Manado, BeritaManado.com – Runtuhnya elektabilitas PDIP dalam hal ini pasangan calon (paslon) yang diusungnya yaitu Ganjar-Mahfud, sederhananya dapat dikatakan bahwa paslon tersebut tidak laku dijual, sehingga sedikit orang yang membelinya.
Hal ini disampaikan Josef Kairupan, pengamat politik Sulawesi Utara (Sulut) kepada wartawan BeritaManado.com, Kamis (21/3/2024).
“Karena sejatinya kontestasi elektoral adalah ibarat menjual suatu produk ke Publik, apakah produk tersebut akan lebih unggul sehingga diminati banyak orang atau justru sebaliknya,” ungkap Josef.
Ganjar sendiri, menurut dosen di FISIP Unsrat Manado ini, belum memiliki pamor dan ketenaran yang melampaui PDIP.
“Artinya secara personal figur dan popularitas Ganjar belum berimbang dengan PDIP sebagai partai pengusungnya,” ucap Josef.
Hal ini, lanjut dia, berbeda dengan pamor Jokowi yang mampu melampaui PDIP sebagai partai pengusungnya pada saat Pilpres 2009 lalu.
“Artinya Jokowi punya konstituennya sendiri diluar PDIP,” jelas dia.
Lanjut dia, pemilih Ganjar yang berasal dari luar PDIP sedikit.
“Sehingga diprediksi hanyalah kader PDIP yang memilih Ganjar-Mahfud,” ucap dia.
“Tidak ada tambahan dari kantong suara diluar PDIP,” katanya lagi.
Ganjar-Mahfud dan Suara Caleg
Jika dikomparasikan lebih lanjut, perolehan suara Legislatif PDIP di tingkat Nasional, masih lebih tinggi dari perolehan suara Paslon Ganjar-Mahfud.
“Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua kader PDIP memilih Ganjar,” tutur Josef Kairupan.
“Dapat digenelarisir bahwa Ganjar tidak memberikan “Coattail Effect” bagi PDIP,” katanya lagi.
Tetapi, lanjut Josef, disatu sisi jika memang benar adanya caleg PDIP tidak maksimal mengkampanyekan Ganjar, hal itu adalah sebuah keputusan yang tepat.
“Karena, jika nantinya tetap dipaksakan untuk mempaketkan suaranya dengan Ganjar, dikhawatirkan hal itu akan berimbas kepada suara caleg tersebut,” kata Josef.
“Yang akan menurun karena konstituennya tidak mau memilih Ganjar,” ujar dia.
Suara Ganjar di Sulut
Pengamat Politik Sulawesi Utara, Josef Kairupan menilai yang terjadi di Sulawesi Utara (Sulut), ada kecenderungan kader dan caleg PDIP tidak maksimal mengkampanyekan Ganjar.
“Ini dibuktikan suara-suara caleg PDIP tidak linear dengan suara Ganjar, sehingga terjadi anomali,” jelasnya.
Rendahnya elektabilitas Ganjar di Sulut, menurut dia, juga tidak lepas dari pemberitaan di media sosial.
“Pemberitaan yang diviralkan tentang karakter Ganjar itu sendiri yang sombong, angkuh, sok berkuasa, dan suka merendahkan orang lain selama masa kampanye maupun masa sebelum dan sesudah kampanye, mendatangkan efek negatif,” ungkap Josef.
Lanjut dia, karena merasa jumawa didukung oleh Partai besar dan berkuasa yakin bakal menang, sehingga masih tetap ‘ngeyel’ saat suaranya justru di posisi ketiga masih mengatakan “kalian percaya suara saya segitu”.
“Di faktor lain rekam jejaknya, prestasinya, kinerjanya selama menjabat Gubernur Jawa Tengah tidak signifikan menunjukkan nilai positif,” ungkap dia.
Lanjut dia, diksi-diksi negatif yang sifatnya merendahkan dan mendiskriminasi paslon nomor dua yang dilontarkan oleh Ganjar dan para elit PDIP itu sendiri semakin menambah simpati rakyat kepada paslon nomor dua.
“Ditambah dengan isu bahwa Prabowo putra kawanua menjadi bagian dari politik identitas yang dimainkan bagi warga Sulut, justru mampu meningkatkan elektabilitas Prabowo,” pungkasnya.
TamuraWatung