Akhir-akhir ini dunia politik Indonesia diramaikan dengan pro-kontra tentang Joko Widodo untuk tetap Presiden 2 periode versus 3 periode atau diperpanjang sesudah 2024.
Sikap pro dan kontra tersebut di-mainkan oleh para pimpinan teras partai koalisi Jokowi, dimana ada yang pro 3 periode atau diperpanjang, seperti PKB, PAN, GOLKAR, dll. kemudian yang kontra seperti PDIP, NASDEM, PKS, DEMOKRAT, dll. yang kemudian melibatkan berbagai pihak, mulai dari pengamat, para intelektual, organisasi professional, LSM, pers, serta kalangan akar rumput.
Sebagai Negara yang menganut paham Demokrasi (dengan keunikan disebut Demokrasi Pancasila), sikap tersebut normal karena masih dalam koridor falsafah dan ideologi bangsa serta Negara Hukum.
Penyelesaian sikap pro dan kontra tersebut, tentu harus ditempuh dan diselesaikan secara Konstitusional.
Dalam pasal 3 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) berbunyi: MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Kemudian pasal 7 UUD 1945 tersebut berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Bertolak dari pasal 7 UUD tersebut, maka yang mengusulkan Presiden Jokowi 3 periode atau diperpanjang masa jabatannya Sesudah 2024, tidak dibenarkan dalam posisi sekarang ini, karena melanggar Konstitusi.
Namun berdasarkan pasal 3 ayat 1 UUD 1945 tersebut, maka usul 3 periode atau diperpanjang masa jabatannya bisa terjadi/dibenarkan dengan syarat bunyi pasal 7 UUD tersebut dirubah menjadi 3 periode atau diperpanjang masa jabatannya.
Atas dasar Konstitusi tersebut, maka usul 3 periode atau diperpanjang masa jabatannya atau tetap 2 periode, ada di-kewenangan MPR. Kita tahu bersama, bahwa keanggotaan MPR itu terdiri dari anggota DPR yang terdiri dari Fraksi-fraksi yang mewakili partai politik, dan DPD yang mewakili Daerah (tiap Propinsi diwakili 4 orang).
Pihak yang pro dan kontra atas usul 3 periode atau diperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi harus berjuang keras untuk meyakinkan para anggota MPR bahwa argumentasinya yang terbaik.
Dalam kaitan ini kuncinya ada di-tangan pimpinan partai politik yang terwakili dalam Fraksi-fraksi di MPR.
Adapun gambaran keanggotaan Fraksi di MPR hasil pemilu 2019 sbb.: PDIP-128, Golkar-85, Gerindra-78, Nasdem-59, PKB-58, Demokrat-54, PKS-50,PAN-44 dan PPP-19 yang semuanya berjumlah 575 dan anggota DPD berjumlah 136 anggota yang mewakili 34 Propinsi, sehingga anggota MPR keseluruhan (DPR+DPD) berjumlah 711 anggota.
Adapun mekanisme perubahan UUD 1945 (focus pada 3 periode atau perpanjangan masa jabatan), melalui pembahasan MPR, harus memenuhi pasal 37 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian persyaratan agar MPR bersidang untuk membahas usul perubahan tersebut, maka sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat(pasal 37 ayat 3).
Dari ketentuan tersebut diatas, maka para pendukung 3 periode atau perpanjangan waktu, harus berjuang keras untuk meyakinkan parpol yang diwakili Fraksi-fraksi di MPR maupun anggota DPD agar memenuhi 1/3 anggota MPR untuk mengusulkan perubahan pasal 7 UUD 1945.
Apabila telah memenuhi 1/3 anggota yang mengajukan secara tertulis pada Pimpinan MPR untuk usul perubahan, maka perjuangannya tidak sampai berhenti pada tahap ini. Perjuangan selanjutnya ialah MPR membahas usul tersebut dan dalam pengambilan keputusan atas pembahasan usul tersebut agar berhasil, maka putusan untuk mengubah pasal/pasal2 UUD 1945, dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (pasal 37 ayat 4).
Tentu upaya ini harus dikejar sebelum tahap pencalonan Presiden (bersama Wakil Presiden) yang jadwal waktunya telah ditetapkan oleh KPU dilakukan pada 7-13 September 2023.
Sebab, apabila telah masuk dalam tahap pencalonan (Presiden) untuk Pemilu 2024, dan pasal 7 UUD 1945 tidak berubah (3 periode atau diperpanjang), maka peluang Jokowi untuk 3 periode atau diperpanjang masa jabatan, tertutup secara konstitusional.
Dalam pertarungan politik di Indonesia, kekuasaan itu turut menentukan, karena banyak cara yang dapat dimainkannya.
Saat ini yang bersikap menentang, tapi kemudian berubah sikap mendukung karena terjadi berbagai kesepakatan baik dalam bentuk bagi-bagi kekuasaan, fasilitas ekonomi, setoran dana, penutupan kasus pidana, dll.
Memang Presiden Jokowi secara terbuka telah memberikan pernyataan dalam beberapa kesempatan bahwa ia taat Konstitusi yaitu 2 periode sebagai sikap atas suara yang menghendaki beliau memimpin 3 periode.
Dukungan APDESI
Namun politik itu dinamis, dimana sikap itu bisa berubah sesuai tuntutan perkembangan dan pertimbangan kepentingan kedepan.
Yang sangat menarik dan membuat heboh saat ini ialah pernyataan ribuan Kepala Desa yang tergabung dalam APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) yang diwakili Ketuanya Surtawijaya dalam silaturahmi dengan Presiden Jokowi pada Selasa (29/2/2022) di Istora Senayan, Jakarta, dengan menyatakan bahwa APDESI mendukung Jokowi untuk 3 Periode yang kemudian didukung oleh seluruh Kepala Desa yang hadir dengan berdiri disertai tepuk tangan yang meriah dan suara teriakan dukungan 3 periode.
Yang lebih menarik lagi ialah dalam sambutan Presiden Jokowi, tidak menanggapi dukungan 3 periode dari para Kepala Desa ini, Presiden Jokowi, hanya diam saja, tidak ada reaksi/suara tanggapan.
Tidak ada suara menolak seperti sikap beberapa waktu yang lalu sebagaimana diutarakan diatas. Dalam bahasa politik, sikap ini menimbulkan tanda-tanya besar, apakah sikap Presiden yang semula menolak, sudah berubah.
Dalam perkembangan selanjutnya, jika terjadi Sidang Umum MPR sesuai mekanisme yang diatur dalam pasal 37 UUD 1945, maka MPR akan mengambil keputusan untuk menerima atau menolak usul Presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan.
Jika keputusannya menolak, maka pasal 7 UUD 1945 tetap berlaku. Sebaliknya, jika menerima, maka pasal 7 UUD 1945 dirubah dengan memasukan kalimat masa jabatan Presiden 3 periode dan atau perpanjangan jabatan Presiden untuk sekian tahun. Namun dalam proses MPR mengambil keputusan tersebut, sikapnya juga bisa dipengaruhi/ditentukan oleh MPR jalanan, baik yang dilakukan oleh yang pro maupun yang kontra. Peran MPR jalanan dalam sejarah perpolitikan di-Indonesia sangat menentukan.
Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, jatuh karena tekanan MPR jalanan, melalui demontrasi yang menjalar ke-seluruh Indonesia.
Penulis saat masih anggota DPR/MPR pernah mengalami saat menghadapi Sidang Umum MPR 1998 maupun sesudah Sidang Umum tersebut, dimana setiap hari datang berbagai delegasi ke Pimpinan MPR yang menuntut agar MPR tidak memilih Soeharto menjadi Presiden, kemudian beralih menghentikan Soeharto sebagai Presiden.
Semua aspirasi dari para demontran yang disampaikan kepada Pimpinan MPR, selalu diteruskan kepada Presiden Soeharto. Akhirnya sebelum MPR mengambil keputusan, Presiden Soeharto pada tgl. 21 Mei 1998, menyatakan berhenti sebagai Presiden.
Apakah nanti akan muncul MPR jalanan sebagai pressure group saat MPR bersidang membahas untuk mengambil keputusan dan menetapkan sikap pro dan kontra atas 3 periode dan atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Ada 2 alternatif untuk menjawab pertanyaan ini.
Disatu pihak MPR bisa mengambil keputusan untuk menolak 3 periode masa jabatan Presiden maupun perpanjangan masa jabatannya setelah melihat peran MPR jalanan yang dominan menolak usul tersebut. Bahkan bisa berkembang Presiden Jokowi diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, dengan melalui mekanisme konstitusi setelah melihat arus dan jumlah pendukung yang luar biasa dan dominant diberbagai daerah.
Hal ini bisa terjadi bila kelompok asing ikut menungganginya. Sudah jadi rahasia umum dan pemberitaan pers bahwa kejatuhan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto karena AS melalui CIA(Central Intelligence Agency) ikut berperan yang berkolaborasi dengan kelompok Politisi, Pengusaha dan Perwira Militer.
Sebaliknya MPR bisa menyetujui 3 periode atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi, setelah melihat peran yang dominan dari MPR jalanan. Ini bisa terjadi, jika Kepala Desa konsisten dengan sikapnya pada pertemuan dengan Presiden Jokowi tgl 22-03-2022 yang mampu menggerakkan rakyat dari ribuan desa turun ke jalan untuk mendukung 3 periode dan atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Memang secara juridis, Kepala Desa tidak boleh ikut dalam politik praktis, demikian juga ASN.
Namun dalam dunia politik segala sesuatu bisa terjadi, terlepas kita setuju atau tidak setuju, melanggar hukum atau mematuhi hukum. Jika politik pegang komando, maka hukum takluk pada politik. Itu fakta sejarah.
Apakah ini bisa terjadi mengingat Presiden Jokowi saat ini memiliki kekuasaan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Presiden memiliki aparatnya di daerah mulai dari Gubernur, Bupati, Walikota, Camat sampai kepala Desa dan Lurah.
Tentu suatu hal yang luar biasa dan mengagetkan jika Kepala Desa beserta rakyatnya secara kompak ikut main politik yang secara terbuka mendukung Presiden Jokowi 3 periode, jika ini terjadi, maka menjadi sejarah terbalik dengan nasib yang dialami oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Bila MPR telah memutuskan dan menetapkan mendukung Presiden Jokowi 3 periode atau memperpanjang masa jabatan, berarti dalam proses Pemilu 2024 tidak ada lagi pencalonan Presiden. Namun keputusan ini belum aman.
Timbul pertanyaan, apakah keanggotaan lembaga legislatif baik DPR, DPD, DPRD dan MPR akan ikut tertunda menjadi 3 periode atau harus melalui Pemilu. Jika harus melalui Pemilu, maka nanti DPR, DPD, DPRD dan MPR hasil Pemilu 2024 akan terisi dengan anggota-anggota baru baik wajah lama maupun wajah baru.
Dalam sidang MPR yang para anggotanya hasil Pemilu 2024, bisa berkembang dimana MPR bisa membatalkan Penetapan MPR sebelumnya yang menetapkan Presiden 3 Periode atau memperpanjang masa jabatannya, dengan mengeluarkan Ketetapan baru yaitu MPR menetapkan/memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk itu sebelumnya harus merubah pasal 6A ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” menjadi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR”. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka keputusan Pro dan Kontra 3 periode Presiden Jokowi atau memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, secara Konstitusional, semuanya bermuara kepada MPR, sebagai pemegang tertinggi kedaulatan rakyat.
Persoalan Presiden Jokowi 3 periode atau diperpanjang masa jabatannya, atau muncul sosok yang baru, ada beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan yaitu:
- Negara-negara maju tentu tidak tinggal diam menyangkut sosok Presiden Indonesia yang akan datang, dimana bagi mereka, Indonesia sangat penting karena: a. Sumber daya alamnya; 2.. Jumlah penduduk-nya nomor 4 didunia sehingga menjadi pasar yang besar dan sangat potensial; c. Sebagai Negara Kepulauan, memiliki Geo-politik dan Geo-strategis yang bernilai tinggi, karena letaknya diantara 2 benua (Asia dan Australia) dan 2 samudera (Pasifik dan Hindia).
- Amerika Serikat (AS) tentu akan mempertahankan dirinya sebagai hegemoni dunia didukung Uni Eropah (walaupun tidak bulat lagi akibat perang Rusia-Ukraina), sehingga sosok Presiden Indonesia nanti berpihak kepadanya (bahasa ekstrimya gampang dikendalikan/diatur mereka), minimal bisa bekerja sama dan tidak anti mereka. Disisi lain pesaing hegemoni AS bersama Uni Eropah seperti Cina, India, Rusia ditambah dengan negara-negara Arab tertentu, pasti tidak tinggal diam untuk memunculkan sosok Presiden Indonesia yang menjamin keamanan dan keberhasilan investasi mereka di-Indonesia.
Sosok Jokowi kemungkinan besar (?) tidak dikehendaki lagi oleh beberapa Negara Uni Eropah karena kebijakan Presiden Jokowi yang merugikan ekonomi/industri mereka dengan melarang ekspor bahan mentah seperti nikel, kemudian nanti menyusul bahan baku bauksit serta mineral.
AS mungkin juga bersikap seperti Uni Eropah karena al tidak mendukung sikap Presiden Bieden yang meminta Rusia tidak diundang pada pertemuan G20 bulan Nopember 2022 di Bali dimana presidensinya dari Indonesia.
Melihat kenyataan ini, Jokowi akan menjadi sosok pertarungan antara 2 kekuatan ini dengan mencari kawan sebanyak mungkin yang menentukan keberlangsungan atau keberhentian sosok Jokowi sebagai Presiden.
Demikaan pula sebaliknya, jika Jokowi karena keputusan MPR tidak bisa 3 periode atau memperpanjang masa jabatannya, maka suka atau tidak suka, sosok pengganti Jokowi juga jadi arena pertarungan 2 kekuatan ini agar sosok yang muncul pengganti Jokowi berpihak kepada mereka, karena mereka semua memiliki kepentingan di-Indonesia, baik segi politik, ekonomi, pertahanan, dll, saat ini maupun mendatang, jangka pendek maupun jangka panjang.
- Terkait sosok Presiden Jokowi atau bukan yang akan menjadi Presiden sesudah 2024, bisa saja terjadi pertarungan yang luar biasa, sehingga timbul kekacauan politik di-Indonesia, baik secara alamiah maupun direkayasa, sehingga terjadi 2 pilihan utama: 1. Pemilu 2024 ditunda untuk waktu tertentu atau tergantung situasi; 2. Jika kekacauannya parah dan tidak bisa dikendalikan, maka bisa diberlakukan keadaan darurat Sipil atau Militer, sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 tertanggal 16 Desember 1959, dimana secara ekstrim membubarkan partai-partai politik dan mendirikan partai baru dengan jumlah tertentu/terbatas tidak seperti sekarang ini, jumlahnya besar, tapi prestasinya kecil.
Ini bisa terjadi karena karena dari berbagai survei sejak 2018 s/d 2021, kepercayaan rakyat kepada DPR yang anggota-amggotanya mewakili partai politik, sangat rendah/di-urutan buncit/terakhir dibandingkan dengan lembaga Negara lainnya.
Mungkin tingkat ketidak-percayaannya pada awal 2022 ini apakah makin merosot, perlu dicek lagi hasil survei dari lembaga-lembaga yang kompeten.
Apa yang akan terjadi pada beberapa bulan kedepan tentang pro dan kontra Presiden Jokowi 3 periode atau memperpanjang masa jabatan, tentu sangat dinamis dan menarik untuk kita nantikan.
Semua pihak tentu bekerja keras untuk mewujudkan keberhasilan sikapnya.
Tentu yang kawan bisa berubah jadi lawan, demikian sebaliknya.
Tergantung negosiasinya dengan segala imbalannya.
Jakarta, 31 Maret 2022.
Drs. Markus Wauran
Anggota DPR/MPR-RI 1987-1999.