Bitung, Beritamanado.com – Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law sempat menimbulkan polemik serta penolakan dari organisasi buruh hingga pemerintah memutuskan menunda pembahasannya.
Dengan penundaan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut, pemerintah bersama DPR memiliki waktu yang lebih banyak untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan serta mendapatkan masukan-masukan dari seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.
Dengan adanya penundaan itu, pemerhati Kota Bitung, Rocky Oroh memberikan apresiasi kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden, Joko Widodo yang dianggap telah mendengar aspirasi buruh menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena dianggap tidak mengakomodir perlindungan hak buruh.
Menurut mantan Ketua F-SBSI Kota Bitung7, langkah penundaan pembahasan adalah hal yang patut diapresisasi dan bukti Presiden masih mau mendengar kekuatiran buruh dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
“Patut diapresiasi karena draf RUU itu sangat merugikan atau tidak berpihak terhadap hak-hak buruh. Kami harapkan dengan penundaan pembahasan pemerintah dan DPR ikut melibatkan perwakilan buruh untuk duduk bersama melakukan pembahasan,” kata Rocky saat dihubungi, Selasa (28/04/2020).
Rocky menjelaskan, alasan menolak mentah-mentah RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena tidak ada jaminan atas tiga hal pokok yakni jaminan pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security) dan jaminan sosial.
Menurutya, setiap Undang-undang yang berbicara tentang bisnis, otomatis harus berbicara perlindungan hak buruh dan draf Cipta Kerja kebalikannya. Bicara investasi tapi salah satu klasternya malah reduksi hak buruh dan itu bertentangan.
Dalam rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, ada sembilan poin yang bertentangan dengan kelangsungan hidup pekerja yakni, Pertama, di dalam pasal terkait upah minimum dikenal dua istilah upah berdasarkan per satuan waktu dan upah per satuan hasil.
“Upah per satuan waktu ini artinya upah dibayar per jam. Dengan demikian, ketentuan upah minimum dengan sendirinya hilang,” katanya.
Omnibus Law kata Rocky, juga menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) padahal, kedua ketentuan upah minimum tersebut lebih dibutuhkan buruh dibandingkan Upah Minimum Provinsi (UMP).
“Dalam draf Undang-undang itu, semua dihapus dan jika tetap dipaksakan UMP apakah masuk akal,” katanya.
Kedua, kata dia, tidak adanya perlindungan hukum atau sanksi yang diberikan kepada perusahan yang tidak membayarkan hak buruh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di dalam Omnibus Law Cipta Kerja disebutkan bahwa upah diberikan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan hal itu dapat merugikan kaum buruh.
“Jadi kalau pihak perusahaan tidak sepakat untuk membayarkan upahnya, tidak masalah dan tidak akan ada sanksinya,” katanya.
Selain itu, menurutnya, ketentuan perumusan upah minimum tidak lagi menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi ditambah dengan kenaikan harga atau inflasi, namun hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi saja.
“Ketiga, ketentuan pesangon dihilangkan. Padahal, dalam Undang-udang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada ketentuan tentang pesangon, penggantian masa kerja, dan penggantian hak. Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, penggantian hak yang harus disepakati kedua belah pihak dihilangkan dan jika salah satu tidak sepakat boleh tidak dibayar,” jelasnya.
Keempat, lanjut Rocky, Omnibus Law membolehkan pekerja outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batasan waktu dan tanpa batasan jenis pekerjaan yang sebelumnya, dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 65 disebutkan outsourcing hanya untuk jenis pekerjaan penunjang seperti cleaning service, petugas keamanan (security), sopir pribadi dan jasa katering perusahaan.
“Tapi, di draft Omnibus Law Cipta Kerja, ketentuan pasal 65 tersebut dihapus,” kata dia.
Kelima, yang ditolak secara berurutan adalah jam kerja yang eksploitatif. Keenam, potensi penggunaan tenaga kerja asing buruh kasar yang bebas. Ketujuh, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dipermudah.
Kedelapan, hilangnya jaminan sosial bagi pekerja khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Kesembilan, tidak adanya batasan pekerja kontrak.
“Kami berharap draf itu ditinjau kembali dan jangan dipaksakan karena pasti akan kami tolak,” katanya.
(abinenobm)