Aksi penolakan peringatan Hari Pers Nasional dari AJI Kota Manado
Manado – Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati pada 9 Februari 2015 ternyata tidak diakui oleh Aliansi Jurnalis Idependen (AJI) sebagai salah satu organisasi pers di Indonesia.
Hal tersebut ditegaskan kordinstor advokasi AJI Kota Manado, Agus Hari. Kepada BeritaManado.com, wartawan senior ini menegaskan bahwa, tanggal yang setiap tahunnya diperingati sebagai HPN adalah sebuah kekeliruan.
“Benarkah HPN jatuh pada 9 Februari? Pertanyaan singkat ini selalu dipertanyakan setiap tahunnya. Asal muasalnya adalah karena tanggal 9 Februari hanyalah hari lahirnya PWI,” tegas Agus.
Dijelaskannya, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Dari pelacakan sejarah ditemukan, jauh sebelum PWI sudah lahir organisasi wartawan di masa perjuangan melawan kolonialisme, yaitu Inlandsche Journalisten Bond (IJB-) yang dipelopori oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914, Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940).
Lanjutnya, PWI sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946. Dan hari kelahiran PWI menjadi naik kasta dan ditetapkan sebagai hari pers yang diperingati secara nasional karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden Soeharto untuk menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal tersebut.
“Lagipula penetapan HPN yang dilakukan saat PWI masih menjadi satu-satunya organisasi tunggal untuk wartawan sebagaimana keinginan rezim orde baru. Padahal sesudah rezim orde baru tumbang sudah lahir banyak organisasi wartawan berskala nasional,” terang Agus.
Saat rezim orde baru berkuasa, kata Agus lagi, sekumpulan wartawan yang memprotes pembredelan Tempo, Editor dan Detik, di tahun 1994, mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi nama AJI.
“Rezin orde baru menyebabkan beberapa media dibrendel oleh penguasa saat itu. Dan hal itu pada akhirnya para wartawan mendirikan AJI. Setelah Soeharto jatuh tahun 1998, PWI pecah menjadi dua dengan lahirnya PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI),” tambahnya.
Lebih lanjut ditegaskannya, lahirnya HPN yang merujuk pada hari lahir PWI juga dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di Indonesia. Terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum merdeka, baik sesudah tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau perintis pers nasional.
Agus berpendapat, selain berbicara dari aspek sejarah, pelaksanaan iven HPN juga secara substansi tidak memberikan kontribusi yang besar bagi kehidupan pers di Indonesia. Selain lebih banyak menghambur-hamburkan uang rakyat untuk acara seremonial yang megah.
Di sisi lain menurut Agus, tidak ada kontribusi yang berarti bagi peningkatan mutu jurnalisme di Indonesia baik menyangkut kekebasan pers, perlindungan terhadap jurnalis, serta kesejahteraan pekerja pers itu sendiri. (leriandokambey)