Manado, BeritaManado.com — Hasil Pemilu 2019 belum menunjukan hasil positif sebagaimana ekpektasi publik.
Lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat tidak menunjukan kinerja positif.
Sebagian melakukan korupsi, tidak produktif dan tidak peka terhadap kepentingan publik.
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya kontribusi masyarakat dalam memberikan penilaian terhadap calon legislatif yang diajukan parpol pada Pemilu 2019.
Pendapat ini mengemuka dalam webinar yang berjudul Kritisi Daftar Calon Sementara DPR/DPRD Pemilu 2024 yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Sabtu (8/4/2023).
Kegiatan yang dibuka langsung oleh Ketua Umum MIPI yang juga Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Dr Bahtiar, juga menghadarkan pembicara anggota KPU RI, Dr Idham Holik, Ferry Daud Liando, selaku Peneliti dan Pengajar Kepemiluan FISIP Unsrat serta Lucius Karus Peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) dan dipandu moderator Aprilianita Putri.
Dalam pemaparannya, Ferry Liando mengatakan terdapat tiga faktor penyebab hasil Pemilu 2019 tidak sesuai ekpektasi publik.
Pertama, kata Ferry, belum optimalnya sistim rekrutmen bakal calon anggota DPR/DPRD yang diatur baik dalam UU Parpol maupun dalam UU Pemilu.
“Tidak ada kewajiban bagi calon harus berapa lama menjadi anggota parpol sebagai syarat untuk bisa dicalon. Selama ini banyak calon yang bukan merupakan anggota atau kader parpol, sehingga mekanisme pembinaan, kaderisasi dan kepemimpinan tidak dilakukan oleh parpol,” ujar Ferry.
Dikatakan, sebagian parpol cukup mewajibkan kemampuan kepemilikan modal sebagai syarat calon.
Kedua, lanjut Ferry, belum ada kesadaran yang dimiliki oleh sebagian besar parpol tentang pentingnya kualitas dan profesionalisme calon.
Menurutnya, parpol berkehendak bahwa siapa yang dicalonkan adalah mereka yang bakal terpilih.
Syarat soal kapasitas calon kerap dikesampingkan.
“Ketiga karena pragmatisme pemilih. Sebagain besar pemilih hanya terpengaruh dengan imbalan atau kesamaan identitas dengan calon. Pemilih tidak mengetahui risiko jika calon yang dipilih tidak memiliki kapasitas atau kualifikasi menjadi anggota legislatif, yang penting menerima uang,” jelasnya.
Liando berharap KPU memberikan ruang kepada masyarakat untuk penilaian terhadap nama-nama calon sementara yang diajukan parpol.
Sebab publik berhak mengawasi dan mengkrtisi.
“Sebab banyak nama-nama yang dimunculkan saat ini sangat diragukan kapasitasnya, sehingga akan sangat mustahil jika nama-nama tersebut dapat mewakili kepentingan publik jika terpilih,” tegas Ferry.
Ia menuturkan, meski UU tidak melarang, harusnya parpol memiliki kewajiban moral tidak mencalonkan kembali para mantan narapidana korupsi atau anggota DPR/DPRD yang tidak produktif menjalankan amanah selama lima tahun.
Mereka yang malas, tidak produktif, tidak cakap dan tidak memberikan satu kontribusipun pada dapilnya harusnya tidak dicalonkan lagi pada Pemilu 2024.
Pada pemilu sebelumnya terdapat anggota DPRD yang terpilih ternyata berijasah palsu, tidak pernah sekolah tapi memperoleh ijazah.
Memiliki riwayat bermasalah hukum dan menyimpang dari norma-norma sosial.
“Penyebabnya adalah rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengkritik dan mengawasi baik dalam pencalonan oleh parpol maupun verifikasi persyaratan calon yang dilakukan oleh penyelenggara,” tandasnya.
(Alfrits Semen)