak bukit, tingginya sekitar 40 meter.
Lama tidak dikunjungi, bukit tersebut sudah ditutupi ilalang tinggi.
Tali-tali hutan pun berjatuhan dari pohon berukuran raksasa yang ada disitu.
“Waktu pertama tim satgas datang. Rumputnya tinggi sekali. Hanya bukit begitu, orang biasa tidak tahu ada apa di atas bukit,” tambah Danramil Dimembe itu.
LESUNG BATU
Tim Satgas TMMD dibuat kaget melihat pemandangan yang tersaji di atas bukit.
Kelompok batu-batu alam berukuran cukup besar terhampar di tanah seluas 30 x 20 meter.
Bentuknya menyerupai lesung atau alat tradisional dalam pengolahan padi atau gabah menjadi beras.
Lesung sendiri berbentuk wadah cekung. Kira-kita ada 30 buah jumlahnya.
Meski sudah ditutupi lumut dan rumput, namun keindahan lesung-lesung batu ini seolah mengungkap dengan jelas bahwa tua-tua desa dahulunya pernah melakukan aktifitas pertanian di wilayah itu.
Moldin (59), Kepala Jaga IV menceritakan bahwa dulunya Desa Makalisung Kabupaten Minahasa Utara masih bersatu dengan Desa Makalisung Kabupaten Minahasa.
Dijelaskan Moldin, Makalisung terambil dari kata “maka” (meka/Bahasa tondano : yang punya) dan “lisung/lesung” karena mereka melihat ada lisung di Gunung Timambuwur.
“Jadi tua-tua desa ketika datang, mereka melihat ada batu di Gunung Timambuwur itu. Dulunya para tua-tua masih suka hidup di pohon dan sebagainya,” ujarnya menyambung sejarah yang dia dapat dari leluhur desa.
Lama setelah itu, kebudayaan manusia berubah dengan kemunculan peradaban.
Manusia yang terbiasa mencari sumber makanan di alam liar, mulai melakukan kegiatan bertanam, salah satunya padi.
Pada zaman itu, lanjut Moldin, mulailah tua-tua desa menumbuk padi di batu dengan bantuan alu, tongkat terbuat dari batu.
“Dulu, di lisung itu ada juga tongkat batu untuk menumbuk, tapi sekarang sudah hilang karena warga disini sudah jarang kesitu,” ungkap Moldin.
Aktifitas menumbuk padi, lalu membuat permukaan batu menjadi cekung menyerupai lesung.
“Jadi kami mempercayai bahwa desa ini milik dari para pemilik lisung itu. Makanya dinamakan Desa Makalisung atau desa yang punya lesung,” jelasnya.
Ukuran batu ada beragam, mulai dari 50 sampai 100 centimeter (Cm). Untuk diameter dan kedalaman lubang juga bervariasi mulai dari sekitar 10 cm sampai 40 cm.
Beberapa lesung, memiliki ukiran unik seperti relief. Untuk itu, lanjut Moldin, belum ada yang bisa mengartikan.
Moldin menyayangkan, sudah jarang ada penduduk yang ke situs tersebut.
Berbeda dengan massa kecilnya yang sering dia habiskan untuk bermain di seputaran situs.
“Kalau sekarang, mungkin anak-anak muda di desa sudah tidak ingat sejarah situs itu. Harapan masyarakat agar daerah di Gunung Timambuwur bisa dilestarikan karena itu sejarah dari desa ini,” kata Moldin.
PANGGILAN HATI
Melihat situs sejarah desa membuat tim satgas TMMD makin semangat untuk membersihkan lesung.
Dibantu perlengkapan seadanya, Satgas bersama masyarakat mulai memotong rumput dan tali hutan yang sudah menutupi lesung batu.
Dan SSK Kapten Inf M Tangkumangsang mengatakan, membersihkan situs sejarah ini merupakan panggilan hati seorang anak negeri.
“Saya sebagai yang tertua di lapangan merasa terpanggil sehingga saya melakukan koordinasi dengan hukum tua untuk melakukan pembersihan itu. Tugas TNI di daerah membantu pemerintah dalam pembangunan termasuk situs-situs seperti itu. Peninggal sejarah yang wajib kita lestarikan biar anak cucu kita juga mengenal. Kasihan anak cucu kita tidak mengetahui kekayaan budaya daerah kita,” kata Tangkumangsang.
Sekitar 1 jam melakukan pembersihan, tiba-tiba satgas mendapat gangguan serangan dari lebah hutan.
Seorang warga menjerit kena gigitan lebah, kemudian anggota Satgas bahkan Hukum Tua (Kepala Desa) juga ikut jadi korban gigitan.
Sedikitnya 4 orang jadi korban serangan lebah dan harus dievakuasi di posko oleh tim dokter.
Meski begitu, kegiatan kerja bakti tetap berlanjut.
NYARIS TERABAIKAN
Hukum Tua Desa Makalisung Steven Tumilantouw mengakui keberadaan situs tersebut sempat terabaikan.
“Sudah satu tahun setengah saya tidak kesini. Ini juga teguran bagi pemerintah dan masyarakat desa,” kata Steven yang mendapat 7 gigitan lebah hutan.
Steven berterima kasih kepada tim Satgas TMMD yang memperhatikan situs sejarah Desa Makalisung.
Menurut Steven, dengan kegiatan kerja bakti di lokasi situs, satgas sudah membangun semangat pemerintah dan masyarakat desa untuk kembali menata lokasi situs sejarah desa.
Lebih dari itu, pemerintah desa akan menjadikan lokasi situs menjadi objek wisaya budaya sejarah.
Terlebih pemandangan dari atas bukit menghampar langsung ke Selat Lembeh Kota Bitung yang sangat indah.
“Kami akan plot anggaran penataan lokasi situs pada dana desa tahun 2018 mendatang, mulai dari pembuatan gapura, perbaikan jalan, serta pembangunan pondok agar situs ini bisa menjadi lokasi wisata,” kata Steven.
Dandim 1310/Bitung Letkol Inf Deden Hendayana mengapresiasi kinerja satgas yang sukses mencapai sasaran utama pelaksanaan TMMD ini yaitu tidak hanya pembangunan secara fisik tetapi juga lima sasaran lain yaitu meningkatnya rasa cinta tanah air masyarakat, meningkatnya rasa bela negara masyarakat, meningkatnya wawasan kebangsaan masyarakat, terciptanya kemanunggalan TNI dan rakyat serta tergugahnya rasa keinginan masyarakat untuk membangun wilayahnya.
“Kami senang bisa manunggal bersama masyarakat,” pungkas Hendayana.(*)
Liputan:
Finda Muhtar
Wartawan Biro Minahasa Utara
Minut, BeritaManado.com – Desa Makalisung yang terletak di Kecamatan Kema, merupakan 1 dari 125 desa di Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Sulawesi Utara.
Di usianya yang menginjak 330 tahun, tidak banyak masyarakat yang tahu sejarah desa yang berbatasan dengan Kabupaten Minahasa itu.
Barulah pada pelaksanaan program Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD), misteri itu terkuak.
Jumat (13/10/2017), tim Satgas TMMD dibawa pimpinan Komandan Satuan Setingkat Kompi (Dan SSK) Kapten Inf M Tangkumangsang melakukan bakti sosial di Desa Makalisung yang menjadi lokasi pelaksanaan TMMD ke-100 di Provinsi Sulawesi Utara.
“Setiap hari Jumat kan, Pemerintah Kabupaten Minut punya program bersih-bersih lingkungan, jadi kami padukan kegiatan pemerintah dan kegiatan TMMD,” ujar Kapten Tangkumangsang, ketika ditemui BeritaManado.com.
Awalnya, tim satgas hendak gotong royong membersihkan rumah ibadah, namun Kapten Tangkumangsang kemudian membagi tugas dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama, bertugas membersihkan rumah ibadah. Kelompok kedua, bertugas merapikan lapangan upacara yang sempat porak-poranda disambar angin kencang dan hujan deras.
Kelopok ketiga, diberi tugas membersihkan situs sejarah desa yang terletak di areal gunung dekat posko TMMD.
Penduduk setempat menamakannya Gunung Timambuwur.
“Kebetulan, waktu survey lokasi TMMD beberapa waktu lalu, saya tanya sama warga desa kalau Makalisung artinya apa? Warga itu bilang artinya dari kata lisung (lesung, red). Saya tanya, dimana lokasi lisung itu, katanya ada di atas bukit dekat posko TMMD ada situs sejarah desa. Karena itu saya tugaskan satgas kesana,” lanjut Kapten Tangkumangsang.
Jarak antara posko TMMD ke bukit, kurang lebih 400 meter, melewati jalan bebatuan.
Sekitar pukul 09.30 Wita, tim Satgas yang terdiri dari 25 prajurit TNI, Polri dan warga mulai menanjak ke puncak bukit, tingginya sekitar 40 meter.
Lama tidak dikunjungi, bukit tersebut sudah ditutupi ilalang tinggi.
Tali-tali hutan pun berjatuhan dari pohon berukuran raksasa yang ada disitu.
“Waktu pertama tim satgas datang. Rumputnya tinggi sekali. Hanya bukit begitu, orang biasa tidak tahu ada apa di atas bukit,” tambah Danramil Dimembe itu.
LESUNG BATU
Tim Satgas TMMD dibuat kaget melihat pemandangan yang tersaji di atas bukit.
Kelompok batu-batu alam berukuran cukup besar terhampar di tanah seluas 30 x 20 meter.
Bentuknya menyerupai lesung atau alat tradisional dalam pengolahan padi atau gabah menjadi beras.
Lesung sendiri berbentuk wadah cekung. Kira-kita ada 30 buah jumlahnya.
Meski sudah ditutupi lumut dan rumput, namun keindahan lesung-lesung batu ini seolah mengungkap dengan jelas bahwa tua-tua desa dahulunya pernah melakukan aktifitas pertanian di wilayah itu.
Moldin (59), Kepala Jaga IV menceritakan bahwa dulunya Desa Makalisung Kabupaten Minahasa Utara masih bersatu dengan Desa Makalisung Kabupaten Minahasa.
Dijelaskan Moldin, Makalisung terambil dari kata “maka” (meka/Bahasa tondano : yang punya) dan “lisung/lesung” karena mereka melihat ada lisung di Gunung Timambuwur.
“Jadi tua-tua desa ketika datang, mereka melihat ada batu di Gunung Timambuwur itu. Dulunya para tua-tua masih suka hidup di pohon dan sebagainya,” ujarnya menyambung sejarah yang dia dapat dari leluhur desa.
Lama setelah itu, kebudayaan manusia berubah dengan kemunculan peradaban.
Manusia yang terbiasa mencari sumber makanan di alam liar, mulai melakukan kegiatan bertanam, salah satunya padi.
Pada zaman itu, lanjut Moldin, mulailah tua-tua desa menumbuk padi di batu dengan bantuan alu, tongkat terbuat dari batu.
“Dulu, di lisung itu ada juga tongkat batu untuk menumbuk, tapi sekarang sudah hilang karena warga disini sudah jarang kesitu,” ungkap Moldin.
Aktifitas menumbuk padi, lalu membuat permukaan batu menjadi cekung menyerupai lesung.
“Jadi kami mempercayai bahwa desa ini milik dari para pemilik lisung itu. Makanya dinamakan Desa Makalisung atau desa yang punya lesung,” jelasnya.
Ukuran batu ada beragam, mulai dari 50 sampai 100 centimeter (Cm). Untuk diameter dan kedalaman lubang juga bervariasi mulai dari sekitar 10 cm sampai 40 cm.
Beberapa lesung, memiliki ukiran unik seperti relief. Untuk itu, lanjut Moldin, belum ada yang bisa mengartikan.
Moldin menyayangkan, sudah jarang ada penduduk yang ke situs tersebut.
Berbeda dengan massa kecilnya yang sering dia habiskan untuk bermain di seputaran situs.
“Kalau sekarang, mungkin anak-anak muda di desa sudah tidak ingat sejarah situs itu. Harapan masyarakat agar daerah di Gunung Timambuwur bisa dilestarikan karena itu sejarah dari desa ini,” kata Moldin.
PANGGILAN HATI
Melihat situs sejarah desa membuat tim satgas TMMD makin semangat untuk membersihkan lesung.
Dibantu perlengkapan seadanya, Satgas bersama masyarakat mulai memotong rumput dan tali hutan yang sudah menutupi lesung batu.
Dan SSK Kapten Inf M Tangkumangsang mengatakan, membersihkan situs sejarah ini merupakan panggilan hati seorang anak negeri.
“Saya sebagai yang tertua di lapangan merasa terpanggil sehingga saya melakukan koordinasi dengan hukum tua untuk melakukan pembersihan itu. Tugas TNI di daerah membantu pemerintah dalam pembangunan termasuk situs-situs seperti itu. Peninggal sejarah yang wajib kita lestarikan biar anak cucu kita juga mengenal. Kasihan anak cucu kita tidak mengetahui kekayaan budaya daerah kita,” kata Tangkumangsang.
Sekitar 1 jam melakukan pembersihan, tiba-tiba satgas mendapat gangguan serangan dari lebah hutan.
Seorang warga menjerit kena gigitan lebah, kemudian anggota Satgas bahkan Hukum Tua (Kepala Desa) juga ikut jadi korban gigitan.
Sedikitnya 4 orang jadi korban serangan lebah dan harus dievakuasi di posko oleh tim dokter.
Meski begitu, kegiatan kerja bakti tetap berlanjut.
NYARIS TERABAIKAN
Hukum Tua Desa Makalisung Steven Tumilantouw mengakui keberadaan situs tersebut sempat terabaikan.
“Sudah satu tahun setengah saya tidak kesini. Ini juga teguran bagi pemerintah dan masyarakat desa,” kata Steven yang mendapat 7 gigitan lebah hutan.
Steven berterima kasih kepada tim Satgas TMMD yang memperhatikan situs sejarah Desa Makalisung.
Menurut Steven, dengan kegiatan kerja bakti di lokasi situs, satgas sudah membangun semangat pemerintah dan masyarakat desa untuk kembali menata lokasi situs sejarah desa.
Lebih dari itu, pemerintah desa akan menjadikan lokasi situs menjadi objek wisaya budaya sejarah.
Terlebih pemandangan dari atas bukit menghampar langsung ke Selat Lembeh Kota Bitung yang sangat indah.
“Kami akan plot anggaran penataan lokasi situs pada dana desa tahun 2018 mendatang, mulai dari pembuatan gapura, perbaikan jalan, serta pembangunan pondok agar situs ini bisa menjadi lokasi wisata,” kata Steven.
Dandim 1310/Bitung Letkol Inf Deden Hendayana mengapresiasi kinerja satgas yang sukses mencapai sasaran utama pelaksanaan TMMD ini yaitu tidak hanya pembangunan secara fisik tetapi juga lima sasaran lain yaitu meningkatnya rasa cinta tanah air masyarakat, meningkatnya rasa bela negara masyarakat, meningkatnya wawasan kebangsaan masyarakat, terciptanya kemanunggalan TNI dan rakyat serta tergugahnya rasa keinginan masyarakat untuk membangun wilayahnya.
“Kami senang bisa manunggal bersama masyarakat,” pungkas Hendayana.(*)