*Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai adat dan budaya sebagai warisan suci para leluhur.
Sebab itulah organisasi adat LSM Waraney Puser In’Tana Toar Lumimuut mendeklarasikan diri pada tanggal 3 Maret 2010, berdiri dan terpanggil untuk menjaga serta melestarikan adat dan budaya Minahasa dalam kapasitas sebagai Kader Waraney Puser In’Tana Toar Lumimuut yang setia pada 4 Pilar Bangsa yaitu; Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Diantara beberapa situs budaya yg ada di Sulawesi Utara, setiap tanggal 3 Januari kami para kader Waraney Puser In’Tana Toar Lumimuut, berkunjung ke Watu Pinawetengan yang digunakan sebagai sarana untuk mempersatukan kembali anak-cucu keturunan Toar dan Lumimuut. Keturunan Toar Lumimuut sebelumnya semakin banyak hingga dikelompokkan menjadi beberapa golongan.
“Golongan Makarua Siou (2 X 9), yang mengatur kegiatan keagamaan dan adat istiadat, yaitu para Walian dan Tonaas, golongan Makatelu Pitu (3 X 7), yaitu golongan Teterusan, yang terdiri dari para Waraney (prajurit gagah berani) dan pemimpinnya, yang mengatur keamanan, dan golongan Pasiowan Telu, yang terdiri dari rakyat biasa, petani, dan pemburu”.
Makin bertambahnya keturunan dari Toar dan Lumimuut, makin jauh mereka berpencar-pencar ke segala penjuru di tanah Minahasa ini. Karena itu, Toar Lumimuut minta kepada Maketelu Pitu untuk mengumpulkan kembali semua golongan yang telah berpencar kemana-mana.
Di sebuah batu di bawah kaki pegunungan Tonderukan, diadakanlah musyawarah tentang pembagian wilayah dan tanah pencaharian, dan pembagian suku. Maka munculkah suku-suku, Touwtewoh (Tounsea), Touwsendangan,Touwrikeran (Toulour), Touwmayesu, dan Toukinembut, Toukembut, Toupakewa (Tountemboan). Pada batu tempat musyawarah inilah Tou (orang) Malesung berikrar untuk bersatu, walaupun hidup berkelompok dan berbeda wilayah, juga bersatu untuk menghalau dan menundukkan serangan-serangan dari luar, termasuk serangan dari daerah Bolaang-Mongondow pada waktu itu (sekitar abad 15)
dan kemudian bangsa Spanyol (Tasikela atau Kastela) pada tahun 1617 sampai 1645, sehingga muncul perubahan dari “Malesung” menjadi “Maesa” atau “Mina Esa” yang berarti “menjadi satu” yang kemudian berkembang menjadi “Minahasa”.
Sejak itu penduduk mulai menyebar ke seluruh Minahasa, berkembang menjadi suku dan bahasa: Tonsea, Toumbulu, Tountemboan, Toulour, Tounsawang kemudian penduduk pendatang dengan nama Bantik, Pasan, dan Ponosakan.
Bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan Menurut para arkeolog, batu ini dipakai oleh leluhur Minahasa untuk berunding. Maka tak heran, namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian.
Ada ritual khusus yang diadakan tiap tanggal 3 Januari untuk melakukan ziarah di Watu Pinawetengan yang dalam praktek adat, dijadikan sarana untuk memohon Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesembuhan, perlindungan, dll. Dan karena nilai sejarah dan budaya yang kental, tiap tanggal 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya agar adat dan budaya kita tetap terjaga serta dilestarikan.
Hingga kini, setiap kader Waraney Puser In’Tana sebagai keturunan Toar dan Lumimuut (leluhur suku Minahasa) selalu berkunjung, melaksanakan upacara adat, dan berjanji untuk selalu bersatu dalam perbedaan. Batu inipun menjadi cerminan semangat persatuan dalam perbedaan bagi berbagai etnis Minahasa.
“Sebagai bangsa yang berbudaya, maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai generasi penerus untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya para leluhur kita” tambah Stefan Obadja Voges, Wakil Ketua Umum Bidang Advokasi Hukum dan HAM. (*/sov/edit jerry)