Manado – “Ada puluhan instansi sipil dan militer yang menangani kegiatan
penanggulangan bencana alam di Indonesia, dan masing-masing menjalankan
prosedurnya sendiri-sendiri. Hal ini mubazir, karena akan terjadi saling
tumpang tindih kegiatan, dan bahkan justru membingungkan para pelaksana dilapangan. Untuk itu, pelatihan ini diharapkan dapat menyatukan segala
persepsi terkait prosedur penanggulangan bencana secara komperhensif
sehingga pelaksanaannya dapat berjalan secara lebih efektif dan efisien.”
Demikian sambutan yang diberikan oleh Mr. John A. Montana, penasehat senior Program Pelatihan Penanggulangan Bencana dari Kedutaan Besar Amerika, Senin (30/4), saat membuka acara pelatihan yang direncanakan berlangsung selama 5 hari di Hotel Aston Manado.
Kegiatan pelatihan manajemen penanggulangan bencana tersebut diawali dengan sambutan oleh Gubernur Sulawesi Utara Dr. Sinyo Harry Sarundajang yang dibacakan oleh Sekprov Ir. Rachmat Mokodongan, disaksikan oleh Komandan Korem 131/Santiago Kolonel Inf A.A.B. Maliogha dan Ketua BPBD Sulawesi Utara.
Saat dimintai tanggapannya oleh wartawan, Danrem 131/Santiago Kolonel Inf
A.A.B. Maliogha menyatakan bahwa keterpaduan antar instansi penanggulangan bencana memang merupakan keniscayaan. Apalagi Sulawesi Utara menyimpan potensi bencana yang tidak bisa dikesampingkan: 7 dari 9 gunung api yang ada di Sulawesi Utara berstatus Siaga dan Waspada, yakni Lokon, Soputan, Ruang, Awu, Mahawu, Ambang, dan Karangetang. Belum lagi potensi tanah longsor akibat bangunan rumah penduduk yang sering tidak mempertimbangkan struktur kritis tanah di daerah perbukitan yang curam.
Dari hasil diskusi, diperoleh gambaran kasar terkait faktor-faktor yang
dirasakan menghalangi respon tanggap darurat bencana di lapangan, antara
lain: hubungan kerja yang kurang sinergis antar instansi penanggulangan
bencana karena masing-masing saling mempertahankan prosedur yang dijalankan oleh instansinya, keterbatasan sumber daya, ketiadaan *crisis
center,*komunikasi antara pos komando dan tim pelaksana di lapangan
yang relatif buruk sehingga sering terjadi kesalahpahaman, kumpulan warga yang datang hanya untuk menonton sehingga mengganggu kelancaran kegiatan bantuan, birokrasi yang tidak efisien sehingga sering terjadi keterlambatan
penanganan, dan perencanaan yang kurang matang.
Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut di atas, paradigma baru
penanggulangan bencana yang diperkenalkan dalam pelatihan ini diupayakan
untuk dapat mengatasi berbagai kendala dimaksud, karena masalah yang
dirasakan oleh para pelaksana penanggulangan bencana di Indonesia juga
dirasakan oleh petugas penanggulangan bencana di negara lain. Dengan
menerapkan standar manajemen penanggulangan bencana secara internasional yang dapat berlaku secara universal di seluruh dunia, para petugas penanggulangan bencana di Sulawesi Utara tentunya juga dapat beroperasi di negara lain melalui sistem bantuan internasional.
Sistem bantuan penanggulangan bencana harus bersifat universal, tidak hanya
prosedurnya saja, tetapi juga nomenklaturnya, sehingga kejadian terlantar dan menumpuknya obat-obatan bantuan Rusia waktu Gempa Jogja karena tak
seorang dokter pun yang bisa membaca label obat berbahasa Rusia tidak harus
terulang lagi. Begitu juga kejadian tertipunya satu tim heli penyelamat karena ada kabar sejumlah penduduk yang terkubur hidup-hidup akibat longsoran tanah waktu Gempa Padang yang ternyata adalah akibat kesalahpahaman prosedur komunikasi. Intinya, manajemen penanggulangan bencana yang tidak terpadu hanya akan memperburuk dampak bencana bagi para korbannya.
Keterpaduan sistem penanggulangan bencana inilah yang menjadi sasaran
pelatihan standar manajemen penanggulangan bencana yang diikuti oleh 35
perwakilan dari 28 instansi, antara lain: Pemprov Sulawesi Utara, BPBD,
Bakesbang, Korem 131/Santiago, Kodim 1309/Manado, Kodim 1301/Satal,
Lantamal VIII/Manado, Batalyon Marinir Bitung, Lanud Sam Ratulangi, Mabes
TNI, Mabes TNI-AL, Armatim, Basarnas, Dinas Perhubungan, Dinas Kesehatan,
Dinas Sosial, Dinas PU, RSUP Prof. Kandouw, RS Wolter Monginsidi, RS
Ratumbuysang, BMKG, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina, Tim Kesehatan
Pelabuhan, Tagana, Dokkes Polda, dan DVI (*Disaster Victim
Identification:*Identifikasi Korban Bencana).